Mahal amat. Ya, realitasnya begitu guys, kuliah emang mahal, apalagi kalau kita lihat-lihat biaya uang pangkal jalur mandiri, harganya bisa di kisaran belasan sampai ratusan juta loh. Buset dah. Tak heran beberapa waktu yang lalu ribuan mahasiswa Unnes sampe ngegruduk rektorat untuk menghapuskan kebijakan uang pangkal yang kacida muahal ini.
Kebijakan uang pangkal ini banyak dihujat bukan hanya karena kemahalannya saja guys, namun juga karena banyak kode-kodean di dalamnya. Ya, kode-kodean dalam bentuk manipulasi uang pangkal ini. Wong nggak ada kejelasan dan transparansi. Uang pangkal memang tidak jelas aliran dananya kemana, meski di pendaftaran tercantum untuk uang bangunan dan pengembangan kampus, tapi tetap tidak ada detail aliran penggunaan dana juga yang terpakai dan tidak terpakai berapa-berapanya toh.
Melihat dari kasus uang pangkal Unnes, sejatinya kampus tiap tahun selalu surplus, dimana tidak ada kekurangan biaya berlebih di dalamnya, yah singkatnya mereka selalu untung. Lantas mengapa di tengah keuntungan yang diterima kampus, uang pangkal ini masih diberlakukan? Yowes jangan bingung, kita tahu sendirilah oknum kapital ingin panen.
Uang pangkal emang nyusahin. Gimana nasib adek-adek kita yang mau kuliah tapi tersendat uang pangkal puluhan juta? Apa mesti jual ginjal buat kuliah di rezim yang katanya akan menggratiskan pendidikan? Logikanya daripada buat bayar uang pangkal yang semahal itu, orang tua mending memakainya buat naik haji mereka aja kan sebetulnya, toh udah cukup. Tapi nyatanya cita-cita orang tua kita lebih dari itu bukan. Ya, mereka ingin anak-anaknya bahagia. You the real MVP.
Ironis memang, ketika banyak orang yang ingin kuliah eh malah dipersulit dengan adanya kebijakan uang pangkal. Belum apa-apa eh sudah dipalak. Uang pangkal rasa japrem. Tidak sama memang namun yah serasa. Bayangkan kita seolah mau masuk ke daerah kekuasaan orang lain dan sebelum masuk yah kita dipalak dulu sebagai uang keamanan. Mau kuliah? Japremnya dulu bos!
Maksud hati bahagiakan orang tua (Kuliah)
Apa daya diapalak preman (Bayar Uang Pangkal)
Pusing sudah ini kepala (Orang Miskin)
Sungguh kejam itu preman (Oknum Kapital dan akhirnya gagal kuliah)
Yah, memang tepat lagu ramayana ini menggambarkan mind map kebijakan uang pangkal yang nista. Kalau nggak bisa bayar yah mesti balik. Harapan kuliah harus dikubur dalam-dalam sedalam cintaku padamu my love. Nah ini sejalan juga dengan apa yang diutarakan Eko Prasetyo dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sekolah, bahwa nyatanya dengan biaya pendidikan yang mahal orang miskin cuma bisa gigit jari. Dengan kebijakan uang pangkal ini kita sama-sama tahulah kalangan mana sih yang bisa bayar.
Akan sulit untuk anak petani, kuli bangunan, tukang cilok atau tukang seblak ceker. Apalagi tukang PHP. Lalu dimana engkau wahai pemerataan pendidikan? Kok sampai saat ini serasa masih belum terealisasi, dan ini apaan lagi pake ada uang pangkal segala, disleding juga nih! Lewat uang pangkal, dunia pendidikan tinggi semakin menjauhkan diri dari masyarakat, ia menjadi lembaga private yang hanya bisa diduduki kaum elit.
Dari kebijakan uang pangkal ini kita bisa melihat jatidiri kampus yang pedagogis berubah menjadi kapitalis. Kita juga bisa melihat wajah para birokrat kampus yang akademis berubah menjadi otokratis. Serem deh pokoknya. Sebagai lembaga pendidikan harusnya pengelolaannya diolah secara berpendidikan pula, bukan sekedar mengikuti manajemen pasar yang tujuannya cuma buat nyari untung.
Kampus kan lembaga nirlaba macem koperasi, bukan perusahaan multinasional, jadi ya sing bener bae. Uang pangkal ini bukannya meningkatkan kualitas pendidikan kita, malah jatuhnya mematikan pendidikan dan mematikan harapan orang yang ingin kuliah. Jika dengan pemberlakuan uang pangkal ini masyarakat dibikin pusing nggak karuan karena nggak kuat bayar, lalu kapan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa itu akan tercapai? Yang ada mah boro-boro mau cerdas, wong kuliahnya juga susah.
Rahman Wahid
Mahasiswa