Pernahkah kita berpikir bahwa senyum bisa menjadi ukuran keadilan?
Mungkin terdengar sederhana. Tapi coba perhatikan: siapa yang bisa tersenyum lepas tanpa malu? Siapa yang harus menutup mulut saat tertawa karena giginya rusak dan tak punya cukup uang untuk ke dokter gigi?
“Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), saya semakin menyadari bahwa masalah gigi dan mulut bukan cuma urusan kesehatan, tapi juga menyangkut harga diri, kesejahteraan, bahkan hak konstitusional.”
Gigi Sehat = Hak Konstitusional
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Tapi mari kita jujur berapa banyak yang benar-benar bisa mengakses layanan kedokteran gigi di Indonesia?
Menurut data Riskesdas 2018, sekitar 57,6% masyarakat mengalami masalah gigi, tapi hanya 10,2% yang pernah memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
Bahkan, banyak puskesmas di daerah tidak memiliki dokter gigi, atau alat perawatan dasarnya pun belum tersedia.
Artinya, jika kamu tinggal di kota besar, kamu punya hak atas senyum sehat. Tapi kalau kamu tinggal di desa terpencil, hak itu jadi mewah.
Baca Juga: Menghapus Stain dan Kembalikan Senyummu!
Apa Akibatnya?
Gigi yang rusak bukan cuma masalah estetika. Itu bisa bikin orang:
- Kesulitan fungsi pengunyahan hingga terjadinya kekurangan nutrisi
- Rasa sakit yang mengganggu aktivitas sehari-hari
- Berkurangnya rasa percaya diri dan mengganggu kehidupan sosial
- Menyebabkan masalah gigi yang lebih parah dan serius misalnya kematian saraf gigi, bengkak, dan gigi hilang
- Bahkan, berisiko terkena infeksi serius ke organ lain
Dan seperti efek domino, semua itu bisa menurunkan kualitas hidup seseorang.
Maka, ketika pelayanan kedokteran gigi tidak merata, bukan hanya kesehatan yang terancam—tapi juga kesetaraan dan keadilan sosial.
Peran Mahasiswa FKG: Bela Negara Tanpa Seragam
“Sebagai mahasiswa FKG, saya bukan tentara. Tapi saya percaya, bela negara bisa dilakukan dari kursi praktik, ruang edukasi, atau tenda pengabdian masyarakat. Kami diajarkan menambal gigi, mencabut gigi, memberi edukasi kesehatan mulut, bahkan menjahit luka di gusi. Tapi di balik semua itu, ada satu nilai penting yang kami bawa: kemanusiaan.”
Kami belajar bahwa senyum adalah simbol martabat. Dan jika sebagian rakyat tidak bisa tersenyum karena tidak ada dokter gigi di desa mereka, maka kami tahu: itu adalah bentuk ketidakadilan.
Baca Juga: Etika sebagai Pilar Profesi Dokter Gigi: Tanggung Jawab, Kemanusiaan, dan Tantangan Era Digital
Negara Hadir Jika Pelayanan Gigi Merata
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lewat BPJS sebenarnya sudah mencakup layanan gigi dasar, seperti tambal, cabut, dan scaling.
Tapi, masih banyak masyarakat yang tidak tahu, atau terkendala birokrasi dan kurangnya sosialisasi.
Di sinilah peran mahasiswa dan tenaga kesehatan sangat penting: membantu mengedukasi, menyuarakan, dan menjangkau mereka yang belum terdengar.
Karena Senyum Itu Milik Semua Orang
Senyum yang sehat bukan hak orang kota, bukan milik mereka yang mampu bayar klinik swasta. Senyum adalah milik semua orang.
Negara wajib hadir untuk menjamin itu. Dan kami, mahasiswa kedokteran gigi, siap berada di barisan yang memperjuangkannya.
Karena mungkin, suatu hari nanti, anak dari desa yang dulu takut tertawa karena giginya rusak, akan tersenyum lebar di depan kelas—dan percaya diri mengejar cita-citanya.
Baca Juga: Ketika Stres Berbicara Lewat Gigi: Kebiasaan yang Sepele, Dampak yang Serius pada Mental dan Gigi
Dan semua itu, bisa dimulai dari satu tambalan kecil. Dari satu edukasi sederhana. Dari satu senyum yang tidak lagi disembunyikan.
Bela negara tidak selalu dengan senjata. Terkadang, itu dimulai dengan menyalakan lampu di ruang praktik, dan menyambut pasien yang ingin kembali percaya diri.
Penulis:
1. Fatima Widyani
2. Azra Elfreda Nariswasi
3. Nafasha Wenanditya Putri
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News