Rahasia Bank: Penghambat atau Pendukung dalam Pengungkapan Tindak Pidana Pencucian Uang?

Pencucian Uang
Ilustrasi Tindak Pidana Pencucian Uang (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pengenalan tindak pidana pencucian uang di Indonesia bermula pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan hukum, undang-undang ini kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, sebelum akhirnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Keberadaan UU ini memperjelas bahwa pencucian uang tidak hanya sekadar aktivitas ilegal ekonomi, tetapi juga pelanggaran serius terhadap sistem hukum dan integritas keuangan.

Namun, penerapan UU TPPU menghadapi berbagai tantangan, salah satunya terkait rahasia bank yang telah lama diatur dalam perundang-undangan perbankan.

Bacaan Lainnya

Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank diwajibkan untuk menjaga kerahasiaan data nasabah, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur oleh undang-undang. Kondisi ini menimbulkan tarik-ulur antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak privasi nasabah.

Sebagai tindak pidana yang memerlukan pembuktian kompleks, kasus pencucian uang sering kali melibatkan penyelidikan terhadap transaksi keuangan yang tersimpan dalam sistem perbankan. Prinsip rahasia bank, yang sejatinya bertujuan melindungi kepercayaan nasabah, dapat menjadi hambatan dalam penyelidikan dan penuntutan kasus pencucian uang.

UU TPPU memberikan dasar hukum yang memungkinkan pengecualian terhadap prinsip rahasia bank. Pasal 45 UU TPPU menyatakan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kerahasiaan, termasuk rahasia bank, tidak berlaku bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Selain itu, Pasal 72 ayat (2) UU TPPU memberikan kewenangan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk meminta informasi dari bank tanpa terikat ketentuan rahasia bank, demi kepentingan pemeriksaan perkara pencucian uang.

Langkah ini, meskipun efektif dalam mempercepat pengungkapan kasus, menimbulkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan hak privasi dan penegakan hukum. Terlebih, pelaporan transaksi mencurigakan oleh bank kepada PPATK, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU TPPU, sering kali melibatkan data nasabah yang dianggap sensitif.

Rahasia bank telah mengalami berbagai adaptasi hukum di Indonesia. Dalam konteks tindak pidana, pengecualian terhadap rahasia bank diatur dalam Pasal 41 hingga 44A UU Perbankan, serta didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa rahasia bank dapat dikecualikan untuk kepentingan peradilan, termasuk perkara tindak pidana pencucian uang.

Pengaturan lebih lanjut terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.

Perppu ini mengatur akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan menyatakan bahwa Pasal 40 UU Perbankan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses tersebut. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah untuk memperluas ruang lingkup pengecualian rahasia bank demi tujuan penegakan hukum.

Meskipun UU TPPU memberikan kerangka hukum yang cukup jelas, pelaksanaannya menghadapi tantangan di lapangan. Salah satu isu utama adalah kurangnya regulasi khusus yang mengatur mekanisme perampasan aset secara efisien untuk pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana asal, seperti korupsi. Selain itu, masih terdapat potensi konflik antara perlindungan data nasabah dan kewajiban pelaporan bank.

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:

1. Harmonisasi Regulasi:

Pemerintah perlu memastikan sinkronisasi antara aturan terkait rahasia bank dengan UU TPPU, sehingga tidak menimbulkan multitafsir di kalangan penegak hukum maupun lembaga keuangan.

2. Penguatan Pengawasan:

Otoritas seperti PPATK perlu didukung dengan sistem pengawasan yang transparan untuk memastikan bahwa data nasabah yang diakses digunakan semata-mata untuk keperluan penegakan hukum.

3. Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum:

Pelatihan khusus untuk penyidik, jaksa, dan hakim diperlukan agar mereka dapat memahami kompleksitas kasus pencucian uang dan penggunaan informasi perbankan secara efektif.

Pengecualian terhadap rahasia bank dalam penanganan tindak pidana pencucian uang merupakan langkah penting untuk memastikan keadilan dan integritas sistem keuangan. Namun, langkah ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengorbankan prinsip dasar perlindungan hak privasi nasabah.

Dengan regulasi yang harmonis dan implementasi yang cermat, Indonesia dapat memperkuat upaya pemberantasan pencucian uang sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan.

 

Penulis: Dika Wirapratama
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses