Adrian Mouhajer adalah seorang penulis asal Lebanon-Australia, ia berkolaborasi dengan Princess Arinola Adegbite dan menciptakan puisi Heirloom of Love.
Karya ini bertema identitas, warisan, dan pengalaman si penulis sebagai seorang imigran. Puisi ini menyajikan kisah keluarganya yang bermigrasi ke negara lain, menekankan bagaimana kenangan masa lalu masih memengaruhi kehidupannya hingga saat ini.
Puisi ini dimulai dengan metafora meja makan keluarga, simbol tempat di mana mereka berbagi kenangan dan kehangatan. Makanan tradisional seperti beef suya, yang berasal dari Nigeria, mencerminkan tempat asal mereka.
Meja itu bukan sekadar tempat makan, tetapi juga sebuah ruang untuk menghidupkan kembali cerita tentang masa lalu yang sulit dan pahit, pada masa perang sipil.
Kenangan seperti paman yang terluka atau anak-anak yang berlari ke dalam api menambah lapisan emosional yang kuat, menunjukkan bahwa trauma masa lalu masih membayangi penulis.
Di bait selanjutnya, penulis menggambarkan pertemuannya dengan mendiang neneknya yang telah meninggal 40 tahun yang lalu, yang melambangkan ikatan spiritual dan emosional di antara mereka.
Dalam mimpi tersebut, neneknya mengenakan kain sutra dan dengan lembut menyisir rambut ikalnya, seraya berpesan, “Jadikan rasa sakit itu cinta, maka kau akan kuat.”
Pesan ini menunjukkan bahwa meskipun masa lalu penulis penuh dengan penderitaan, belajarlah dalam menerima dan merangkul rasa sakit itu untuk menjadikannya sumber kekuatan.
Selanjutnya, penulis mengenang ayahnya. Dalam foto, sang ayah digambarkan dengan kumis tebal dan hidung yang mirip dengan penulis.
Baca Juga: Analisis puisi Aku karya Chairil Anwar
Momen dalam foto ini dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan, namun diikuti dengan realita yang pahit bahwa setelah si penulis lahir, keluarga mereka harus meninggalkan tempat asal mereka yang indah karena perang sipil.
Mereka pergi tanpa pernah menoleh ke belakang, sementara tempat yang mereka sebut rumah itu hancur akibat serangan misil.
Penulis juga menyinggung bagaimana orang tuanya berharap ia menjadi pengacara, namun ia memilih menjadi seorang penulis, ini menjadi simbol kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
Ayahnya bermimpi menjadi tukang cukur seperti kakeknya, namun ia berakhir sebagai tukang las, di mana ia sering mengalami diskriminasi ras di tempat kerjanya.
Ibunya, yang bekerja sebagai perawat, juga mengalami perlakuan yang serupa, namun tetap menjalankan tugasnya sebagai perawat, walaupun ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil.
Puisi ini mengambarkan tentang rasa sakit, kebahagiaan, keberanian, pengorbanan, dan pengalaman imigrasi sang penulis serta keluarganya. Penulis merangkul kepahitan hidup dan mengubahnya menjadi kekuatan untuk terus bertahan di dunia tidak adil dan kejam.
Ini adalah kisah yang menunjukkan bahwa meskipun hidup itu sulit, selalu ada cinta dan harapan dalam diri dan orang sekitar terutama keluarga yang mendorong kita untuk terus maju melangkah.
Pendapat mahasiswa Sastra Inggris Andalas terhadap puisi tersebut:
“Setiap bait dalam puisi ini seperti menjalin masa lalu dan masa kini menjadi satu, memperlihatkan bahwa kenangan keluarga baik yang manis maupun yang pahit tetap bersemayam dalam diri kita, menjadi bagian dari siapa kita dan membentuk cara kita melihat dunia.” -Tasnim Alfansyuri Mahasiswa Sastra Inggris Angkatan 23.
“Bait tentang ayahnya, yang bekerja sebagai tukang las di lingkungan yang tidak memberinya tempat, meng-highlight ketidakadilan sosial. Ini menggambarkan bagaimana imigran sering kali diabaikan atau dieksploitasi, menghadapi perlakuan yang tidak adil dalam kehidupan sehari-hari mereka.” -Haikal Mahasiswa Sastra Inggris Angkatan 23.
“Penulis menyampaikan meskipun ia mengalami trauma, ia dapat mengubahnya menjadi kekuatan untuk bertahan hidup dan terus melangkah maju.”-Alya Malikka Mahasiswi Sastra Inggris Angkatan 23.
Penulis: Zharifi Tsabita
Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News