Profesi dokter gigi tidak hanya bergantung pada keterampilan atau kecanggihan alat medis. Nilai-nilai etika justru menjadi landasan utama yang membedakan praktik ini dari sekadar layanan teknis. Pelayanan kesehatan gigi menyentuh sisi personal pasien, sehingga membutuhkan kepekaan moral dan tanggung jawab kemanusiaan yang tinggi.
Organisasi FDI dalam Dental Ethics Manual II menegaskan bahwa praktik kedokteran gigi harus dilandasi prinsip etika. Berbuat baik, tidak merugikan, menghargai keputusan pasien, bersikap adil, dan jujur merupakan pilar utama yang wajib dijaga. Prinsip-prinsip inilah yang membangun kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter gigi.
Penelitian oleh Gresfullah dkk (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa profesi dokter gigi masih banyak yang kurang memahami tanggung jawab etik dan hukum. Meskipun belum memiliki izin praktik resmi, mereka sudah berinteraksi langsung dengan pasien dalam konteks pembelajaran.
Jika tidak disertai pengawasan dan pemahaman etik yang memadai, praktik ini bisa berdampak negatif terhadap pasien dan institusi. Etika perlu diajarkan sejak masa pendidikan. Kode etik bukan sekadar hafalan pasal, tetapi harus menjadi pedoman sikap.
Civic education dapat diterapkan untuk menanamkan nilai tanggung jawab, integritas, dan kepedulian sosial sejak dini. Hal ini relevan untuk membentuk karakter dokter gigi yang tidak hanya terampil, tetapi juga beretika.
Tantangan baru muncul di era digital. Media sosial memang dikenal memudahkan promosi layanan, tetapi juga membuka celah manipulasi informasi. FDI dalam Ethics in Dentistry 2024 menjelaskan bahwa hubungan antara dokter dan pasien dapat berubah menjadi transaksional jika prinsip etika diabaikan.
Baca Juga:Â Menapaki Jejak Mimpi Seorang Dokter Gigi: Bagaimana PPDGS Ortodonti dalam Menangani Pasien?
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia mengatur bahwa informasi medis, termasuk di ruang digital, harus disampaikan secara jujur dan tidak menyesatkan. Penerapan etika tidak bisa dibebankan pada individu semata. Institusi pendidikan, organisasi profesi, dan pembuat kebijakan perlu bersinergi memperkuat pembinaan dan pengawasan.
Kurikulum harus menekankan pelatihan etika, evaluasi berkala, dan sistem pengaduan yang responsif. Pendidikan kewarganegaraan juga berperan penting dalam menumbuhkan kesadaran bahwa dokter gigi adalah penjaga martabat profesi, bukan sekadar pelaksana teknis.
Di tengah kemajuan teknologi dan persaingan yang semakin ketat, etika tetap menjadi pembeda utama dalam praktik profesional. Dokter gigi bukan hanya sebagai penyembuh keluhan fisik, melainkan pelayan kemanusiaan yang diharuskan menjaga kepercayaan, integritas, dan tanggung jawab moral dalam setiap tindakan.
Perlu ditekankan bahwa pelanggaran etika dalam praktik kedokteran gigi bukan hanya mencoreng nama individu, tetapi dapat merugikan reputasi profesi. Oleh karena itu, dokter gigi harus melakukan evaluasi dari setiap tindakan maupun keputusannya.
Baca Juga:Â Profesi Mulia dengan Beban Berat: Mengapa Dokter Hewan Rentan terhadap Masalah Mental?
Selain itu, penting juga untuk membangun budaya saling mengingatkan antar sejawat. Hal ini memperkuat solidaritas profesi dan meminimalkan pelanggaran kode etik yang mungkin terjadi akibat kelalaian.
Konteks sosial budaya di Indonesia mengharuskan dokter gigi untuk memiliki pemahaman mengenai budaya saat menerapkan etika. Dengan pendekatan yang penuh empati dan menghargai latar belakang pasien, akan terjalin hubungan terapeutik yang lebih kuat serta meningkatkan kepuasan pasien dan keberhasilan dalam perawatan.
Etika tidak hanya berhubungan dengan hukum dan keadilan, tetapi juga mencakup kebijaksanaan dalam bertindak secara manusiawi dan profesional. Memiliki pemahaman serta penerapan etika yang baik akan memastikan profesi dokter gigi tetap dihormati dan dipercaya oleh masyarakat, meskipun adanya perubahan zaman yang terus berlangsung.
Aspek kemanusiaan dalam praktik kedokteran gigi sangat terkait erat dengan etika. Setiap pasien adalah orang yang memiliki kebutuhan, kekhawatiran, dan harapan yang berbeda-beda. Dokter gigi diharapkan menunjukkan rasa empati, mendengarkan keluhan, dan merawat setiap pasien tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, atau kondisi kesehatan mereka.
Pengambilan keputusan dalam perawatan harus selalu berdasarkan pada prinsip berbuat baik dan tidak merugikan, dengan memperhatikan kesehatan gigi dan mulut serta kesejahteraan fisik dan mental pasien secara menyeluruh. Pendekatan yang holistik dan berorientasi pada pasien ini merupakan perwujudan nyata dari nilai kemanusiaan dalam praktik keprofesian.
Selain pemahaman mengenai etika profesional, dokter gigi juga perlu mendapatkan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan tidak hanya membentuk individu menjadi warga negara yang baik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai demokrasi, tanggung jawab sosial, dan perasaan peduli terhadap hak-hak masyarakat. Hal ini memiliki relevansi yang kuat dengan pekerjaan dokter gigi, yang tidak hanya melayani individu tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kesehatan masyarakat secara lebih luas.
Baca Juga:Â Perbandingan Sistem Pendidikan Kedokteran Gigi: Antara Kesiapan Teori dan Pengalaman Klinis
Dalam kerangka profesi, pendidikan kewarganegaraan memungkinkan dokter gigi untuk lebih memahami peran sosial mereka dalam sistem pelayanan publik. Misalnya, partisipasi dalam program kesehatan gigi di puskesmas, memberikan edukasi kesehatan di sekolah, atau melakukan pengabdian masyarakat di wilayah terpencil adalah contoh nyata pelaksanaan nilai kewarganegaraan.
Dokter gigi yang mempunyai dasar pendidikan kewarganegaraan yang kokoh akan lebih peka terhadap pentingnya keadilan sosial dalam akses layanan kesehatan dan terdorong untuk memperjuangkan hak-hak pasien yang kurang beruntung. Lebih dari itu, pendidikan kewarganegaraan juga memperkuat integritas serta tanggung jawab moral dokter gigi terhadap negara dan profesi mereka.
Saat menghadapi dilema etis atau tekanan dari aspek komersial, nilai-nilai nasionalisme dan tanggung jawab sosial dapat berfungsi sebagai penyeimbang untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip etika dan kemanusiaan. Pendidikan ini juga mendorong dokter gigi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat—tidak hanya sebagai penyembuh, tetapi juga sebagai pendidik dan panutan dalam mempromosikan pola hidup sehat.
Dengan demikian, perpaduan antara pendidikan kewarganegaraan dan etika profesional akan membentuk karakter dokter gigi yang tidak hanya memiliki kompetensi klinis, tetapi juga wawasan kebangsaan, sikap humanis, dan perhatian sosial yang tinggi. Ini menjadi pondasi penting dalam membangun profesi kedokteran gigi yang terhormat dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Penulis:
1. Tabriza Najwa Luqyana
2. Rizka Khairiza Suherman
3. Mafaza Qurrota A.R.
Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News