Tidak Selalu Semua Dusta Menjadi Dosa

Dusta
Ilustrasi Pendusta.

Dusta atau al-kazib merupakan antitesa dari al-shidq. Secara terminologis, al-kazib adalah menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Orang terkadang menganggap bahwa berbohong merupakan masalah yang sangat ringan, sehingga mereka mudah dan sering melakukannya.

Allah SWT telah menjelaskan bahwa kebohongan adalah masalah serius dan bagi pelakunya akan diberikan perhitungan yang tidak ringan. Sebagaimana tindakan yang mengandung penipuan, maka tentu saja berbohong adalah perbuatan dosa yang dapat membawa pelakunya kepada masalah besar, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut hadis yang menjelaskan tentang larangan berperilaku dutsa:

و حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح و حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن منصور عن ربعي بن حراش أنه سمع عليا رضي الله عنه يخطب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تكذبوا علي فإنه من يكذب علي يلج النار

Bacaan Lainnya
DONASI

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Manshur dari Rib’i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena siapa yang berdusta atas namaku niscaya dia masuk neraka.” (Shahih Muslim Nomor 2).

Meskipun demikian, Islam memberikan batasan-batasan tertentu bagi seseorang untuk diperbolehkannya bohong. Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an menjadi kiblat umat Islam dalam berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk Tuhan.

Dewasa ini, banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mendamaikan dua pihak yang sedang bertengkar. Bahkan, mereka tak ragu untuk berdusta demi mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bertikai dengan dalil-dalil yang mereka temukan secara mentah di media sosial maupun di berbagai tulisan. Berikut beberapa hadis yang memperbolekan perbuatan dusta dengan tujuan tertentu:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ حُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَهُ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

Artinya:  Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Shalih dari Ibnu Syihab bahwa Humaid bin ‘Abdurrahman mengabarkan kepadanya bahwa ibunya, Ummu Kultsum binti ‘Uqbah mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia lalu dia menyampaikan hal-hal yang baik (dari satu pihak yang bertikai) atau dia berkata, hal-hal yang baik.” (HR. Bukhari 2495).

Hadis tersebut juga dikuatkan dengan beberapa hadis lain seperti berikut:

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْجِيزِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَسْوَدِ عَنْ نَافِعٍ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ الْهَادِي أَنَّ عَبْدَ الْوَهَّابِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Jizi berkata, telah menceritakan kepada kami Abul Aswad dari Nafi’ -maksudnya Nafi’ bin Yazid- dari Ibnul Hadi bahwa Abdul Wahhab bin Abu Bakr menceritakan kepadanya, dari Ibnu Syihab dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari ibunya Ummu Kultsum binti Uqbah ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberi keringanan untuk berbohong kecuali pada tiga tempat.” Rasulullah ﷺ mengatakan, “Aku tidak menganggapnya sebagai seorang pembohong; seorang laki-laki yang memperbaiki hubungan antara manusia. Ia mengatakan suatu perkataan (bohong), namun ia tidak bermaksud dengan perkataan itu kecuali untuk mendamaikan. Seorang laki-laki yang berbohong dalam peperangan. Dan seorang laki-laki yang berbohong kepada istri atau istri yang berbohong kepada suami (untuk kebaikan).” (Sunan Abu Daud 4275).

حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنْ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلِ اللَّاتِي بَايَعْنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شِهَابٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّ فِي حَدِيثِ صَالِحٍ وَقَالَتْ وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ بِمِثْلِ مَا جَعَلَهُ يُونُسُ مِنْ قَوْلِ ابْنِ شِهَابٍ و حَدَّثَنَاه عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ إِلَى قَوْلِهِ وَنَمَى خَيْرًا وَلَمْ يَذْكُرْ مَا بَعْدَه

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab, telah mengabarkan kepadaku Humaid bin ‘Abdur Rahman bin ‘Auf bahwa Ibunya Ummu Kultsum bin ‘Uqbah bin Abu Mu’aith -dan ia termasuk perempuan yang turut hijrah dalam kelompok pertama yang berbaiat kepada Rasulullah ﷺ- bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Orang yang mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan bukanlah termasuk pendusta.” lbnu Syihab berkata, ‘Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal, yaitu: dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami (untuk meraih kebahagiaan atau menghindari keburukan). Telah menceritakan kepada kami Amru An Naqid, telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’ad, telah menceritakan kepada kami Bapakku dari Shalih, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim bin Ubaidullah bin Abdullah bin Syihab melalui jalur ini dengan hadis yang serupa. Hanya saja pada hadis Shalih disebutkan dengan lafaz; Ummu Kultsum berkata, ‘Saya tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan dispensasi kedustaan yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal.’-sebagaimana di dalam Hadits Yunus dari perkataan Ibnu Syihab. Telah menceritakannya kepada kami ‘Amru An Naqid, telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri melalui jalur ini hanya sampai perkataan, ‘membangkitkan kebaikan’. Tanpa menyebut kalimat setelah itu.

Dari beberapa jabaran hadis di atas dapat kita ketahui bahwa tidak selalu perbuatan dusta merupakan perbuatan yang keji. Namun, sebagai manusia penting untuk mempertimbangkan konsekuensi etis dan sosial dari kebohongan.

Berdusta dapat merugikan hubungan dengan orang lain, merusak kepercayaan, dan menciptakan ketidakjujuran dalam interaksi sosial.

Berdusta juga dapat memiliki konsekuensi hukum tergantung pada konteksnya. Misalnya, berdusta dalam pengadilan atau menyediakan informasi palsu kepada pihak berwenang dalam masalah hukum negara.

Penulis: Ikhwannudin Bagas Ramadhani
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Sayyid Ali Rahmatullah

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI