Eropa sedang diuji, bukan oleh krisis ekonomi atau invasi bersenjata, melainkan oleh manusia-manusia tanpa negara yang mengetuk pintunya. Gelombang migran dan pengungsi yang datang dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan bukan sekadar tantangan logistik, tetapi ujian terhadap janji Eropa tentang hak asasi manusia, solidaritas, dan integrasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, Laut Mediterania bukan lagi simbol liburan musim panas, melainkan kuburan massal bagi ribuan orang yang putus asa. Menurut data UNHCR, lebih dari 30.000 pengungsi telah meninggal atau hilang di perairan ini sejak 2014. Tapi di tengah tragedi itu, yang lebih mengkhawatirkan justru adalah bagaimana Eropa merespons: dengan pagar, penjagaan ketat perbatasan, dan kebijakan deportasi yang makin agresif.
Kita melihat bagaimana negara-negara seperti Italia dan Yunani kelelahan menampung pendatang baru, sementara negara-negara Eropa Utara menutup diri dengan alasan keamanan dan stabilitas nasional.
Uni Eropa memang punya Common European Asylum System (CEAS), tapi mekanisme itu tampak ompong ketika dihadapkan pada krisis nyata. Agenda redistribusi pengungsi antarnegara anggota sering kali mandek karena tarik-ulur kepentingan domestik.
Inilah momen di mana politik migrasi berubah menjadi krisis identitas. Apakah Eropa masih rumah bagi nilai-nilai universal seperti solidaritas dan perlindungan hak asasi manusia? Ataukah kini bergeser menjadi benteng eksklusif yang hanya terbuka bagi mereka yang dianggap “layak”?
Perubahan arah ini bisa dilihat dari naiknya partai-partai sayap kanan di berbagai negara. Di Prancis, Rassemblement National makin populer; di Jerman, AfD meraih dukungan tinggi bahkan di wilayah timur yang dulunya progresif.
Narasi yang mereka bawa nyaris seragam: imigran adalah ancaman terhadap budaya, keamanan, dan pekerjaan lokal. Sentimen ini menular ke kebijakan, menjadikan migrasi bukan lagi soal kemanusiaan, tapi kalkulasi elektoral.
Namun yang sering luput dari perbincangan adalah bahwa migrasi bukan ancaman, melainkan gejala dari sistem global yang timpang. Negara-negara yang kini menolak migran adalah bagian dari struktur global yang turut menciptakan kondisi tidak stabil di negara asal para pengungsi—mulai dari intervensi militer, perdagangan senjata, hingga krisis iklim yang memperparah ketimpangan. Eropa tak bisa cuci tangan.
Sebagai mahasiswa hubungan internasional, saya percaya bahwa isu migrasi tidak bisa dipandang semata dari kaca mata domestik. Ia adalah persoalan global, dan solusinya pun harus lintas batas. Diperlukan komitmen bersama, bukan hanya untuk membagi beban, tapi juga untuk mengubah struktur yang menciptakan arus migrasi paksa.
Baca juga: Transformasi Politik Eropa Timur dari Komunisme ke Demokrasi
Ada juga peluang yang sering diabaikan. Studi OECD menunjukkan bahwa migran justru berkontribusi pada ekonomi negara penerima dalam jangka panjang. Di tengah krisis demografi dan tenaga kerja yang dialami banyak negara Eropa, migrasi bisa jadi solusi, bukan masalah. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan, bukan penolakan.
Lebih jauh lagi, respons terhadap migrasi akan menentukan arah masa depan Eropa sebagai entitas politik. Apakah Uni Eropa akan tetap menjadi proyek integrasi yang inklusif, atau justru terpecah karena egoisme nasional dan ketakutan identitas?
Jika Eropa gagal menjawab tantangan ini dengan kebijakan yang adil dan manusiawi, maka proyek UE sebagai model tatanan internasional yang berbasis nilai akan kehilangan kredibilitasnya.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan Frontex atau dinding-dinding tinggi untuk menyelesaikan masalah ini. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melihat manusia sebagai manusia, bukan statistik atau ancaman. Dan bagi generasi muda Eropa maupun dunia, ini adalah panggilan untuk tidak tinggal diam. Karena pada akhirnya, bagaimana suatu peradaban memperlakukan mereka yang paling rentan adalah cerminan siapa mereka sebenarnya.
Penulis: Aisha Safitri Maharani
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Andalas
Dosen Pengampu:
- Muhammad Yusra, Dr., S.IP., M.A.
- Rifki Dermawan, S.Hum., M.Sc.
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News