Senja di ufuk barat perlahan meredup, menandakan hari kesekian di bulan Ramadan yang penuh berkah. Di kamar kos yang sempit, aku duduk termenung, menatap layar ponsel yang menampilkan foto keluarga di kampung halaman.
Rindu yang sedari tadi kutahan, kini pecah tak terbendung. Ramadan tahun ini terasa begitu berbeda, begitu jauh dari hangatnya kebersamaan keluarga.
Di perantauan ini, aku menjalani Ramadan seorang diri. Sahur dan berbuka seadanya, tanpa masakan ibu yang selalu kurindukan. Tarawih pun kulakukan di masjid kampus, bersama teman-teman senasib yang juga jauh dari keluarga.
Namun, di tengah kesendirian ini, aku belajar banyak tentang kesabaran dan ketabahan. Ramadan mengajariku untuk lebih menghargai setiap momen kebersamaan dengan keluarga, yang mungkin selama ini sering kulupakan.
Setiap malam, usai salat tarawih, aku selalu menyempatkan diri menelepon ibu dan ayah. Suara mereka adalah obat penawar rindu yang paling mujarab. Kami bercerita tentang banyak hal, tentang kegiatan sehari-hari, tentang menu buka puasa, dan tentu saja, tentang persiapan mudik Lebaran.
Baca juga:Â Akhir Ramadan, Mahasiswa Mudik: Tradisi dan Makna di Balik Perjalanan
Indonesia, negara kepulauan yang indah ini, memiliki tradisi mudik yang unik. Bagi kami, para mahasiswa yang merantau di pulau seberang, mudik bukan sekadar perjalanan pulang kampung. Mudik adalah sebuah perjuangan, sebuah petualangan yang penuh dengan cerita.
Kapal laut menjadi pilihan transportasi utama bagi kami. Meski perjalanan memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, kami tetap setia memilih kapal. Bagi kami, kapal adalah simbol perjuangan dan harapan.
Di atas kapal, kami bertemu dengan sesama perantau, saling berbagi cerita dan pengalaman.
Suasana di kapal pun selalu meriah. Ada yang bermain gitar sambil bernyanyi, ada yang bercengkerama sambil menikmati pemandangan laut, dan ada pula yang khusyuk membaca Al-Qur’an.
Meski berdesakan dan tidur beralaskan tikar, kami tetap menikmati setiap detik perjalanan.
Kini, hari-hari terakhir Ramadan telah tiba. Semangat mudik semakin membara di dada. Tiket kapal sudah di tangan, dan tas ransel sudah siap menemani perjalanan panjangku. Tak sabar rasanya membayangkan wajah-wajah bahagia keluarga yang menanti di pelabuhan.
Baca juga:Â Mahasiswa, Sepak Bola, dan Ramadan: Menjaga Keseimbangan di Bulan Suci
Mudik dengan kapal, bagiku, adalah sebuah perjalanan spiritual. Di tengah deburan ombak dan luasnya samudra, aku merenungkan makna Ramadan dan arti keluarga. Aku bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan, dan berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Semoga Ramadan tahun ini membawa berkah bagi kita semua. Dan semoga, perjalanan mudik kita nanti berjalan lancar dan penuh dengan kebahagiaan.
Menahan Rindu, Menanti Mudik Lebaran – Sebuah Refleksi Mahasiswa
Kisah seorang mahasiswa yang menjalani Ramadan di perantauan, jauh dari hangatnya keluarga, adalah potret nyata dari jutaan anak muda Indonesia. Di tengah kesibukan kuliah dan tugas-tugas akademik, mereka harus menahan rindu yang menggebu.
Menantikan momen mudik Lebaran yang selalu dinanti-nanti. Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kebersamaan, berubah menjadi ujian kesabaran dan ketabahan.
Perjalanan mudik dengan kapal, yang digambarkan dalam cerita, adalah sebuah fenomena unik yang hanya bisa ditemukan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kapal laut menjadi tulang punggung transportasi yang menghubungkan pulau-pulau yang terpisah oleh lautan.
Bagi para mahasiswa perantauan, kapal bukan sekadar alat transportasi, tetapi juga simbol perjuangan dan harapan. Di atas kapal, mereka menemukan komunitas baru, berbagi cerita dan pengalaman, serta memperkuat rasa persaudaraan.
Lebih dari sekadar perjalanan fisik, mudik dengan kapal adalah perjalanan spiritual. Di tengah deburan ombak dan luasnya samudra, para mahasiswa merenungkan makna Ramadan, arti keluarga, dan nilai-nilai kehidupan.
Mereka belajar tentang kesabaran, ketabahan, dan pentingnya menghargai setiap momen kebersamaan. Perjalanan panjang dan melelahkan ini menjadi kesempatan untuk introspeksi diri, memperbaiki diri, dan memperkuat hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Cerita ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga tradisi dan budaya Indonesia. Mudik Lebaran, dengan segala kerumitan dan perjuangannya, adalah bagian dari identitas bangsa yang harus dilestarikan.
Di tengah kehidupan yang tidak lagi sederhana, tradisi mudik menjadi jangkar yang menghubungkan kita dengan akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.
Baca juga:Â Ramadan di Kosan: Ketika Menjalani Puasa Jauh dari Keluarga
Pada akhirnya, cerita “Ramadan di Perantauan: Menahan Rindu, Menanti Mudik Lebaran” adalah kisah tentang harapan, ketabahan, dan cinta.
Kisah tentang jutaan anak muda Indonesia yang berjuang untuk meraih mimpi, sambil tetap memegang teguh nilai-nilai keluarga dan tradisi.
Kisah yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan, dan untuk selalu menghargai setiap momen kebersamaan dengan orang-orang terkasih.
Penulis:Â Ismail Suardi Wekke
Cendekiawan Muslim Indonesia
Editor:Â Redaksi Media Mahasiswa Indonesia
Ikuti berita terbaru di Google News