Welfare State vs PHK

PHK Pekerja PT Sritex
PHK Pekerja PT Sritex. (Foto: Antara)

Kondisi geopolitik dan ekonomi global saat ini diketahui berdampak kepada berjalannya beberapa sektor industri di Indonesia. Sejumlah perusahaan tingkat rintisan hingga multinasional pun kini secara perlahan mulai melakukan efisiensi terhadap perusahaan dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

Sektor industri yang terdampak oleh ekonomi global diantaranya sektor industri textile/garmen salah satunya adalah PT Sri Rejeki Isman (Sritex), sekitar 8.000 karyawan Sritex di Kabupaten Sukoharjo kehilangan pekerjaan.

Secara keseluruhan terdapat 12.000 orang karyawan Sritex  dan tiga anak usahanya yang terdampak PHK. Sritex didirikan oleh H.M Lukminto pada tahun 1966 di Kota Solo awalnya Sritex sebagai Perusahaan perdagangan tradisional yang terus berkembang menjadi Perusahaan textile terbesar di Asia Tenggara.

Baca juga: Urbanisasi di Tengah Gencarnya PHK

Bacaan Lainnya

Tahun 2025 gelombang PHK semakin masif, selain industri garmen, perusahaan yang melakukan PHK diantaranya PT. Sanken Indonesia mem-PHK karyawannya sebanyak 459 orang, Perusahaan Yamaha Indonesia memPHK karyawannya sebanyak 1100 orang, Pabrik Sepatu NIKE yang berlokasi di Kabupaten Tangerang mem-PHK karyawannya sebanyak 2000 orang. PT. Danbi Internasional yang memproduksi bulu mata palsu yang berlokasi di Garut mem-PHK karyawannya sebanyak 2079 orang.

Pemutusan hubungan kerja atau PHK adalah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan yang disebabkan oleh suatu hal. Setelah PHK terjadi, maka berakhir pula ikatan hak dan kewajiban yang berlaku bagi kedua belah pihak.

PHK umumnya terjadi karena keputusan erusahaan kepada karyawannya karena berbagai hal. Bisa disebabkan oleh karyawan itu sendiri, maupun karena kondisi dari perusahaan yang mengharuskan pengambilan keputusan untuk mem-PHK karyawannya.

Baca juga: Bagaimana Nasib Karyawan yang Di-PHK?

Tata cara PHK serta alasan yang boleh digunakan oleh Perusahaan untuk mem-PHK karyawannya diatur dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022  Tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 151 dikatakan PHK tidak boleh dilakukan secara mendadak dan sepihak, Perusahaan tidak boleh mem PHK-karyawan tanpa adanya pemberitahuan. Bahkan dikatakan perusahaan harus mengupayakan terlebih dahulu untuk menghindari PHK. Jika tidak berhasil, maka perusahaan harus menginformasikan pada karyawan dan keputusan PHK ini juga harus disetujui oleh karyawan.

Jika karyawan menolak Keputusan PHK yang diberikan maka bisa dilakukan perundingan Bipartit terlebih dahulu, atau menyelesaikannya sesuai mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jika perundingan Bipartit gagal menemukan solusi.

Baca juga: Antara GWM, Bank dan PHK

Pemerintah diharapkan tidak abai terhadap masifnya PHK yang berdampak pada tingginya pengangguran, sehingga berkaitan terhadap tingkat kemiskinan, kriminalitas, pendapatan dan produktivitas nasional, apatisme hingga bermunculannya gangguan kejiwaan.

Bahkan dalam jangka panjang jika kondisi PHK ini terus dibiarkan maka instabilitas sosial politik masyarakat berujung pada disintegrasi dan hilangnya kewibawaan pemerintah sebagai keniscayaan. Dengan semakin masifnya PHK semakin jauh dari tujuan Welfare State.

Penulis: Sarah Rizkia Luthfiyani
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses