Sepanjang tahun 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin lebih dari 20 Bank Perkreditan Rakyat/Syariah (BPR/S) untuk memperkuat industri dan melindungi kepentingan konsumen.
Angka ini melampaui rata-rata penutupan BPR/S dalam 18 tahun terakhir. Sebelum pencabutan izin, BPR/S tersebut telah masuk dalam kategori pengawasan Bank dalam Resolusi sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 28/2023.
OJK memberikan kesempatan kepada Direksi BPR/S untuk melakukan penyehatan, tetapi manajemen BPR/S gagal memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan.
Langkah OJK ini diambil untuk mencegah kerugian masyarakat yang lebih luas.
Lemahnya Tata Kelola dan Manajemen Risiko
Penutupan beberapa BPR/S sepanjang tahun 2024 seharusnya tidak dianggap sebagai hal yang biasa.
Justru, ini menjadi bukti bahwa masih banyak bank yang belum belajar dari kesalahan yang sama, yaitu lemahnya sistem tata kelola dan manajemen risiko.
Beberapa kasus, seperti BPR/S berinisial PB, UMKM, CD, dan SMS, memperlihatkan bahwa banyak lembaga keuangan gagal menjaga keseimbangan keuangan mereka sendiri.
Mereka tidak mampu mengelola risiko kredit, menghadapi masalah likuiditas, dan pada akhirnya melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang seharusnya dijalankan, termasuk praktik manipulasi dan fraud.
Dari hasil evaluasi OJK yang dikutip dalam pemberitaan CNBC Indonesia, penyebab utama pencabutan izin usaha BPR/S sepanjang 2024 masih didominasi oleh lemahnya tata kelola dan manajemen risiko.
Hal ini diperkuat dengan informasi dalam Strategi Anti Fraud (SAF) OJK tahun 2022, yang menyebutkan bahwa praktik fraud di BPR/S banyak terjadi karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Selain itu, laporan yang merujuk pada hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK pada awal tahun 2025 juga menekankan bahwa pencabutan izin sebagian besar disebabkan oleh lemahnya pengawasan internal, buruknya kualitas manajemen, dan tidak optimalnya penerapan sistem pengendalian yang seharusnya menjadi bagian penting dalam menjaga kesehatan lembaga keuangan.
Dua Kasus Nyata
Kasus BPRS Mojo Artho di Mojokerto merupakan contoh klasik bagaimana sebuah lembaga gagal dalam menyelamatkan dirinya karena manajemen tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang tinggi dan permodalan yang negatif, bank ini tidak sanggup memenuhi ketentuan kesehatan bank syariah.
Begitu juga dengan BPRS Gebu Prima di Sumatera Utara, yang hanya dalam waktu satu tahun berpindah status dari Bank Dalam Penyehatan menjadi Bank Dalam Resolusi.
Upaya restrukturisasi tidak membuahkan hasil, dan akhirnya lembaga tersebut harus ditutup oleh OJK, disertai dengan proses likuidasi oleh LPS.
Kedua kasus ini bukan hanya sekadar kisah kegagalan administratif, akan tetapi representasi nyata bahwa sistem internal yang tidak berjalan akan membawa dampak sistemik yang besar.
Apalagi dalam konteks perbankan syariah, di mana kepercayaan menjadi asset utama yang harus dijaga.
Kerugian Bukan Hanya Sekadar Finansial
Yang paling dirugikan dari tutupnya BPR/S bukanlah pemegang saham atau pengelola bank saja, tetapi masyarakat yang selama ini mengandalkan mereka sebagai akses utama ke sistem keuangan.
Banyak pelaku UMKM di daerah, terutama yang belum terjangkau oleh bank umum, kehilangan mitra pembiayaan mereka.
Ketika bank syariah ditutup, mereka tidak hanya kehilangan modal, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem perbankan itu sendiri.
Dalam kurun waktu yang panjang, hal tersebut bisa menjadi pukulan bagi gerakan inklusi keuangan syariah yang sedang dibangun.
Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa adanya pembenahan sistemik, masyarakat akan kembali melirik pinjaman berbunga tinggi yang justru bertentangan dengan nilai-nilai keuangan syariah.
Transformasi yang Mendesak
Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk berubah. Yang dibutuhkan bukanlah sekadar regulasi yang baru, sebab OJK telah menerbitkan POJK No.9 dan 25 Tahun 2024 yang mempertegas kewajiban tata kelola dan manajemen risiko.
Yang lebih mendesak bukanlah regulasi baru, tetapi komitmen untuk benar-benar menjalankannya.
Manajemen risiko tidak boleh lagi menjadi posisi simbolik. Audit internal harus benar-benar bekerja.
DPS perlu diberi ruang dan otoritas untuk mengawasi akad serta portofolio pembiayaan secara nyata.
Selain itu, sudah saatnya budaya sadar risiko tidak hanya menjadi jargon, tetapi tertanam dalam setiap lini organisasi.
Ini tidak hanya soal pelatihan teknis saja, melainkan soal mentalitas bahwa mengelola risiko merupakan bentuk tanggung jawab atas amanah dana masyarakat.
Laporan risiko tidak dibuat karena diminta, tetapi karena menjadi kebutuhan dasar institusi untuk bertahan dan berkembang.
Penutupan BPR/S tentu membawa luka, tetapi luka ini bisa menjadi pelajaran jika ditanggapi dengan refleksi dan transformasi.
Syariah bukan hanya label, tetapi nilai. Dan nilai itu hanya hidup jika dijalankan dalam manajemen yang adil, akuntabel, dan berhati-hati.
Di sinilah peran semua pemangku kepentingan, seperti regulator, manajemen bank, akademisi, dan masyarakat, untuk bersama-sama mengawal agar industri keuangan syariah tumbuh sehat dan dipercaya.
Karena pada akhirnya, keuangan syariah bukan sekadar soal angka, melainkan tentang kepercayaan dan tanggung jawab yang harus dijaga dengan sungguh-sungguh.
Penulis:Â Adinda Putri Hermoza
Mahasiswa Prodi Manajemen Bisnis Syariah, Universitas Tazkia
Referensi
https://www.cnbcindonesia.com/opini/20250410093602-14-624784/tutupnya-bpr-s-pentingnya-implementasi-tata-kelola-manajemen-risiko
https://finansial.bisnis.com/read/20240128/90/1736003/ojk-cabut-izin-bprs-mojokerto-akibat-lakukan-kesalahan-fatal
https://www.tempo.co/ekonomi/ojk-cabut-izin-bprs-gebu-prima-1232701
https://www.antaranews.com/berita/4547262/ojk-pencabutan-izin-usaha-20-bpr-s-pada-2024-untuk-perkuat-industri
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News