Teroris Perempuan adalah Korban Patriarki

Teroris Perempuan adalah Korban Patriarki
Ilustrasi Teroris Perempuan Korban Patriarki (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidak luput menjadi sorotan dan pembahasan, dalam tindak pidana yang identik dengan kekerasan dan ancaman.

Perempuan yang tergabung dalam gerakan ini pun bukan tanpa alasan, adanya dorongan dari lingkungan sekitar seperti suami, kerabat, teman, dan tetangga yang mempersuasi untuk ikut dalam gerakan jihad salah kaprah ini.

Jika melihat berita yang ada di Indonesia biasanya disebutkan perempuan yang terlibat ini bertugas membantu pasangannya, dengan cara menyembunyikan hingga membantu penyediaan dana dalam aksi teror.

Bacaan Lainnya
DONASI

Menjadi pertanyaan, apa saja peran yang dimainkan perempuan teroris dalam aksi teror? mengapa perempuan dapat terlibat?

Dalam aksi teror ini mengutip hasil penelitian pada jurnal yang ditulis (Musfia, 2017) peran perempuan teroris ini terbagi empat, diantaranya sebagai pendukung tidak langsung, pendukung secara langsung, pelaku bom bunuh diri, dan pemimpin dalam kelompok.

Pendukung tidak langsung ini biasa disebut sebagai simpatisan yang tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas teroris, dimana ia hanya membantu memberi dukungan finansial, material, serta sikap sosial.

Kemudian, ada pendukung secara langsung yang ikut terlibat dalam aktivitas namun bukan menjadi pelaku bom bunuh diri.

Peran ketiga, perempuan yang berperan sebagai pelaku bom bunuh diri, salah satu contohnya Dewi sang pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar.

Lalu, di peran keempat perempuan menjadi pemimpin dalam kelompok nama Aisyah Lina Kamelya akan muncul sebagai pemimpin Baqiyah United Group (BUG) yang pro-ISIS, bergerak membantu pendanaan ISIS dan perekrutan anggota ISIS.

Pergerakan yang dilakukan ISIS ini menandakan bahwa perempuan juga bisa melakukan apa yang dilakukan laki-laki, konsep Jihad yang sebenarnya menggambarkan posisi perempuan adalah membantu suami nya dan menyiapkan anak laki-lakinya untuk berperang sebagai tentara Allah ternyata dapat dibolak-balikan dan disalah artikan.

Paham yang disebarkan bahwa semua manusia dapat memerangi kaum kafir, sehingga banyak dari perempuan hingga anak-anak yang otaknya dicuci dan ikut melakukan aksi teror.

Kepemimpinan perempuan dalam gerakan ini juga menjadi hal yang dapat kita bahas, dalam kelompok ISIS dikutip melalui kanal berita CNN Indonesia Baghdadi menunjuk Nada Al-Qahtani untuk memimpin batalion Khansa di Raqqa, Suriah.

Nada mempublikasikan tulisan di akun twitter nya, mengungkapkan keinginan dia menjadi pembom bunuh diri dan menyerukan kepada perempuan untuk mendorong suami dan anaknya bergabung bersama gerakan ISIS.

Melihat Lina dan Nada yang bisa memimpin kelompok hingga pasukan, adanya kasus Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari yang beraksi merencanakan aksi bom bunuh diri, merupakan bentuk nyata bahwa tidak hanya laki-laki namun perempuan bisa menjadi martir.

Radikalisasi pada perempuan teroris biasanya terjadi karena adanya iming-iming surga ketika seseorang mengikuti perang yang digaungkan, ISIS melibatkan perempuan di banyak hal dan memanfaatkan hal tersebut dalam menyebarkan ideologi bahwa tidak hanya laki-laki yang bisa ikut perang jihad melawan kafir.

Apabila ditelaah kembali, perempuan dan anak telah menjadi korban dominasi laki-laki dalam propaganda radikal yang disebarkan.

Jauh sebelum pergerakan perempuan di ISIS, adanya aksi teroris di Rusia dan Palestina yang dilakukan perempuan merupakan pintu pembuka bagi perempuan lainnya dalam aksi ancaman dan kekerasan ini.

Aksi terorisme yang selalu mengatasnamakan jihad merupakan bentuk dari kesalahan berpikir, selalu menjelaskan tentang perjuangan umat Islam untuk mendirikan negara Islam dengan cara memerangi orang kafir dengan kekerasan yang sama sekali tidak diajarkan oleh Al-Qur’an.

Propaganda atas nama agama ini yang membuat perempuan teroris mudah menaruh minat untuk aktif, hingga menjadi martir dalam aksi teror.

Hal ini menjelaskan bahwa perempuan tidak lain masih menjadi korban dari patriarki (paham yang menempatkan kekuasaan dalam dominasi laki-laki).

Perempuan teroris hanyalah korban ketidakberdayaan dan ketidaktahuan, kemudian dimanfaatkan untuk melangsungkan rencana keji hingga perempuan menjadi pemeran utama yang memenangkan aksi teror ini.

Meskipun perempuan dapat memimpin dan melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki, tetap saja keterlibatan perempuan dalam aksi teroris ini menjelaskan bahwa perempuan hanyalah korban.

Dominasi patriarki yang berkontribusi dalam indoktrinasi agama dalam keluarga baik sebelum dan setelah menikah, perempuan jadi korban ideologi yang dibawa suami atau keluarga.

Perempuan sebagai istri harus tunduk dan ikut kata suami, diperintahkan untuk mendidik anaknya sesuai didikan yang diarahkan suaminya dan mencetak calon-calon ekstremis yang akan melakukan aksi teror ini di masa mendatang.

Kemudian, adanya stigmatisasi dari masyarakat yang menggambarkan perempuan yang lemah dan tidak dapat melakukan apa yang laki-laki lakukan, hal ini juga yang memberangkatkan perempuan untuk ikut dalam aksi teror. Tidak lain dan tidak bukan, perempuan menjadi korban dari elit kekuasaan patriarki.

Banyak pelaku teroris perempuan yang sebenarnya merupakan korban akibat aksi dari suami nya, biasanya hadir melalui kelompok islam radikal yang mana posisi perempuan disini sangat lemah.

Bahkan di kasus teroris di Indonesia, Munfiatun dijatuhi hukuman karena menyembunyikan suaminya, ia merupakan istri kedua Noordin M. Top buronan tindak pidana teroris.

Arina yang istri ketiga juga dijatuhi hukuman menyembunyikan pelaku, dimana keduanya dinikahkan oleh orang tuanya tanpa mengetahui siapa yang menjadi suami mereka kemudian mereka harus tunduk kepada suami nya dan menerima indoktrinasi.

Hal ini lah yang menjelaskan bahwa perempuan adalah korban dari patriarki, memperoleh informasi jihad secara radikal yang salah dalam kehidupan pernikahan.

Ika Puspita Sari juga merupakan korban cuci otak oleh suami nya sendiri, sengaja dinikahi untuk ditanamkan ideologi radikal.

Indoktrinasi secara masif diterima baik dari keluarga terdekat atau dari teman dekat suami, hingga sesama perempuan yang telah lama aktif dalam jaringan terorisme.

Perempuan teroris dalam aksi ini tidak memiliki peran sentral, kecuali jika perempuan itu menjadi militan untuk berani dan rela berkorban sudah pasti akan diakui dan dihormati.

Pada akhirnya, perempuan teroris membangun pemikiran atas makna jihad yang salah ini tidak jauh dari dominasi patriarki dalam kehidupannya.

Menyebabkan perempuan teroris menjadi korban atas pemikiran yang dipahami secara salah, kemudian paham ini akan terus disebarkan secara masif di lingkungan sekitarnya kepada keluarga, kerabat, teman, hingga tetangga.

Penulis: Ghevin Agung Nugraha
Mahasiswa Hubungan Internasional, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Referensi:

Hazliansyah. (2016). ISIS Disebut Angkat Seorang Perempuan Pimpin Batalion di Suriah. Republika.

Musfia, N. W. (2017). PERAN PEREMPUAN DALAM JARINGAN TERORISME ISIS DI INDONESIA. Journal of International Relations, Volume 3, Nomor 4, 174-180.

Qori’ah, S. M. (2019). Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia. SAWWA: Jurnal Studi Gender – Vol 14, No 1, 31-46.

Ramadhan, R. A. (2021). Perempuan Pelaku Bom Bunuh Diri di Katedral Makassar Bercadar usai Menikah. kumaparanNEWS.

Udji Asiyah, R. A. (2020). JIHAD PEREMPUAN DAN TERORISME. Jurnal Sosiologi Agama: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial – Vol. 14, No. 1, 125-140.

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI