Di sebuah ruang kelas di desa kecil, terlihat seorang siswa duduk termenung di bangku pojok. Tangan kecilnya memegang erat lembar soal dengan angka-angka yang membuatnya bingung, berkali-kali ia melihat sekelilingnya dengan tatapan penuh kebingungan, sambil sesekali fokusnya terpecah dan membayangkan alangkah bahagianya jika ia menjadi seorang seniman yang terkenal di masa yang akan datang seperti yang sering ia lihat di media sosial.
Tapi hari itu, yang terpenting hanya satu hal: nilai ulangan matematikanya harus tinggi, karena kalau nilainya rendah maka dianggap sebagai siswa yang tidak pandai di kelas dan diremehkan.
Selama ini, ia bukan belajar tentang apa yang ia sukai, bukan tentang apa yang ingin ia pelajari, dan bukan tentang siapa dirinya, sungguh malang kisah calon seniman ini.
Kisah di atas bukan cerita fiksi belaka, tetapi potret nyata dari ribuan siswa di Indonesia. Banyak siswa-siswi di negeri ini yang terjebak dalam sistem pendidikan yang sering kali tidak melihat mereka sebagai individu yang utuh.
Kurikulum dibuat untuk mencapai target setinggi langit, siswa diwajibkan memahami seluruh mata pelajaran yang terkadang mereka bingung tujuannya apa.
Siswa juga dihadapkan pada standar kurikulum yang tinggi, tetapi mereka sering lupa pada satu hal yang sangat dasar sekali: bahwa siswa bukanlah objek dari pendidikan, tetapi siswa adalah subjek, siswa bukan mesin penghafal, tetapi manusia dengan hati, pikiran, dan potensi-potensi uniknya.
Mengapa Siswa Merasa Asing di Sekolahnya Sendiri?
Siswa sebagai subjek pendidikan diposisikan sebagai pihak yang harus mampu menyesuaikan diri dengan kurikulum yang telah dirancang sebelumnya, inilah sistem pendidikan di negara kita selama ini. Padahal, seharusnya kurikulumlah yang menyesuaikan dengan pengalaman, kebutuhan, dan minat siswa.
Sejauh ini, kita berada dalam sistem pembelajaran yang terstruktur dan seragam, siswa dari Sabang hingga Merauke mempelajari hal yang sama, dengan metode yang hampir sama, dengan materi pelajaran yang sama, dan akan dievaluasi dengan cara yang sama pula yaitu ujian.
Keberhasilan siswa diukur dari seberapa banyak ia bisa menjawab soal dengan benar sesuai kunci jawaban yang telah ditetapkan. Siswa yang nilai rapornya tinggi dianggap yang paling pandai dan menganggap gagal siswa dengan nilai rendah.
Tapi kita lupa bertanya: Apakah mereka memahami? Apakah mereka peduli? Apakah mereka tumbuh sebagai manusia yang utuh?
Siswa yang lebih aktif di luar kelas sering dianggap tidak fokus belajar. Siswa yang gemar menggambar, bermain musik, menulis cerita, atau aktivitas yang tidak masuk dalam mata pelajaran utama, sering kali dianggap “tidak serius”.
Padahal minat dan bakat anak tidak dapat diseragamkan dan dipaksakan, harusnya perilaku siswa tersebut dapat diterima dan dikembangkan oleh guru sehingga mereka merasakan pendidikan yang sesungguhnya, pendidikan yang mampu membimbing mereka pada pengembangan potensi yang mereka inginkan.
Baca Juga: Pendidikan Multikulturalisme di SD: Solusi Masa Depan atau Sebatas Formalitas Kurikulum?
Kurikulum: Dari Cetakan Seragam ke Peta yang Fleksibel
Kurikulum yang kita kenal selama ini adalah kurikulum cetakan seragam yang mana mengharuskan seluruh siswa di Indonesia memiliki kemampuan yang sama atau seragam.
Idealnya kurikulum harus menjadi peta yang memberi arah, membimbing siswa untuk mampu menempuh jalan sesuai kecepatannya dan minatnya masing-masing serta sesuai dengan realitas kehidupannya.
Siswa yang berasal dari desa lebih membutuhkan pelajaran yang berkaitan dengan pertanian modern dan literasi keungan mikro daripada rumus-rumus statistik yang abstrak.
Siswa yang hidup di daerah pesisir bisa jadi lebih bersemangat belajar jika kurikulumnya mengaitkan pelajaran sains dengan ekosistem laut yang mereka lihat setiap hari. Menghubungkan pembelajaran dengan realita kehidupan menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan.
Pendidikan tidak bisa memaksakan satu versi “kebenaran pendidikan” kepada semua anak, seolah semua hidup mereka identik.
Kurikulum yang baik adalah yang adaptif, bukan hanya pada zaman yang terus berubah, tapi juga pada realitas sosial dan budaya tempat siswa tumbuh.
Siswa-siswi bukanlah kertas kosong yang bisa dicetak dengan pola seragam. Mereka sudah datang dengan cerita hidup masing-masing, dan sekolah seharusnya menjadi tempat yang menghargai itu, bukan menghapusnya dan menggantinya dengan hal baru yang merusak pengalaman hidup mereka.
Belajar Bukan Sekadar Mengingat, Tapi Memaknai
Berangkat dari permasalahan kurikulum yang ada: muncul pertanyaan penting yang mungkin terlupakan: apa sebenarnya tujuan pendidikan?
Tujuan pendidikan yang sementara ini kita ketahui adalah menciptakan siswa yang mendapatkan nilai bagus, kalau memang ini yang terjadi, berarti kita sedang menyederhanakan sesuatu yang sangat kompleks menjadi angka-angka sempit. Dalam proses belajar seharusnya siswa tidak dipaksa untuk mengingat, tetapi memaknai.
Siswa seharusnya merasa bahwa apa yang mereka pelajari berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, membangkitkan rasa ingin tahu, membuat mereka berpikir kritis, merasa, dan bertindak dengan cara yang lebih bijak.
Misalnya, ketika belajar sejarah, bukan sekadar menghafal tahun peristiwa, tetapi memahami mengapa peristiwa itu penting dan apa maknanya bagi hidup mereka hari ini.
Ketika belajar matematika, bukan sekadar mengerjakan soal, tetapi mengetahui bagaimana logika matematika bisa membantu mereka menyusun rencana usaha atau mengelola uang saku.
Pendidikan yang bermakna membuat anak-anak merasa dihargai. Mereka bukan sekadar penerima pengetahuan, tetapi pencipta makna. Mereka belajar tidak hanya karena “harus”, tapi karena “ingin”.
Ajakan untuk Berpikir Ulang
Berangkat dari semua background kehidupan, kita semua memiliki peran penting dalam membentuk masa depan pendidikan khususnya di negara kita sendiri, baik sebagai orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, atau masyarakat umum.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita terhadap anak-anak, mereka bukan produk yang harus “jadi” sesuai standar tertentu, karena mereka bukan objek, bukan target, dan mereka bukan statistik.
Anak-anak adalah manusia yang punya rasa ingin tahu, mimpi dan jalan hidup yang tidak harus sama satu dengan yang lain.
Anak-anak adalah manusia yang memiliki pengalaman, minat, dan bakatnya masing-masing yang tidak harus seragam dengan teman-teman yang lain. Kurikulumlah yang harusnya hadir sebagai sahabat perjalanan, bukan sebagai rambu yang mengekang.
Pemikiran ini tentu bukan berarti kita tidak butuh standar, tetapi standar yang kita butuhkan adalah yang menjadi fondasi bukan pagar. Pendidikan perlu arah, tapi juga harus memberi ruang bagi kreativitas dan kebebasan berpikir anak.
Menuju Kurikulum yang Lebih Humanis
Apa yang bisa kita lakukan agar kurikulum lebih adaptif dan humanis?
- Libatkan Siswa dalam Desain Pembelajaran. Tanyakan apa yang mereka ingin pelajari, apa yang membuat mereka penasaran. Ketika mereka merasa dilibatkan, motivasi mereka akan tumbuh secara alami.
- Beri Guru Kebebasan dan Dukungan. Guru bukan mesin pelaksana kurikulum. Mereka adalah arsitek pembelajaran yang tahu apa yang terbaik bagi murid mereka. Kurikulum seharusnya memberi ruang improvisasi, bukan justru mengekang dengan target sempit.
- Redefinisi Makna “Sukses” dalam Pendidikan. Nilai tinggi tidak selalu mencerminkan keberhasilan. Siswa yang rendah nilai matematikanya tapi punya empati tinggi dan daya kreativitas luar biasa tetap layak diapresiasi.
- Tekankan Proses, Bukan Hanya Hasil. Dunia nyata lebih menghargai proses, kolaborasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Mari dorong kurikulum yang tidak hanya menilai produk akhir, tetapi juga proses belajar yang dilalui.
- Gunakan Konteks Nyata dalam Pembelajaran. Pelajaran yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari lebih mudah dipahami dan diingat. Buatlah materi pelajaran menjadi relevan dengan dunia yang mereka hadapi.
Baca Juga: Fleksibilitas Kurikulum: Menjawab Tantangan Zaman
Penutup: Mari Menjadi Bagian dari Perubahan
Kita tidak sedang membicarakan hal yang sepele. Ini menyangkut masa depan generasi bangsa. Pendidikan adalah jembatan menuju cita-cita anak-anak, dan kita semua adalah pembangun jembatan itu. Jangan sampai jembatan itu dibangun dari bahan-bahan kaku yang rapuh dan tak mampu menopang impian mereka.
Mari kita ubah cara pandang terhadap kurikulum dan pendidikan. Mari kita yakini bahwa setiap anak adalah dunia yang patut dikenali, bukan hanya target yang harus dicapai. Kurikulum yang baik bukanlah yang paling rumit atau paling canggih tetapi yang paling manusiawi.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mencetak siswa yang seragam. Tapi tentang menumbuhkan manusia yang merdeka.
Penulis: Dalila Khoirin
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Multikultural Universitas Islam Malang (UNISMA)
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News