Di balik dinding-dinding ruang kelas, sering ada anak-anak yang diam-diam merasa kecil. Mereka merasa tidak cukup pintar, tidak cukup cepat, tidak cukup baik.
Lebih menyedihkan lagi, sistem pendidikan kita terkadang justru menguatkan perasaan itu dengan standar yang seragam dan sempit.
Hari ini, kita masih sering mengukur kecerdasan anak hanya dari angka.
Nilai ujian, peringkat kelas, dan prestasi akademik menjadi tolok ukur tunggal.
Seolah-olah yang cerdas hanyalah mereka yang duduk di peringkat teratas.
Padahal, cara pandang seperti ini kurang tepat bagi semua anak.
Berdasarkan data Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 81 negara dalam kemampuan membaca dan peringkat ke-75 dalam matematika.
Namun, masalah pendidikan kita bukan hanya tentang angka rendah. Lebih dalam dari itu, sistem pendidikan kita belum ramah terhadap perbedaan minat, bakat, dan cara belajar setiap anak.
Guru kami, KH. Ahmad Junaidi Hidayat, S.H., S.Ag., pernah berkata, “Semua anak itu istimewa dan dapat menjadi juara di bidangnya masing-masing. Jika diibaratkan seperti burung, maka burung tidak akan menjadi juara saat berenang, tapi akan menjadi juara saat terbang. Begitu juga sebaliknya.”
Baca juga:Â Museum Pendidikan Surabaya: Jejak Sejarah untuk Memupuk Cinta Tanah Air Generasi Muda
Kalimat itu sederhana, tapi dalam maknanya.
Setiap anak lahir dengan keunikan dan kecerdasannya sendiri.
Tidak semua anak harus unggul dalam hitungan.
Tidak semua anak harus pandai bicara di depan kelas.
Ada yang berbakat menggambar, ada yang cerdas di lapangan olahraga, ada pula yang hebat dalam kepemimpinan.
Sayangnya, kita sering terburu-buru menilai anak hanya dari apa yang tertulis di atas kertas.
Kita lupa bahwa ada kecerdasan yang tidak bisa diukur dengan angka.
Ada anak yang luar biasa dalam memahami perasaan orang lain.
Ada juga anak yang jenius dalam menyelesaikan masalah praktis, meski nilainya di mata pelajaran tertentu biasa saja.
Pendidikan yang baik bukanlah yang memaksa semua anak menempuh jalur yang sama.
Pendidikan yang baik adalah yang memberikan ruang luas agar setiap anak menemukan jalannya masing-masing.
Kita perlu memberikan kepercayaan dan apresiasi yang tulus agar kreativitas mereka tumbuh dengan sehat.
Seringkali, yang dibutuhkan anak-anak hanyalah pengakuan bahwa mereka berharga meski jalurnya berbeda dari yang lain.
Baca juga:Â Pendidikan Kewarganegaraan: Pilar Penting Terbentuknya Karakter Individu
Gagasan “Semua Anak Itu Istimewa” menawarkan ide yang sederhana namun penting.
Sekolah dan kampus perlu menyediakan ruang khusus untuk eksplorasi, tempat di mana siswa dan mahasiswa bebas mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Ruang ini tidak harus mewah.
Bisa dalam bentuk workshop mingguan, pameran hasil karya siswa, festival bakat tahunan, atau ruang berkarya yang bebas tanpa batasan kurikulum.
Setiap minat dan bakat, sekecil apapun, perlu dihargai dan difasilitasi dengan serius.
Karena ketika seorang anak berhasil di bidang yang ia pilih, maka institusi tempatnya belajar juga ikut menjadi pemenang.
Selain itu, sekolah juga perlu bekerja sama dengan psikolog dan konselor pendidikan untuk membantu siswa mengenali potensi diri mereka.
Pendekatan seperti ini penting agar setiap anak mendapatkan metode belajar yang sesuai dengan gaya mereka masing-masing.
Kita juga harus mulai meninggalkan pola pendidikan yang keras, seperti membentak dan memarahi siswa.
Cara seperti itu tidak akan membentuk mental yang kuat, justru hanya meninggalkan luka dan rasa takut yang tidak produktif.
Contoh nyata dari gagasan ini bisa kita lihat di Pondok Pesantren Aqobah International School.
Meski usia pondok ini belum genap lima tahun, sistem pendidikannya sudah memberikan ruang yang luar biasa bagi para santri untuk bertumbuh sesuai dengan potensinya masing-masing.
Pendampingan yang dilakukan langsung oleh Abah Yai KH. Junaidi, dibantu oleh guru-guru, ustadz, dan ustadzah, membuat proses belajar di sana terasa sangat dekat dan personal.
Sejak awal masuk, para santri diberikan fasilitas tes psikologi untuk mengetahui kelebihan, kekurangan, serta gaya belajar mereka.
Hasil tes tersebut menjadi acuan bagi para guru dalam menyusun pendekatan mengajar yang tepat.
Setiap anak dibimbing sesuai kebutuhan dan kemampuannya, tanpa paksaan untuk menjadi seperti anak lainnya.
Hasilnya bisa terlihat jelas. Banyak santri dari Pondok Aqobah yang telah menorehkan prestasi, baik di tingkat nasional hingga internasional, dari berbagai bidang yang berbeda.
Ini membuktikan bahwa ketika anak-anak diberikan ruang yang sesuai dengan minat dan bakat mereka, mereka bisa melesat jauh.
Saya sangat bersyukur pernah menjadi bagian dari Pondok Pesantren Aqobah. Pengalaman itu menjadi salah satu hal penting yang membentuk cara pandang saya terhadap pendidikan hari ini.
Guru kami juga pernah berpesan, “Mendidik itu bukan hanya membentuk, tapi menyiapkan bahan terbaik untuk saatnya siap menjadi sesuatu. Berikan kepercayaan dan apresiasi, maka kreativitas anak akan tumbuh dan berkembang tanpa batas. Pendampingan, aturan, dan motivasi itu secukupnya saja. Fokuslah pada kecerdasan masing-masing murid yang memang berbeda, agar ilmu yang diajarkan tidak menjadi mubazir.”
Kita juga harus berhenti memandang anak dari kacamata “tidak pintar”. Jangan pernah meremehkan seorang anak hanya karena dia tidak pandai di pelajaran tertentu.
Setiap anak sudah Allah beri kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Setiap anak sudah mendapatkan fadol atau anugerah dari Allah sesuai porsinya.
Bahkan, keinginan seorang anak untuk mondok atau menuntut ilmu agama, itu sendiri adalah tanda bahwa Allah sudah memilihnya untuk menjadi baik.
Allah yang menggerakkan hati anak itu untuk mau belajar.
Siapa kita yang berani menilai rendah hamba yang sudah Allah kehendaki untuk menjadi baik?
Sebagai mahasiswa, saya sadar mengubah sistem pendidikan bukan hal yang mudah.
Tapi menghidupkan gagasan “Semua Anak Itu Istimewa” bisa dimulai dari langkah kecil.
Mulai dari cara kita berbicara pada adik kita.
Mulai dari cara kita memahami teman kita.
Mulai dari cara kita menghargai setiap proses belajar orang-orang di sekitar kita.
Gagasan ini bukan hanya tentang pendidikan.
Baca juga:Â Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Membentuk Profesionalisme Mahasiswa Kedokteran yang Berjiwa Pancasila
Ini tentang bagaimana kita memanusiakan manusia.
Jika kita mau membuka mata dan hati, mungkin anak-anak kita akan tumbuh lebih bahagia, tanpa harus terus-menerus mengejar standar orang lain.
Semua anak itu istimewa. Mungkin, kita hanya perlu belajar untuk melihatnya dengan hati yang lebih terbuka.
Mulai hari ini, mari kita beri ruang yang lebih luas untuk anak-anak menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Mari percaya bahwa setiap anak punya waktunya. Setiap anak punya jalannya.
Dan setiap anak punya panggungnya masing-masing.
Dengan begitu, pendidikan kita tidak hanya mencetak angka, tapi membentuk manusia yang utuh dan bahagia.
Penulis: Moh Rafa Arabiey
Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News