Upacara Mapag Panganten dalam Tradisi Adat Pernikahan Sunda

Mapag Panganten
Sumber: kompasiana.

Salah satu elemen yang mendukung keragaman Indonesia ialah budayanya. Fitri, merujuk pada E.B. Tylor, menggambarkan budaya sebagai kumpulan yang rumit dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan serta kebiasaan yang dimiliki setiap individu yang berpartisipasi dalam masyarakat.

Lebih lanjut Fitri dalam Huky (1987, hlm. 67-68) menjelaskan bahwa, budaya masyarakat tertentu akan berbeda dari masyarakat lainnya karena pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Salah satu aspek kebudayaan yang berkembang dalam suatu masyarakat ialah upacara adat.

Kehidupan manusia di Majalengka, khususnya di Desa Kepuh, sangat terkait dengan upacara ritual yang menandai peristiwa penting seperti perkawinan, kelahiran, kematian, serta kegiatan pertanian. Pandangan hidup masyarakat sangat terkait dengan upacara tradisional.

Bacaan Lainnya
DONASI

Ritual-ritual ini membahas hubungan manusia satu sama lain dalam masyarakat, dengan yang ilahi, serta dengan alam. Adat istiadat serta praktik budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi membentuk kehidupan sehari-hari setiap komunitas.

Akibatnya, banyak tradisi serta ekspresi budaya dapat ditemukan di seluruh nusantara, terutama saat merayakan peristiwa penting dalam hidup seperti pernikahan. Seperti yang di ungkapkan oleh Sudarto (2010, hlm. 2) bahwa, pernikahan ialah peristiwa yang sangat penting serta sakral.

Ini menandai transisi seseorang dari lingkungan keluarga mereka ke pembentukan keluarga baru. Karena sangat pentingnya peristiwa ini, ialah hal yang umum bagi orang-orang untuk memperingatinya dengan upacara yang khidmat serta sakral.

Upacara adat Mapag Panganten ialah tradisi yang tidak terpisahkan dalam spektrum yang lebih luas dari ritual pernikahan Sunda. Istilah “Mapag” dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut, sedangkan “Panganten” mengacu pada pengantin wanita.

Secara historis, upacara Mapag Panganten dilakukan untuk menyambut pengantin pria, karena pernikahan adat Sunda biasanya dilakukan di rumah keluarga pengantin wanita. Saat ini, upacara ini dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengucapan janji nikah.

Berasal dari abad ke-14 pada masa Kerajaan Padjadjaran, upacara Mapag Panganten pada awalnya hanya diperuntukkan bagi pernikahan keluarga kerajaan, serta rakyat biasa dilarang untuk berpartisipasi.

Upacara ini ialah pertunjukan artistik yang semarak, melibatkan banyak seniman serta menampilkan berbagai tarian, seperti Tari Merak-yang meniru keanggunan burung merak dengan bulu-bulunya yang berwarna-warni-di samping seni musik, komedi, serta pelajaran hidup yang bersifat simbolis.

Sorotan utama dari upacara Mapag Panganten ialah kehadiran Lengser, karakter yang menambahkan sentuhan unik pada perayaan ini. Lengser ialah tokoh yang berasal dari cerita Padjadjaran atau Mundinglaya Di Kusumah. Dalam upacara adat Mapag Panganten, ansambel terdiri dari Lengser sendiri, Panayagan (penabuh), Pamaya (penari), serta Punggawa (pengawal).

Biasanya diperankan oleh seorang pria, Lengser melambangkan seorang yang dituakan serta sumber nasihat pernikahan, yang sering digambarkan sebagai seorang kakek. Meskipun mungkin ada Lengser perempuan, dia berfungsi sebagai asisten Lengser laki-laki.

Upacara Mapag Panganten relatif singkat, berfokus pada penyambutan pengantin serta mengantar mereka ke pelaminan. Setelah runtuhnya Kerajaan Padjadjaran, upacara yang dulunya eksklusif untuk keluarga kerajaan menjadi dapat diakses oleh masyarakat umum.

Upacara yang dulunya hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan ini telah mendapatkan popularitas yang luas di kalangan masyarakat Sunda di Jawa Barat, khususnya di Desa Kepuh.

Baca Juga: Modernisasi dan Perpaduan Budaya dalam Adat Pernikahan Etnis Pesisir

Saat ini, upacara Mapag Panganten menjadi bagian umum dari perayaan pernikahan di berbagai lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan, yang melambangkan aspek khas warisan budaya Jawa Barat.

Masyarakat Sunda yang memegang teguh tradisi upacara Mapag Panganten masih terus menjalankan ritual ini hingga sekarang. Perkembangan budaya serta seni tradisional sangat erat kaitannya dengan masyarakat pendukungnya.

Artinya, vitalitas serta pertumbuhan budaya serta seni tradisional sangat dipengaruhi oleh karakteristik serta nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat yang lebih luas.

Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Putra (2016, hlm. 3) bahwa, Mapag Panganten ialah upacara penyambutan, khususnya untuk menghormati kedatangan pengantin pria. Dalam tradisi Sunda, pengantin pria serta rombongannya dianggap sebagai tamu terhormat serta disambut dengan meriah serta mewah.

Lebih lanjut Taroide (2014) mengungkapkan bahwa, upacara adat Mapag Panganten telah dilakukan sejak zaman Kerajaan Padjadjaran, sekitar abad ke-14. Awalnya, upacara ini eksklusif untuk pernikahan kerajaan, terutama untuk putri raja atau anggota keluarga kerajaan.

Namun, setelah runtuhnya Kerajaan Padjadjaran, ritual ini mulai diadopsi oleh masyarakat umum. Hal ini menandakan bahwa upacara Mapag Panganten ialah ritual untuk menyambut kedatangan mempelai pria serta keluarganya ke rumah keluarga mempelai wanita.

Upacara Mapag Panganten memiliki makna sosial yang signifikan, melambangkan rasa syukur atas pencapaian yang sukses. Upacara ini masih menjadi tradisi yang hidup di kalangan masyarakat Indramayu, terutama di Kabupaten Majalengka, di mana upacara ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perayaan pernikahan.

Masyarakat menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk menyaksikan acara tradisional ini. Upacara dimulai dengan kedatangan pengantin pria serta rombongannya, yang ditemani oleh orang tua serta kerabat dekatnya. Mereka harus menunggu keluarga mempelai wanita siap untuk melakukan ritual penyambutan.

Upacara adat Mapag Panganten telah berevolusi untuk menekankan elemen estetikanya, menyoroti fitur-fitur seperti spanduk, payung, serta tarian seremonial, termasuk tarian merak serta berbagai pertunjukan Jawa Barat lainnya.

Aspek penting dari upacara ini ialah kehadiran Lengser, yang meskipun awalnya ialah tetua adat yang memimpin kegiatan sosial di masyarakat Sunda, sekarang memainkan peran sentral dalam menyambut pengantin. Upacara ini sering kali menampilkan Lengser serta Ambu, yang menghibur penonton dengan tingkah lucu mereka.

Ki Lengser, khususnya, ialah sosok yang dicintai yang memandu serta mengarahkan upacara, menampilkan tarian komedi dengan Ambu yang menyenangkan penonton serta menimbulkan banyak tawa.

Baca Juga: Peta Kapanca sebagai Salah Satu Upacara Menjelang Pernikahan di Bima

Dalam pelaksanaan upacara Mapag Penganten menurut Putra (2016, hlm. 4), upacara ini berlangsung melalui beberapa tahapan: dimulai dengan kedatangan Ki Lengser, pemimpin upacara, diikuti dengan masuknya para prajurit Ponggawa. Selanjutnya, para penari mamayang tampil, serta puncaknya ialah kedatangan pembawa payung emas.

Ki Lengser, yang juga dikenal sebagai Uwa Lengser, memegang peran penting sebagai pemimpin dalam prosesi upacara Mapag Panganten. Dipercaya sebagai orang yang dituakan untuk memandu jalannya acara, Ki Lengser memberi isyarat kepada para penabuh (panayagan) kapan acara dapat dimulai, serta bersiap untuk memimpin prosesi. Ki Lengser juga mengabarkan kepada tuan rumah bahwa mempelai pria telah tiba di tempat perayaan.

Ponggawa, atau prajurit, dalam upacara Mapag Panganten memiliki peran menjaga pengantin pria. Ada dua Ponggawa yang hadir, masing-masing dipersenjatai dengan tombak atau kakra.

Tombak tersebut melambangkan dua kalimat syahadat, yang dikenal sebagai syahadat dalam Islam, yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan serta Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan demikian, kehadiran Ponggawa menandakan perjalanan pengantin pria di bawah perlindungan Tuhan.

Upacara Mapag Panganten mencakup pertunjukan tari yang beragam, dengan tarian merak yang menjadi pilihan populer di antaranya.

Seperti yang dikatakan oleh Adihasdian (2012), tarian merak menggambarkan gerakan anggun burung merak yang memamerkan warna-warna cerah dari bulu sayapnya. Sesuai dengan namanya, tarian merak dengan jelas menggambarkan esensi kehidupan merak.

Payung emas yang digunakan dalam upacara Mapag Panganten menyerupai payung kuning yang tinggi, melambangkan esensi ilahi Tuhan Yang Maha Esa, yang melambangkan perlindungan tertinggi yang dianugerahkan kepada kedua mempelai (Putra, 2016, hlm. 6).

Pada intinya, upacara Mapag ialah penyambutan tradisional untuk pengantin pria serta keluarganya, sebuah adat yang berasal dari tradisi Sunda yang mengadakan pernikahan di rumah keluarga pengantin wanita.

Berasal dari zaman kerajaan, tujuan utamanya ialah untuk mengantar calon pengantin pria serta keluarganya yang akan memasuki ikatan pernikahan dengan pengantin wanita.

Lebih dari sekadar memfasilitasi kedatangan pengantin pria, upacara ini memiliki makna simbolis serta doa yang tulus untuk kemakmuran serta keharmonisan pernikahan yang akan datang.

Meskipun inovasi budaya biasanya berasal dari ide, beberapa faktor yang mendasari memainkan peran yang lebih penting dalam implementasinya oleh individu atau kelompok masyarakat.

Faktor-faktor tersebut menurut Febrianti (2008) yakni pengakuan individu terhadap kekurangan budaya, penyempurnaan keterampilan dalam suatu budaya, serta kerangka kerja yang memberi insentif bagi keterlibatan para pencipta dalam masyarakat ialah aspek-aspek yang sangat penting.

Baca Juga: Tradisi Sekapur Sirih (Tari Persembahan), Tradisi Penyambutan yang Terdapat dalam Adat Suku Rejang Provinsi Bengkulu

Akulturasi, yang disorot sebagai mekanisme signifikan yang mendorong transformasi budaya, menarik minat yang signifikan di antara para antropolog. Proses ini terjadi ketika individu dari latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam interaksi yang intensif, yang mengarah pada pergeseran substansial dalam tatanan budaya salah satu atau kedua budaya yang terlibat.

Menurut Haviland (1988 hlm.263) berbagai faktor memengaruhi proses akulturasi, termasuk tingkat perbedaan budaya, sifat, intensitas, frekuensi, serta keakraban dalam hubungan, dinamika kekuasaan antara pihak-pihak yang dominan serta subordinat, serta apakah pengaruhnya bersifat timbal balik atau sepihak.

Penulis: Nabila Gumilar Rahayu (NIM: 2022011055)
Mahasiswa Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Ikuti berita terbaru di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI