Keistimewaan Yogyakarta sering menjadi bahan perdebatan. Di satu sisi, Yogyakarta dihormati sebagai kota budaya dengan tradisi yang panjang.
Di sisi lain, status kekuasaan yang diwariskan tanpa proses pemilu kerap dipandang bertentangan dengan prinsip demokrasi modern.
Namun, apakah benar bahwa tradisi dan demokrasi harus selalu bertolak belakang? Apakah warisan budaya harus dilihat sebagai ancaman bagi keadilan hukum?
Mungkin kita justru perlu memandang Yogyakarta dari sudut yang lebih adil: sebagai contoh bahwa tradisi dan hukum bisa berjalan berdampingan.
Keistimewaan Yogyakarta bukan berarti kekebalan. Status Gubernur yang secara otomatis disandang oleh sultan memang berbeda dari provinsi lain.
Namun, hal ini tidak serta-merta menghapus prinsip negara hukum. Sultan sebagai kepala daerah tetap terikat pada peraturan perundang-undangan nasional.
Justru dengan keistimewaan ini, Yogyakarta punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa pelestarian budaya tidak harus bertentangan dengan transparansi dan akuntabilitas.
Baca Juga: Antara Warisan dan Masa Depan: Pemanfaatan Tanah Kasultanan untuk Kebudayaan Yogyakarta
Banyak yang mengkhawatirkan potensi tumpulnya hukum jika berhadapan dengan kekuasaan tradisional.
Namun mari kita lihat realitasnya: berbagai konflik yang melibatkan tanah adat dan hak masyarakat di Yogyakarta telah menjadi ruang dialog antara tradisi dan modernitas.
Memang tidak selalu sempurna. Tetapi proses tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dan institusi tradisional masih bisa duduk bersama dalam menemukan titik temu.
Justru di sinilah letak keistimewaan Yogyakarta yang sebenarnya: kemampuan untuk menyerap kritik tanpa harus kehilangan identitas budaya.
Menghargai keistimewaan Yogyakarta bukan berarti menutup mata terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Tetapi bukan pula berarti kita harus memaksakan semua daerah berada dalam sistem yang seragam tanpa ruang bagi kekhususan budaya.
Demokrasi bukan hanya tentang pemilu, melainkan juga tentang bagaimana kekuasaan bisa berjalan dengan legitimasi sosial, akuntabilitas, dan keterbukaan.
Yogyakarta mengajarkan bahwa modernitas tidak selalu harus membongkar tatanan lama. Kadang, ia justru perlu merangkulnya, menyempurnakannya, dan menjadikannya bagian dari sistem yang lebih luas.
Yang perlu kita dorong adalah memastikan bahwa dalam keistimewaan itu, hak masyarakat tetap terlindungi dan hukum tetap berlaku bagi semua pihak.
Yogyakarta bukan ancaman bagi hukum; Yogyakarta adalah peluang untuk membuktikan bahwa hukum bisa beradaptasi tanpa kehilangan prinsip dasarnya: keadilan untuk semua.
Di akhir hari, bukan soal siapa yang berkuasa atau bagaimana dia naik ke tampuk jabatan. Yang terpenting adalah bagaimana kekuasaan itu dijalankan dengan bijak, adil, dan terbuka.
Dan Yogyakarta, dengan segala keistimewaannya, masih punya potensi besar untuk menjadi contoh yang membanggakan.
Penulis: Moh Fadli A Hi Razak
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News