Belakangan ini, tren “Marriage is scary” ramai dibicarakan di kalangan generasi Z. Tren yang banyak berseliweran di media sosial, terutama di TikTok dan X (Twitter) ini bukan hanya sekadar lelucon atau kata-kata iseng. Ungkapan ini merepresentasikan keresahan yang nyata dari generasi muda mengenai pernikahan.
Ketakutan yang Bukan Tanpa Alasan
Banyak muda-mudi kini melihat pernikahan bukan hanya sekadar sebagai tujuan utama dalam hidup. Di balik meriahnya resepsi pernikahan, tersimpan realitas yang tidak selalu indah.
Tingginya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kasus perselingkuhan, hingga tekanan ekonomi membuat banyak anak muda, terutama generasi Z, terbayang-bayang akan menakutkannya pernikahan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan dalam benak mereka: “Apa aku benar-benar siap untuk menikah?”
Selain hal itu, banyak dari mereka yang tumbuh di keluarga broken home atau tidak harmonis. Menyaksikan orangtua bertengkar setiap hari, atau bahkan mengalami perceraian, membentuk pemikiran bahwa pernikahan seperti jebakan seumur hidup yang tak mudah dihindari.
Faktor Ekonomi Jadi Pertimbangan
Tidak dapat dipungkiri jika ekonomi menjadi alasan yang sering dikeluhkan oleh kalangan anak muda. Biaya hidup yang tinggi, sulitnya mendapatkan pekerjaan, hingga impian untuk dapat memiliki hunian sendiri yang terasa sangat mustahil di usia muda membuat banyak orang ragu untuk menikah. Bagaimana bisa membangun rumah tangga jika mengurus diri sendiri saja masih kesusahan?
Anak muda kini lebih memilih untuk fokus pada pengembangan diri, karier, dan kesehatan mental. Dengan fokus yang berbeda, pernikahan kini dianggap sebagai sesuatu yang tidak lagi wajib dan bisa ditunda atau bahkan tidak perlu dilakukan, selama hidup yang dijalani tetap bermakna dan bahagia.
Baca Juga: Nikah Muda: Solusi atau Sekadar Tren?
Ketakutan Akan Kehilangan Diri Sendiri
Di sisi lain, anak muda saat ini sangat menghargai yang namanya kebebasan pribadi. Banyak dari mereka tumbuh dengan cita-cita dan identitas diri yang kuat. Mereka ingin lebih mengeksplorasi diri, mengembangkan karier, berkontribusi di bidang sosial, atau sekadar menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini.
Dalam pandangan mereka, pernikahan sering kali dianggap sebagai “penghalang” yang dapat membuat seseorang kehilangan ruang dan arah.
Bagi sebagian orang, pernikahan juga identik dengan tuntutan gender tradisional, di mana perempuan diharapkan menjadi istri dan ibu sepenuhnya, sementara laki-laki yang dibebani tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Konsep ini mulai dipertanyakan oleh generasi yang lebih peka terhadap kesetaraan dan keseimbangan peran dalam relasi.
Baca Juga: Angka Pernikahan di Ambang Kemunduran: Apakah Pernikahan Masih Penting di Era Digital?
Apa Ini Tanda Generasi yang Takut Komitmen?
Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa anak muda zaman sekarang takut untuk berkomitmen. Ketakutan ini bukan tanda kelemahan, tapi bentuk kesadaran.
Jika ditelusuri lebih dalam lagi, tren “Marriage is Scary” sebenarnya bukan hanya sekadar menolak komitmen, melainkan generasi muda ingin membangun relasi yang sehat, bukan asal menikah demi status.
Anak muda saat ini mulai menyadari pentingnya komunikasi, kesehatan mental, dan kesetaraan dalam hubungan. Alih-alih takut untuk berkomitmen, mereka justru ingin memastikan bahwa ketika mereka menikah, itu adalah keputusan yang benar-benar matang. Komitmen tetap penting bagi mereka—tapi hanya jika itu lahir dari kesadaran, bukan paksaan sosial.
Menuju Pandangan Baru tentang Pernikahan
Tren ini seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk penolakan terhadap pernikahan. Sebaliknya, hal ini dapat menjadi kesempatan untuk merefleksikan dan mendefinisikan ulang makna pernikahan itu sendiri.
Generasi muda kini menginginkan pernikahan yang bukan hanya sekadar simbol status, melainkan sebuah ruang kolaborasi antara dua individu yang tumbuh bersama.
Mereka menginginkan hubungan yang tetap menghargai identitas masing-masing dan mendoron satu sama lain untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Dan jika memang belum siap, itu pun tak menjadi masalah. Menunda pernikahan demi kesiapan emosional, mental, dan finansial adalah keputusan yang bijak dan tidak seharusnya dipandang negatif.
Penulis: Haifa’ Hannan Vinca Rosea
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News
Butuh pendekatan lagi yang lebih intens dengan orang tua
Nice