Di tengah hiruk-pikuk politik jelang Pilkada Serentak 2025, sebuah usulan mengejutkan mengguncang publik: Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengusulkan pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pernyataan sikap pada 17 April 2025 di Jakarta.
Usulan ini, bagian dari delapan poin deklarasi, menyoroti dugaan pelanggaran hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 169 Huruf Q UU Pemilu, yang memungkinkan Gibran maju sebagai calon wapres.
Dokumen tersebut ditandatangani oleh 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Termasuk Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno dan Fachrul Razi.
PDIP, melalui Deddy Sitorus menilai kalau adanya sikap tuntutan tersebut akan menjadi saran yang bagus.
“Tapi itu saran yang bagus sih kalau menurut saya,” kata Deddy ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2025).
Deddy menekankan bahwa dirinya tidak secara langsung menyetujui tuntutan itu. Ia hanya menyatakan bahwa hal tersebut mungkin layak untuk dipikirkan lebih lanjut.
Golkar, melalui Sekretaris Jenderal Muhammad Sarmuji, menegaskan Gibran sah sebagai wapres terpilih.
“Masalah wakil presiden sudah merupakan hasil pemilihan presiden dan mendapatkan mandat rakyat. Majunya Mas Gibran juga dimungkinkan oleh keputusan MK. Jadi ruang konstitusional untuk mempermasalahkan lagi sudah tidak ada,” tuturnya.
Baca Juga: Potensi Dinasti Politik dalam Kasus Gibran Rakabuming
Usulan ini diumumkan pada April 2025, menjelang Pilkada Serentak 2025, memicu diskusi nasional tentang konstitusi dan legitimasi politik.
Deklarasi digelar di Kelapa Gading, Jakarta Utara, dan menjadi sorotan di media sosial, terutama X, dengan ribuan unggahan terkait.
Forum menilai putusan MK bermasalah secara hukum dan etika, memicu keresahan tentang legitimasi demokrasi. Mereka meminta MPR bertindak untuk “mengembalikan keadilan konstitusi”.
Usulan disampaikan melalui surat terbuka, meminta MPR mengganti wapres. Namun, Analis Politik Boni Hargens memberikan tanggapan terkait adanya wacana mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang diusulkan oleh sejumlah purnawirawan TNI.
Boni menegaskan bahwa wacana tersebut bertentangan dengan konstitusi, tidak realistis untuk diwujudkan, dan justru berpotensi menambah ketegangan dalam dinamika politik nasional.
“Dalam demokrasi konstitusional Indonesia, hal macam itu (usulan mengganti wapres) mustahil bisa terjadi,” ujar Boni kepada wartawan, Selasa (22/4/2025).
“Presiden dan Wakil Presiden adalah dwitunggal yang dipilih secara bersama dan secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu. Adalah suatu hal yang inkonstitusional apabila ada upaya menggantikan wakil presiden di tengah jalan,” sambungnya.
Baca Juga: Dinamika Hukum di Indonesia: Bagaimana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mengubah Arah Keadilan?
Boni menuturkan bahwa tidak ada satu pun dasar hukum dalam UUD maupun regulasi lainnya yang membuka peluang untuk mengganti wakil presiden di tengah masa jabatan.
Menurut Boni, Pasal 7A UUD 1945 hanya mengatur beberapa alasan yang dapat menjadi dasar pemakzulan presiden dan atau wakil presiden selama masa jabatannya.
“Hal itu terjadi apabila salah satu atau keduanya terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden. Sejauh ini, tidak ada satu pun dari klausul itu yang dilakukan oleh wakil presiden Gibran,” tegas Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu.
Boni meyakini bahwa kelompok yang mendorong wacana pergantian Wakil Presiden sebenarnya hanya berupaya memperburuk situasi politik nasional, di tengah upaya keras dan kekompakan pemerintah dalam menghadapi berbagai potensi ancaman di banyak sektor, khususnya di bidang ekonomi akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
“Kita harus bisa membedakan politik kekuasaan dan politik kebangsaan. Politik kekuasaan berbicara soal merebut kekuasaan dan itu ranahnya ada di Pemilu,” ujarnya.
“Kalau tidak suka presiden atau wakil presiden ya silahkan bersaing lagi di pemilu berikutnya. Sedangkan, politik persahabatan berbicara tentang komitmen dan aksi nyata dalam membangun bangsa dan negara,” tegas Boni.
Karena itu, Boni mengimbau semua lapisan masyarakat untuk tetap waspada dan tidak terperangkap dalam kepentingan politik yang hanya berorientasi pada perebutan kekuasaan.
Baca Juga: Quo Vadis Wakil Presiden: Dari Bung Hatta Menuju Fufufafa
“Apa yang dilakukan oleh kelompok yang menyudutkan Wapres Gibran adalah politik kekuasaan yang vulgar dan inkonstitusional. Gerakan macam ini berpotensi mengganggu stabilitas politik dan mempengaruhi pemerintahan demokratis hasil pemilu,” ungkap Boni.
Polemik usulan pencopotan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dari kalangan purnawirawan TNI membuka ruang diskusi penting tentang praktik bernegara di era demokrasi modern.
Namun, dalam negara hukum seperti Indonesia, setiap aspirasi politik tetap harus berjalan dalam koridor konstitusi yang mengikat seluruh elemen bangsa.
Menjaga kesatuan bangsa di tengah perbedaan pandangan politik adalah tugas kolektif yang tidak boleh diabaikan, terutama di saat Indonesia menghadapi tantangan global yang membutuhkan solidaritas nasional.
Oleh karena itu, menjaga perdamaian politik, menghormati mandat rakyat, dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok adalah tugas bersama semua pihak dalam membangun Indonesia ke depan.
Penulis: Arlis Agnesyanika Tamba
Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Riau
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News