Jagad pendidikan masih dalam keadaan cemas menghadapi segala macam pilu. Mulai dari hubungan guru dan murid maupun murid dan murid. Romansa pendidikan sedang dihantam berbagai asumsi. Sekolah hanya mencipta murid yang berhasil mengantongi selembar ijazah tanpa kesan dan cerita. Dengan begitu pembonsaian karakter sebenarnya mengakar pada masalah pendidikan.
Umumnya, sekolah melulu tentang mengerjakan, menghafal, mengisi dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru di ruang kelas. Lain halnya di Summerhill, sekolah yang didirikan oleh Alexander Sutherland Neil. Sekolah ini menjadi bersinar karena menerapkan prinsip kebebasan dan prinsip swakelola kepada siswa-siswinya. Di Summerhill kau akan bernafas dengan “sekolah sesukamu”.
Neil benar-benar menghayati kebebasan anak didiknya dengan membiarkan mereka melakukan apapun selama tidak mengganggu hidup orang lain. Summerhill menerima anak yang bermasalah, seperti sering mencuri, berbohong, mengumpat dan menjual properti pribadi di Summerhill. Dengan keyakinan mereka akan membutuhkan benda itu dan mengembalikan ke asalnya setelah selesai di “pinjam”.
Bebas bermain sesuka hati, fasilitas yang lengkap seperti bengkel kerja, kolam renang, perpustakaan, ruang bermusik, ruang kesenian, ladang dan laboratorium. Tidak membuat Neil angkuh memantri kata “Ikutilah Peraturan”. Mereka boleh mengikuti pelajaran atau tidak mengikuti pelajaran, tidak ada paksaan sama sekali. Mereka akan dibedakan berdasarkan umur dan berdasarkan minat masing-masing agar mereka tercuci dari alam rimba raya keseriusan yang menakutkan.
Jangan kita kira anak-anak tak mampu memiliki dan melakoni kesepakatan hukum. Peristiwa memutuskan sesuatu atau semua yang bertalian dengan kehidupan kelompok, hukuman dan kehidupan bersama dapat anak-anak jalankan dan rumuskan dalam rapat bersistem voting. Peraturan-peraturan hanyalah untuk mereka sendiri. Denda, kegaduhan serta lemah atau kuatnya keputusan ditentukan oleh pemimpin rapat. Mereka beradu pendapat, beradu ide hukuman paling “rasional” menurut mereka. Wah! jika itu hal yang terjadi antar saudara atau murid-muridmu, kau pasti bersepakat dengan Niel “Mereka sebenarnya orang dewasa yang masih terjebak pada tubuh yang bertumbuh”.
Dalam ruang rapat Summerhill kegaduhan menjadi peristiwa yang asing. Sama halnya dakwaan bersalah jarang sekali ditolak oleh mereka yang bersalah karena sikap toleransi. Semisal seorang siswa yang kedapatan mencuri, mereka akan diadili berdasarkan alasan pencurian bukan karena kejahatan mencuri. Jika kekurangan menjadi motif pencurian, para hakim dan peserta pegadilan akan berembuk dan menggalang dana bersama, hingga kejahatan pencurian tak lagi terjadi. Mereka menawarkan hukum dan solusi.
Semua urusan dijalankan dengan prinsip swakelola. Prinsip ini tidak hanya melahirkan sejumput aturan melainkan untuk membahas seluruh aspek sosial komunitas. Menurut hemat Neil, “Hukuman hanyalah menciptakan kejahatan.”. Summerhill menjadi surga bagi anak didiknya karena sekolah ini memandang permainan adalah unsur yang paling utama. Sudah seyogyanya kita menyakini bahwa jagad anak-anak adalah jagad permainan dan hal itu tak boleh dicampuri oleh orang dewasa sekalipun. Seperti yang diungkapkan Neil pada halaman 91: Salah satu penjelasan yang jamak diterima adalah bahwa anak-anak bermain untuk mempersiapkan kehidupan mereka kelak”.
Summerhill percaya bahwa ketika anak sudah merasa cukup dalam bermain, dia akan mulai bekerja dan memapak aneka kesulitan. Kehidupan anak kecil ialah kehidupan fantasi dan mereka menerjemahkan fantasi ini dalam perbuatan. Bergelimang permaianan yang cukup diberikan akan mereduksi kekacauan suatu peradaban. Anak akan terselamatkan dari segala badai racau karena mendapatkan kesempatan bermain. Hingga pada usia dewasa mereka tak gemar bermain-main.
Inipun diamini oleh novel berjudul Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, saat kepala sekolah memergoki Totto Chan yang mengorek-ngorek lubang toilet, ia tak menghentikan muridnya dan menyuruh orang lain untuk membersihkan kekacauan itu, kepala sekolah Totto Chan hanya berkata “bereskan kembali jika kau sudah selesai Totto Chan” kalimat enteng layaknya menyuruh teman yang mengobrak-abrik perpustakaan pribadi saat mencari sebuah novel. Setara! Kepercayaan yang diberikan setara antara teman dan murid.
Tantangan untuk menuai kebebasan dalam bermain berasal dari kekhawatiran orang-orang dewasa dalam hal ini adalah orang tua. Melalui pidato Neil pada suatu pagi di sebuah forum diskusi: Kekhawatiran adalah akar dari kebencian orang tua terhadap permainan anak-anak. Kekhawatiran terhadap masa depan anak mendorong orangtua merampas hak anak untuk bermain. Kealpaan orang tua dalam menginsyafi keceriaan masa kecil akan mengakibatkan mati fisik pula menjadi ancaman bagi anak dan merusak tatan sosial mereka.
Ketulusan menjadi kunci bermasyarakat. Bahkan ketulusan sesungguhnya menjadi hal yang paling vital. Segala kebaikan akan berlabuh pada setiap diri karena ketulusan. Di Summerhill guru tidak hanya mengurusi murid sebatas leher ke atas saja. Sehingga ranah emosional menjadi abai dari seorang guru. Belajar keras nan tekun tak menjadi garansi utama dalam kelulusan sang murid, tetapi iklim kebebasanlah termasuk bebas berimajinasi yang tak kalah penting pun dibumbui dengan humor.
Surga pendidikan ini telah melahirkan banyak alumni yang sukses secara psikologis, ekonomis, akademis, sosiokultural, dan politis. Mereka menjadi insinyur, dokter, dosen, pemusik, pengusaha, mekanis, koki, dan segala macam profesi yang berpikiran maju dan terbuka, jujur, tekun, optimis, dan bahagia. Pembangunan sebuah bangsa terletak dalam tubuh setiap generasi muda. Sudah semestinya kita mengimani bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Dengan bermain di situlah letak belajar bagi jiwa anak-anak.
Summerhill bukan sekedar sekolah tetapi sebuah cara hidup, hidup bersama orang lain dalam sebuah masyarakat dan mengekspresikan diri dengan segenap kecintaan kita pada kasih sayang, ilmu pengetahuan, dan karya. Sudahkah sekolah mengajarimu menjadi manusia yang benar-benar berbahagia?
Citra Pertiwi Amru