Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, negara dituntut untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Prinsip ini menjadi inti dari negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Dalam kerangka itu, segala bentuk penyelenggaraan kekuasaan, termasuk pengelolaan dana zakat oleh lembaga negara seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum tata negara yang menekankan pada akuntabilitas publik, supremasi hukum, serta perlindungan hak-hak dasar warga negara.
BAZNAS, yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, merupakan lembaga negara non-struktural yang diberi wewenang untuk mengelola zakat, infak, dan sedekah umat Islam secara nasional.
Sebagai lembaga negara, walaupun bukan konstitusional organ (lembaga negara menurut UUD), keberadaan BAZNAS tetap berada dalam kontrol sistem ketatanegaraan, dan karena itu tunduk pada prinsip-prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara yang sah dan bertanggung jawab secara hukum dan moral.
Namun, belakangan ini kepercayaan publik terhadap BAZNAS mulai tergerus akibat berbagai laporan penyimpangan dan dugaan korupsi yang terjadi di internal lembaga tersebut.
Salah satu contoh yang mencuat adalah dugaan korupsi pengelolaan dana zakat di tingkat daerah yang melibatkan pengurus BAZNAS provinsi dan kabupaten.
Praktik korupsi ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum pidana, tetapi juga menjadi indikator kegagalan sistemik dalam tata kelola lembaga publik berbasis keagamaan, di mana negara gagal menjalankan fungsi pengawasan yang memadai terhadap lembaga yang mengelola dana umat.
Sebagai lembaga negara non-struktural, posisi BAZNAS tidak setara dengan lembaga negara utama seperti Presiden, DPR, Mahkamah Konstitusi, atau BPK.
Hal ini menciptakan kesenjangan dalam sistem checks and balances. BAZNAS tidak diawasi secara langsung oleh DPR, dan tidak memiliki hubungan hierarkis dengan Presiden atau kementerian tertentu, walaupun secara administratif berada di bawah koordinasi Kementerian Agama.
Ketidakjelasan posisi ini menyebabkan lemahnya akuntabilitas kelembagaan dan minimnya pengawasan konstitusional.
Di sisi lain, dana zakat yang dikelola BAZNAS memiliki karakteristik ganda: secara hukum bersifat keagamaan, namun secara praktik memiliki nilai ekonomi dan sosial tinggi yang berdampak langsung pada hak konstitusional masyarakat, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan.
Dengan demikian, pengelolaan dana zakat oleh BAZNAS tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab negara untuk melindungi dan memenuhi hak ekonomi dan sosial warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945.
Dalam kerangka hukum tata negara modern, negara tidak hanya memiliki kewenangan (authority) tetapi juga tanggung jawab (responsibility) terhadap kesejahteraan rakyat.
Korupsi dalam pengelolaan dana zakat berarti negara telah gagal melindungi hak rakyat miskin untuk menerima dana yang menjadi hak konstitusional mereka melalui jalur keagamaan.
Negara juga gagal menjamin prinsip “good governance” yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan lembaga zakat.
Konsekuensinya, perlu ada reformulasi mekanisme pertanggungjawaban BAZNAS yang secara langsung dikaitkan dengan sistem hukum tata negara.
Negara harus mengintegrasikan pengawasan lembaga pengelola zakat ke dalam sistem kontrol yang sudah ada, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman, serta membuka ruang partisipasi publik dalam audit sosial.
Selain itu, perlu dikaji kemungkinan pembentukan lembaga pengawas independen zakat atau memperkuat fungsi pengawasan internal dan eksternal melalui revisi regulasi yang berlaku.
Korupsi di BAZNAS menunjukkan bahwa pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2011 belum cukup kuat.
Tidak ada mekanisme audit terbuka, tidak ada kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban ke publik secara berkala, dan tidak ada sanksi administratif yang tegas terhadap pelanggaran etik.
Semua ini menunjukkan lemahnya daya paksa hukum (law enforcement) terhadap penyelenggara dana zakat, meskipun mereka mengelola dana dalam jumlah besar yang berasal dari kepercayaan umat.
Dalam konteks hukum tata negara, negara perlu mengakui bahwa tata kelola zakat bukan semata-mata urusan keagamaan, tetapi juga merupakan urusan konstitusional karena menyangkut hak warga negara, keuangan publik, dan integritas lembaga negara.
Negara tidak bisa bersikap netral atau lepas tangan, sebab dalam sistem negara hukum, pengabaian terhadap pengawasan adalah bentuk pelanggaran konstitusi secara pasif.
Kejadian korupsi di BAZNAS harus dijadikan momentum untuk membangun ulang desain kelembagaan pengelolaan zakat dalam perspektif konstitusional.
Negara tidak boleh hanya menjadi penonton dalam pengelolaan dana umat.
Dalam konteks hukum tata negara, negara adalah aktor utama yang wajib menjamin dana publik, termasuk dana zakat, dikelola dengan jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Reformasi sistem pengawasan BAZNAS bukan hanya soal etika atau manajemen, tetapi merupakan tanggung jawab konstitusional negara dalam mewujudkan prinsip keadilan sosial, keuangan publik yang bersih, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat.
Penulis: Daffa Abdullah Marzuq
Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News