Raja Ampat, gugusan kepulauan di Papua Barat, sering disebut sebagai “surga terakhir” biodiversitas laut dunia. Kawasan ini menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia, ribuan jenis ikan, dan ekosistem mangrove yang vital.
Namun, di balik keindahannya, Raja Ampat kini menghadapi ancaman serius akibat aktivitas manusia dan perubahan iklim. Jika tidak ada langkah konkret, kita berisiko kehilangan salah satu kekayaan alam terbesar Indonesia—bahkan dunia.
Ancaman yang Membayangi Raja Ampat
1. Kerusakan Ekosistem Akibat Pariwisata Tidak Terkendali
Peningkatan jumlah wisatawan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir telah membawa dampak buruk bagi lingkungan. Aktivitas snorkeling dan diving yang tidak bertanggung jawab merusak terumbu karang, sementara sampah plastik dari kapal wisata mencemari perairan.
Menurut *Conservation International (2022), beberapa spot diving di Raja Ampat sudah menunjukkan tanda-tanda degradasi akibat tekanan wisata massal.
2. Penangkapan Ikan Ilegal dan Destruktif
Praktik pengeboman ikan, penggunaan racun sianida, dan penangkapan berlebihan oleh kapal asing masih marak. WWF Indonesia (2023)melaporkan bahwa setidaknya 20% terumbu karang di wilayah tertentu Raja Ampat telah rusak akibat aktivitas ilegal ini. Padahal, terumbu karang adalah fondasi utama ekosistem laut di sana.
3. Pembangunan Infrastruktur Tanpa Kajian Lingkungan Mendalam
Proyek-proyek seperti pembangunan bandara dan resort mewah sering kali mengabaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tempo (2021) pernah melaporkan bahwa pembukaan lahan untuk proyek wisata menyebabkan sedimentasi yang merusak kawasan pesisir.
4. Dampak Perubahan Iklim
Naiknya suhu laut menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching), sementara kenaikan permukaan air mengancam pulau-pulau kecil. LIPI (2020) memprediksi bahwa tanpa upaya mitigasi, 30% terumbu karang Raja Ampat bisa mengalami kematian massal dalam dekade mendatang.
Langkah-Langkah Mendesak untuk Menyelamatkan Raja Ampat
1. Memperkuat Regulasi dan Penegakan Hukum
- Pemerintah harus meningkatkan patroli laut untuk memberantas penangkapan ikan ilegal;
- Pembatasan ketat jumlah wisatawan dan penerapan sistem kuota seperti yang dilakukan di Galapagos (Ecuador) bisa menjadi contoh.
2. Mendorong Pariwisata Berkelanjutan
Memastikan semua operator wisata mematuhi aturan ekowisata, seperti larangan penggunaan sunscreen berbahaya dan pembatasan kapal bermotor di zona sensitif. Seperti di menerapkan “Palau Pledge”, di mana wisatawan wajib menandatangani komitmen menjaga lingkungan.
3. Melibatkan Masyarakat Lokal dalam Konservasi
Sangat penting adanya keterlibaan masyarakat lokal dalam program pemberdayaan sumber daya alam seperti EcoNusa telah menunjukkan bahwa masyarakat adat bisa menjadi garda terdepan perlindungan laut jika diberikan insentif dan pelatihan.
4. Kolaborasi Internasional untuk Pendanaan dan Riset
Sanggat dibutuhkan kolaborasi internasional untuk pendanaan dan riset, Raja Ampat adalah bagian dari Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), yang mendapat dukungan dari UNDP dan The Nature Conservancy. Perlu lebih banyak kerja sama global untuk pendanaan konservasi.
Beberapa hari terakhir #saveRajaAmpat viral di media sosial seperti Instagram TikTok dan X, gerakan itu dipicu kekhawatiran publik terhadap program hilirisasi tambang nikel yang menyasar kawasan Raja Ampat merespon kekhawatiran itu aktivis dan 4 anak muda Papua dari Raja Ampat melakukan aksi protes damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta pada Selasa (3/06/2025), para aktivis dan masyarakat adat Papua itu menolak penambangan nikel di kawasan Raja Ampat Papua.
Mereka menerbangkan banner bertuliskan What’s the true cost of your De camp mereka juga membentangkan spanduk dengan pesan Michael Manchester United dan chef Raja Ampat from nikel.
Juru kampanye hutan kritis Indonesia Iqbal Damanik menyebut industrialisasi nikel itu telah menghancurkan hutan tanah sungai dan laut di berbagai daerah Papua ini tambang nikel itu disebut mengancam Raja Ampat Papua yang dipenuhi keanekaragaman hayati, sebelumnya pada tahun 2024 menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat yakni Pulau Gas, Pulau KW, dan pulau Madura.
Ketiga pulau itu masuk dalam pulau-pulau kecil yang tak boleh ditambang menurut UU Nomor 1 Tahun 2014, menganalisis bahwa eksploitasi nikel di ketiga Pulau itu membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas.
Ini merupakan contoh kasus yang terjadi baru-baru ini yang telah mendapat dukungan dari masyarakat yang khawatir akan terancamnya ekosistem di Raja Ampat.
Kesimpulan
Raja Ampat adalah harta yang tak ternilai, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Ancaman yang dihadapinya nyata dan mendesak. Tanpa aksi kolektif—mulai dari pemerintah, masyarakat lokal, industri pariwisata, hingga wisatawan—kita bisa kehilangan surga laut ini selamanya.
Waktunya bicara dengan tindakan, bukan hanya kata-kata karena kata-kata saja tidak cukup, kita perlu keberanian untuk tidakan nyata sebelum penyesalan datang.
Penulis: Jeqlince Mercahy Wanena
Mahasiswa Hubungan Internasonal Universitas Cendrawasih
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Referensi
Conservation International. (2022). The State of Coral Reefs in Raja Ampat.
WWF Indonesia. (2023). Laporan Ancaman Perikanan Ilegal di Papua Barat.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (2020).
Dampak Perubahan Iklim pada Ekosistem Pesisir Raja Ampat.
Tempo. (2021). Proyek Wisata dan Dampaknya pada Lingkungan Raja Ampat.
UNDP. (2023). Coral Triangle Initiative: Progress and Challengeshttps://youtu.be/GJ_0sfGWA6c?si=oI-jg9nCT_QeGxDV
Ikuti berita terbaru di Google News