Sirkus yang selama ini identik dengan hiburan dan keceriaan, kini menjadi sorotan publik setelah munculnya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Oriental Circus Indonesia (OCI).
Kasus ini mencuat setelah beberapa mantan pemain yang direkrut sejak usia anak-anak membuka kisah kelam yang mereka alami selama puluhan tahun berada dalam lingkungan sirkus tersebut.
Mereka mengakui mengalami berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi sejak dini, serta kehilangan hak dasar seperti pendidikan dan identitas keluarga.
Beberapa mantan pemain OCI, seperti Vivi Nurhidayah, Lisa, dan empat rekan lainnya, mengungkapkan pengalaman mereka yang memilukan dalam sebuah podcast. Sejak dini, mereka dipisahkan dari orang tua dan dibawa ke lingkungan sirkus tanpa identitas yang jelas.
Hingga kini, sebagian besar dari mereka tidak mengetahui siapa nama asli mereka, dari mana asal mereka, atau siapa keluarga kandung mereka. Selama bertahun-tahun, mereka dipaksa bekerja tanpa akses pendidikan, kasih sayang, atau perlindungan hukum.
Berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu korban bahkan mengaku pernah disetrum pada bagian tubuh sensitif oleh pelatih sirkus. Lainnya dipaksa tetap tampil meski dalam kondisi hamil atau cedera.
Ada pula pengakuan kejam tentang paksaan memakan kotoran gajah,yang merupakan sebuah bentuk penyiksaan tak terbayangkan yang benar-benar melucuti martabat manusia.
Dalam wawancara terpisah, Eva mantan pemain OCI lainnya mengungkapkan bahwa ia menjadi salah satu korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Frans, pelatih di OCI.
Cerita-cerita ini bukan sekadar kisah kelam masa lalu, melainkan bukti nyata dari pola eksploitasi dan kekerasan sistematis terhadap anak-anak dalam industri hiburan sirkus.
Tidak ada jeda, tidak ada ruang kemanusiaan, dan hingga kini, banyak dari mereka masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan menemukan jati diri mereka yang telah dirampas sejak kecil.
Ironisnya, laporan yang sudah masuk sejak 1997 justru dihentikan melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Polres dan kemudian Mabes Polri pada 1999.
Baca Juga: Eksploitasi Berkedok Hiburan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kasus ini hilang dari radar hukum selama hampir 28 tahun, hingga akhirnya Komnas HAM kembali mengangkatnya di tahun 2024–2025, bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta Komnas Perempuan.
Mereka kini membentuk tim gabungan pencari fakta untuk mengusut ulang. Meski demikian, proses hukum masih menghadapi tantangan birokrasi dan kehati-hatian etik, sementara pihak OCI sendiri belum mengakui kekejaman yang dituduhkan.
Saat ini, tanggapan lembaga negara mulai terlihat. Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dan mengakui bahwa mantan pemain sirkus OCI menjadi korban perbudakan modern, kekerasan fisik dan seksual, serta kehilangan hak dasar seperti pendidikan dan identitas keluarga, yang kemudian merekomendasikan agar Bareskrim Polri menyelidiki ulang kasus ini.
Mereka juga membuka ruang mediasi antara korban dan OCI, sekaligus mengusulkan pembentukan Tim Pencari Fakta untuk penyelidikan lebih mendalam. Komisi III DPR RI pun memberikan perhatian serius terhadap kasus ini.
Mereka mendorong proses hukum dan mediasi, bahkan memberikan batas waktu tujuh hari agar penyelesaian dapat dilakukan secara kekeluargaan sebelum kasus dilanjutkan ke ranah hukum.
Meskipun demikian, pendekatan mediasi ini menuai kritik, terutama ketika pihak Safari (yang menaungi OCI) menawarkan ganti rugi yang bervariasi, mulai dari Rp120 juta hingga Rp200 juta. Namun, para korban menolak tawaran tersebut, menegaskan bahwa penderitaan mereka tidak bisa diukur dengan uang.
Seperti yang diungkapkan Cak Soleh, selaku pengacara dari pihak korban, “Keadilan tidak bisa ditukar dengan rupiah. Kalau untuk kemanusiaan, uang mungkin bisa menjadi bentuk empati, tapi hukum tetap harus ditegakkan.”
Bareskrim Polri saat ini juga aktif mengumpulkan data lama dan menerima laporan baru dari para korban. Komnas HAM terus memantau dan mendukung penegakan keadilan atas kasus ini. Sementara itu, pihak Taman Safari Indonesia menyatakan mereka bukan bagian dari OCI dan tidak bertanggung jawab atas masalah ini.
Dalam Islam, anak-anak adalah amanah mulia yang wajib dilindungi. Rasulullah SAW bersabda, “Bukan dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang tua” (HR. Tirmidzi).
Sayangnya, kasus OCI diduga telah merampas hak-hak dasar anak, seperti kasih sayang, pendidikan, dan jati diri. Mereka kehilangan masa kecil yang seharusnya dipenuhi dengan kebebasan bermain dan tumbuh kembang yang utuh. Pendidikan yang mereka terima pun sangat minim, hanya terbatas pada baca, tulis, dan hitung.
Lebih dari itu, mereka juga kehilangan masa remaja yang seharusnya menjadi waktu untuk mengenali jati diri dan merajut mimpi. Alih-alih mendapatkan hak-hak tersebut, para korban justru diperlakukan sebagai alat hiburan, tanpa peduli pada luka batin yang mereka tanggung.
Eksploitasi, kekerasan, dan perbudakan semacam ini tidak hanya melanggar nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga bertentangan langsung dengan prinsip Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kasih sayang, dan perlindungan terhadap yang lemah.
Kasus OCI seharusnya menjadi titik balik, bukan hanya untuk menegakkan keadilan bagi para korban, tetapi juga untuk mengaudit ulang sistem hukum, pengawasan industri hiburan, serta mekanisme perlindungan anak di Indonesia.
Negara tidak boleh lagi menutup mata terhadap penderitaan yang tersembunyi, seperti kasus OCI yang terungkap akhir-akhir ini. Penegakan hukum harus tegas, pemulihan korban harus komprehensif, dan pencegahan harus sistemik. Anak-anak Indonesia berhak atas masa depan yang aman, bermartabat, dan bebas dari eksploitasi.
Kini saatnya negara, masyarakat, dan umat beragama bersatu memperjuangkan hal itu. Bukan sekadar untuk membayar utang keadilan masa lalu, tetapi demi menjamin bahwa tragedi serupa tidak pernah terulang di masa depan.
Penulis: Fiqi Aulia Sari
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Ika Ayuni Lestari