Security Dilemma antara China dan Taiwan

Perang DIngin
Ilustrasi: pixabay.com

China dan Taiwan sempat mengalami hubungan yang pasang surut di masa lalu. Berawal dari berbagai macam konflik dan ketegangan antar kelompok nasionalis dan komunis pasca keruntuhan kekuasaan monarki dari dinasti China, hingga berujung pada perang saudara yang telah merenggut jutaan nyawa penduduk China.

Perang saudara ini didasari atas keinginan untuk mendapatkan kekuasaan dan perebutan wilayah oleh kedua kelompok tersebut.

Pada akhirnya, pada tahun 1949 perang dimenangkan oleh Partai Komunis China (PKC) yang dipimpin oleh Mao Zedong. Kemenangan ini membuat kelompok nasionalis dari Partai Kuomintang (PNC) di bawah pimpinan Chiang Kai-Shek mundur ke Pulau Taiwan.

Baca Juga: Konflik Sipil di Sudan Menyebabkan Banyaknya Pengungsi

Bacaan Lainnya

Konflik berdarah yang terjadi antara Partai Komunis dan Partai Nasionalis merupakan permulaan dari berbagai ketegangan yang terjadi pada China-Taiwan, seperti Krisis Selat Taiwan yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa perang dingin.

Pemimpin Partai Nasionalis China, Chiang Kai-Shek berambisi untuk meraih kedaulatan dan melepaskan Taiwan dari RRC. Ambisi tersebut sangat berlawanan dengan kebijakan yang diutarakan RRC, yakni kebijakan One China Policy yang menyatakan bahwa China terdiri atas satu kesatuan, yakni China Daratan.

Asas ini membuktikan bahwa RRC bertekad untuk menyatukan kembali China dan Taiwan sebagai satu daratan, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh kebijakan One China tersebut.

Ketegangan antara Partai Nasionalis dan Partai Komunis berujung pada krisis Selat Taiwan pertama pada tahun 1954 sampai 1955. Konflik ini bermula ketika RRC melakukan penyerangan terhadap Republik China di Kepulauan Yijangshian dan memukul mundur Republik China untuk pergi dari Tachen.

Konflik ini tidak lepas dari intervensi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Republik China atas dasar membatasi pengaruh ideologi komunis Uni Soviet yang kental pada RRC di Daratan China.

Konflik ini diakhiri oleh kesepakatan gencatan senjata dan evakuasi pasukan Republik China (nasionalis) ke pulau Formosa. Tiga tahun berselang semenjak konflik pertama, RRC kembali menyerang posisi Republik China di kepulauan Matsu dan Quemoy.

Hubungan antara China dan Taiwan yang sempat mengalami panas-dingin di masa lalu, kembali memanas pada masa kini. Situasi yang kembali memanas ini dilatarbelakangi oleh modernisasi alutsista pertahanan dan militer yang dilakukan oleh China.

Terlebih dari itu, klaim wilayah di Laut Cina Selatan oleh China membuat Taiwan semakin khawatir tentang potensi ancaman oleh China yang mengganggu keamanan negaranya. Menanggapi hal ini, Taiwan semakin memperkuat militer yang dimilikinya, serta memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu regionalnya.

Baca Juga: Dampak Global Akibat Konflik Rusia-Ukraina terhadap Indonesia

Ketegangan situasi semakin diperparah oleh jaringan aliansi dan kemitraan strategis yang kompleks di kawasan. Amerika Serikat telah berjanji untuk menjaga keamanan secara jangka panjang terhadap Taiwan, dan telah meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut sebagai tanggapan atas meningkatnya pergerakan militer China.

Tak hanya itu, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara lain di kawasan tersebut juga memiliki kepentingan strategis yang membuat mereka turut menjaga stabilitas wilayah dan menghalangi agresi China terhadap Pulau Taiwan.

Mereka juga telah bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk memperkuat kerja sama keamanan regional dan menyusun langkah-langkah pencegahan yang lebih kuat.

Security dilemma antara China dan Taiwan memiliki implikasi penting bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia-Pasifik. Risiko tinggi terjadinya peperangan antara China dan Taiwan dan eskalasi konflik apa pun dapat menimbulkan ketakutan bagi seluruh kawasan.

Komunitas internasional, khususnya Amerika Serikat telah berupaya untuk mengelola dilema keamanan antara China dan Taiwan dengan cara memberikan dukungan militer dan diplomatis kepada Taiwan.

Penting bagi Amerika Serikat untuk mempertahankan komitmennya untuk menjaga keamanan Taiwan, serta melakukan kooperasi dengan sekutu regional lainnya di kawasan tersebut untuk memperkuat pencegahan konflik yang lebih kuat dan meningkatkan stabilitas di kawasan tersebut.

Amerika Serikat dan negara-negara di sekitar kawasan tersebut juga telah berupaya untuk melakukan pendekatan halus dalam menghadapi China, seperti misalnya melalui dialog antara China dan Taiwan.

Namun, apabila gagal menggunakan pendekatan halus seperti dialog dan pertemuan untuk mengakhiri ketegangan antara China dan Taiwan, maka negara-negara turut memberikan peringatan untuk menurunkan eskalasi ketegangan di kawasan tersebut agar tidak sampai terjadi perang.

Di satu sisi, RRC yang masih bersikeras untuk menganggap ROC atau Pulau Taiwan sebagai bagian dari RRC adalah suatu hal yang rumit dan sulit untuk ditemukan jalan keluarnya. Berbagai intervensi yang telah dilakukan oleh negara-negara lain terhadap China dan Taiwan cenderung memperkeruh keadaan.

Baca Juga: Hubungan Hukum Islam dan Hukum Internasional

Seperti pada masa perang dingin yang melibatkan intervensi Amerika Serikat terhadap Taiwan dengan memberikan bantuan alutsista militer, bantuan udara, serta personel militer untuk berjaga di sekitar wilayah tersebut yang bertujuan untuk mencegah pengaruh komunisme masuk ke Taiwan.

Dengan ini, intervensi Amerika Serikat dalam hal bantuan militer kepada Taiwan dianggap sebagai ancaman terhadap China. Ancaman ini membuat China melakukan pembaharuan militer secara masif dan mengembangkan senjata nuklir yang memiliki daya hancur yang tinggi.

Ketakutan tersebut tak hanya dirasakan oleh Taiwan, melainkan juga negara-negara di regional tersebut. Dengan ini, intervensi dari negara lain dinilai kurang mampu untuk meredam konflik, hingga sekarang.

Jika dilihat dari latar belakang ideologi dan kebudayaan, China dan Taiwan memiliki banyak perbedaan signifikan.

Jika ditinjau dari masa lalu, China dan Taiwan sempat memiliki hubungan yang pasang surut, dari berakhirnya kekuasaan Dinasti Qing, perlawanan terhadap pendudukan Jepang, hingga perang saudara yang memecahkan mereka, China dan Taiwan adalah dua wilayah yang berbeda secara ideologi China menganut paham komunis, sedangkan Taiwan menganut paham nasionalisme.

Perbedaan iniliah yang membuat sulitnya mereka untuk bersatu di bawah kebijakan Satu China. Selanjutnya, China bersikeras untuk mengklaim wilayah Taiwan dengan cara improvisasi kekuatan militer secara besar-besaran dan kemudian direspon oleh Taiwan dengan cara yang sama melalui dukungan Amerika Serikat atas dasar ketakutan terhadap ancaman yang dirasakan oleh kedua pihak.

Apabila hal ini terjadi secara terus-menerus maka akan sulit untuk menurunkan ketegangan di antara China dan Taiwan. Maka, diperlukannya suatu kesepakatan antara China dan Taiwan untuk mengurangi ketegangan dengan cara mengurangi sikap agresi militer yang saling diperlihatkan oleh kedua pihak tersebut.

Penulis: 

Muhammad Agha Fathan Maulana
Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses