Stereotip bukan sekadar label sembarangan yang disematkan kepada individu atau kelompok. Ia lahir dari kebiasaan berpikir manusia yang cenderung menyederhanakan realitas. Dalam konteks framing media, stereotip menjadi lebih dari sekadar prasangka; ia berubah menjadi konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh cara media membingkai informasi, lalu terus diproduksi dan direproduksi melalui berita, citra, dan narasi. Inilah bentuk paling nyata dari bagaimana stereotip media bekerja dalam mempengaruhi cara pandang masyarakat.
Media memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang tampak penting dan bagaimana sesuatu harus dipahami. Ketika sebuah peristiwa terjadi seperti dalam konflik Israel Iran, cara media menyampaikannya, baik itu melalui pilihan kata, gambar, hingga urutan informasi, memengaruhi bagaimana publik menyikapinya.
Di sinilah konsep framing media bekerja. Alih-alih sekadar menyampaikan informasi, media juga mengarahkan persepsi publik dan bahkan membentuk opini publik yang luas.
Contoh yang paling mudah dikenali adalah bagaimana istilah teroris atau pejuang digunakan. Dalam satu kasus, sekelompok orang bersenjata bisa disebut militan, tapi dalam kasus lain, kelompok serupa justru disebut pembela tanah air.
Istilah aksi balasan digunakan untuk menggambarkan serangan yang dilakukan oleh pihak tertentu, namun jika dilakukan oleh kelompok lain, bisa disebut sebagai serangan brutal. Pilihan kata seperti ini bukan sekadar teknis. Ia membentuk persepsi siapa yang tampak sebagai korban dan siapa yang seolah-olah layak disalahkan, contoh klasik dari bias pemberitaan dan efek jangka panjang dari framing media terhadap pemahaman publik.
Baca Juga: Analisis Framing Media terhadap Konflik Internasional
Ketika Media Menentukan Pihak: Framing dalam Konflik Israel–Iran
Konflik antara Israel dan Iran menjadi salah satu contoh paling aktual di mana framing media bekerja secara halus namun kuat. Di banyak media internasional, tindakan militer yang dilakukan oleh Israel sering kali dibingkai sebagai bentuk pertahanan diri, sementara respons dari Iran lebih sering dicap sebagai ancaman terhadap stabilitas.
Kata-kata seperti “menyerang balik”, “tindakan preventif”, atau “membela diri” menjadi milik eksklusif satu pihak. Sementara itu, frasa seperti “eskalasi agresi” atau “provokasi ekstrem” digunakan kepada pihak lain. Padahal, dalam banyak kasus, intensitas kekerasan serupa.
Apa yang terjadi bukan sekadar penyampaian informasi yang timpang. Ini adalah penyusunan ulang realitas. Framing membentuk stereotip dalam benak pembaca: siapa yang menjadi ancaman, siapa yang layak dibela, siapa yang harus ditakuti, dan siapa yang layak dipercaya.
Ini bukan tentang mencari siapa yang benar, tapi memahami bagaimana narasi yang terbentuk mempengaruhi opini publik, termasuk masyarakat Indonesia yang membaca berita dari sumber-sumber internasional.
Baca Juga: Serangan Israel Picu Ancaman Iran Tutup Selat Hormuz: Waspada Dampak Ekonomi
Dampak Framing Global terhadap Opini Lokal: Apa yang Kita Percaya?
Di Indonesia, pembaca tak jarang menyerap begitu saja narasi-narasi dari luar tanpa konteks lokal yang memadai. Hal ini bisa memperkuat stereotip tertentu di ruang publik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada cara kita memperlakukan kelompok lain, baik dalam konteks agama, etnis, maupun kewarganegaraan. Narasi yang tidak imbang bisa menyulut kebencian, memperkuat polarisasi, bahkan memicu prasangka yang tidak berdasar.
Karena itulah, penting bagi pembaca untuk lebih peka terhadap bagaimana informasi dikemas. Membaca lebih dari satu sumber bisa membantu kita melihat sudut pandang yang berbeda. Menelaah istilah-istilah yang digunakan, memeriksa siapa narasumbernya, hingga memahami konteks politik media tersebut bisa menjadi langkah awal untuk menjadi pembaca yang lebih sadar.
Stereotip media bukanlah kesalahan tunggal satu institusi. Ia adalah hasil dari pola pikir kolektif yang diulang terus-menerus. Namun, jika kita terus membiarkannya, kita secara tidak langsung ikut memperkuat ketidakadilan dalam pemberitaan.
Baca Juga: Korea Utara dan Paradoks Keamanan: Apakah Nuklir Benar-Benar Menjamin Keamanan?
Ketika kita tidak kritis terhadap informasi yang kita konsumsi, kita menjadi bagian dari sistem yang mempersempit makna kebenaran hanya pada suara mayoritas atau suara yang paling keras.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tapi juga penafsir yang sadar. Kemampuan untuk berpikir kritis terhadap narasi media adalah keterampilan literasi yang wajib dimiliki masyarakat hari ini. Sebab di era banjir informasi, kebenaran bukan hanya soal fakta, tapi juga soal siapa yang berhasil mengendalikan narasi.
Penulis:
Zidane Asasani
Mahasiswa Program Stud Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News