Tahun Hijriah, Punya Sejarah?

Islam
Ilustrasi: istockphoto

Setiap masa, pasti terjadi pergantian tahun. Pada umumnya, para manusia menjadikan kalender sebagai patokannya. Seperti halnya: kalender Masehi atau bisa disebut dengan kalender Syamsiyah. Perhitungan kalender tersebut didasarkan oleh revolusi Bumi (peredaran bumi mengelilingi matahari).

Namun, satu sisi lain para manusia juga menjadikan kalender Hijriah atau kalender Qomariyah sebagai patokannya. Kalender ini didasarkan pada rotasi bulan sebagai pergantiannya.

Nah, membicarakan tentang kalender Hijriah, ternyata terdapat bulan-bulan yang mulia di dalamnya,  seperti: Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Di mana, dari empat bulan tersebut memiliki peristiwa-peristiwa yang tak terlupakan.

Bacaan Lainnya
DONASI

Dalam sebuah peristiwa, tidak melulu tentang sebuah peperangan yang terbahas. Terdapat pula kejadian-kejadian aneh yang tak dapat dinalar. Namun, satu sisi lain terjadi pula sebuan perjanjian yang terabadikan, seperti: Perjanjian Hudaibiyah.

Perjanjian Hudaibiyah, merupakan sebuah peristiwa gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy yang terjadi di bulan Dzulqa’dah. Sebenarnya, perjanjian ini dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang bertujuan untuk meredakan ketegangan antara mereka. Lalu, terdapat perstiwa penyembelihan Nabi Ismail yang terjadi pada bulan Dzulhijjah.

Setelahnya ialah bulan Muharam. Orang Jawa mengistilahkannya dengan sebutan “Suro”. Berbicara tentang bulan Suro, tak akan lepas dari peristiwa-peristiwa bersejarah, terkhususnya pada tanggal 10 Muharam. Konon, orang Jawa menyebut tanggal 10 Muharam sebagai tanggal yang keramat.

Kebanyakan dari mereka melakukan ritual-ritual unik, seperti: memandikan keris, memberikan sesajen di pohon beringin, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya, pada tanggal 10 Muharam terdapat pula peristiwa yang mengerikan dan menyedihkan, yakni: Peristiwa Karbala (wafatnya Sayyidina Husain). Namun, bagi Sayyidina Husain, tanggal 10 Muharam 61H bukanlah momentum yang menyedihkan apalagi menakutkan.

Melainkan, waktu tersebut merupakan tanggal yang indah, tanggal yang penuh dengan kebahagiaan dan kejutan. Karena, ia akan segera bertemu dengan dzat yang Maha Mencinta.

Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim As, ketika nyawanya hendak diambil oleh malaikat Izrail. “Wahai Ibrahim, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk meninggalkan dunia yang fana.” Lalu, Nabi Ibrahim menjawab, “Wahai Izrail, apakah seorang kekasih tega melihat seseorang yang dikasihi kesakitan karena dicabut nyawanya?” Izrail pun kebingungan.

Lantas, Izrail pun pergi ila rabbihi al-a’la  untuk menghadap Tuhan dan melaporkan kejadian tersebut. Lalu Tuhan pun berkata padanya, “Wahai Izrail, katakan padanya apakah seorang pecinta tidak ingin menghadap kepada dzat yang maha mencinta?” Izrail pun hanya bergumam, dan menyampaikan pesan tersebut kepada Nabi Ibrahim As. “Wahai Izrail, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan padamu.” ucap Nabi Ibrahim As penuh kemantapan.

Mengutip kalam Jhonny Deep, “Ada empat pertanyaan dalam hidup: Hal apa yang paling suci? Dari apa sebuah jiwa lahir? Untuk apa hidup ini benar-benar berarti? Dan untuk apa mati benar-benar berarti? Dan semua jawaban untuk pertanyaan, adalah sama: Cinta.”

Perlu diketahui pula, sebenarnya pada bulan Muharam terdapat salah satu peristiwa yang hampir dilupakan oleh khalayak manusia.

Jika orang Jawa beragenda untuk melakukan ritual pada bulan Muharam, maka tidak bagi Nabi yang beragenda untuk melakukan perjalanan dari kota Makkah al-Mukarramah menuju Madinah al-Munawwarah.

Hal ini pun juga menjadi landasan bagi Sayyidina Umar bin Khattab -saat menjabat sebagai khalifah– untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai patokan awal bermulanya kalender Hijriah, atas usulan Sayyidina Utsman dan Ali.

Melansir keterangan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Beliau menceritakan bahwa, hal tersebut bermula ketika Sayyidina Umar menerima surat dari salah satu gubernurnya, yakni: Abu Musa al-Asy’arie. Namun, pandangan Sang Khalifah tertuju pada tumpukan surat yang telah lama berdatangan.

Sehingga, beliau tidak bisa membedakan antara surat baru dan surat lama, dikarenakan tidak ada tanggalnya. Lantas, Sang Khalifah pun mengumpulkan staf dan orang terpentingnya untuk mendiskusikan hal tersebut.

Dari beberapa pendapat, ada yang mengusulkan untuk menetapkan peristiwa kewafatan Nabi sebagai awal permulaan kalender Hijriah. Namun, setelah dipertimbangkan kembali, jika acuan Hijriah berpatok pada peristiwa kewafatan Nabi, maka umat muslim akan akan bersedih di setiap tahunnya.

Pada akhirnya, ketika sepakat telah menjadi mufakat. Peristiwa hijrahnya Nabi dari Kota Makkah menuju Yastrib –diganti menjadi Madinah setelahnya- ditetapkan sebagai patokan awal bermulanya kalender Hijriah. Alasan pemilihan waktu tersebut ialah, karena peristiwa hijrahnya Nabi juga sebagai pembeda antara yang bathil dan haq.

Selain itu, momen pada saat hijrah itulah yang menjadi titik perjuangan Islam. di mana mereka merasakan kenyamanan dalam beribadah.

Serta, merasakan momen persatuan antara kaum Muhajirin dan Anshar, menjadi ukhwah Islamiyyah yang erat dan kuat. Karena, di situlah letak titik keislaman bersinar. Mempertemukan lalu mempersaudarakan, bukannya memecahkan lalu menjauhkan.

Penulis: 

Moehammad Nurjani
Mahasiswa Fikih Industri Distingsi Fiqh wa Ushuluhu Mahad Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo

Editor: Ika Ayuni Lestari     

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI