Memprihatinkan, sikap saling mencela, mengunjing, dan berprasangka buruk semakin merajalela di tengah masyarakat.
Bukan hanya di kalangan masyarakat non-berpendidikan, tetapi juga terhadap mereka yang mengaku berpendidikan.
Sikap saling mencela sering terjadi dalam berbagai konteks, seperti: media sosial, politik, dan diskusi online.
Faktor orang lebih cenderung untuk mencela, mengunjing, dan berprasangka buruk kepada orang lain disebabkan kurangnya empati, ketidakpuasan diri, lingkungan yang toxic, dan pengaruh media yang sensasional.
Lalu, bagaimana Al-Qur’an menanggapi kasus ini?
Al-Qur’an sebagai bagian dari ajaran yang mendorong kesopanan, empati, dan perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, menegaskan pentingnya menghormati hak-hak seseorang dan memperingatkan agar tidak menzalimi atau mengejek orang lain.
Hal ini sejatinya untuk menciptakan lingkungan sosial yang penuh dengan kasih sayang dan penghargaan terhadap keberagaman dan kemanusiaan.
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang melarang perilaku tersebut, di antaranya QS. Al-Hujurat: 11-12:
َيّاايٌها الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
َيّاايٌها الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ١
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolokolokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolokolok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptaknn kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 11-l2)
Dalam tafsir Munir, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini mengandung beberapa larangan, yaitu:
Larangan Merendahkan, Menghina, dan Meremehkan Orang Lain
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, janganlah para lelaki menghina para lelaki lainnya. Sebab, siapa tahu mereka yang dihina di sisi Allah Swt. lebih baik dari penghinanya. Atau, mungkin saja orang yang dihina dan lebih mulia kedudukannya di sisi Allah Swt. dan lebih dicintai-Nya dari penghinanya.”
Ini pasti haram, di dalamnya Allah Swt. menjelaskan alasan pengharaman atau larangan tersebut, seperti perkataan sebagian penyair,
“Janganlah kamu menghina orang miskin, karena siapa tahu pada suatu hari nanti kamu justru tertunduk hina, sementara zaman telah mengangkat miskin tersebut.”
Kalimat عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ menjelaskan alasan larangan tersebut.
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dengan redaksi,
رب أشعث أغبر مدفوع بالأبواب لو أقسم على الله لأبره
“Boleh jadi seseorang yang lusuh yang pintu-pintu ditutup di hadapannya, namun seandainya ia bersumpah atas nama Allah, Allah mewujudkan sumpahnya.” (HR. Muslim dan Imam Ahmad)
Larangan Mencela dan Mengolok-olok Orang Lain dengan Ucapan atau lsyarat
وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
Janganlah kalian mencela, mendiskreditkan, dan mencela sebagian yang lain dengan ucapan, tindakan, atau isyarat.
Allah Swt. menjadikan mencela orang-orang mukmin sebagai mencela diri sendiri karena mereka adalah satu kesatuan seperti satu jiwa, ketika seorang mukmin mencela saudaranya, maka ia seperti mencela dirinya sendiri, sebagaimana firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (An-Nisaa’: 29)
Maksudnya, janganlah sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain.
Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Nu’man bin Basyil, Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang mukmin seperti kesatuan seseorang. Ketika kepala seseorang sakit, seluruh tubuhnya ikut sakit. Jika matanya sakit, terasa sakit pula seluruh tubuhnya.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim)
Para pengumpat lagi pencela adalah orang yang tercela dan terlaknat sebagaimana firman Allah Swt.,
“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (Al-Humazah: 1)
Maksudnya, menghina orang lain dengan mencela ke sana ke mari, mengumbar fitnah, dan adu domba, dan ini adalah bentuk al-lamz dengan perkataan.
Perbedaan antara as-sukhriyyah (menghina) dan al-lamz, as-sukhriyyah adalah merendahkan seseorang di hadapannya dengan sesuatu yang memanggil gelak tawa.
Sedangkan, al-lamz adalah membuka aib seseorang. Ini merupakan bentuk meng-‘athaf-kan sesuatu yang bersifat umum kepada yang khusus. Tujuannya, untuk memberikan pengertian keumuman cakupan.
Memanggil Julukan yang Tidak Disukainya
وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ
Janganlah kalian menjuluki sebagian yang lain dengan julukan yang tidak baik yang membuatnya marah, seperti seorang Muslim memanggil sesama Muslim lainnya, “Wahai fasik”, “Wahai munafik.
Atau, memanggil seseorang yang telah masuk Islam dengan, “Wahai Yahudi”, “Wahai Nasrani”.
Atau, memanggil siapa pun itu dengan, “Hei anjing”, “Hei keledai”, “Hei babi”. Dalam hal ini, pelaku dijatuhi hukuman ta’zir.
Para ulama secara tegas menyatakan diharamkannya menjuluki seseorang dengan julukan yang dibencinya, baik julukan itu adalah sifatnya, bapaknya, ibunya, atau untuk siapa saia yang bernisbah kepadanya.
Di sini, digunakan kata at-tanaabuz, yang memberi pengertian bahwa perbuatan itu terjadi antara dua orang.
Ini karena masing-masing pihak akan segera membalas memanggilnya dengan julukan yang tidak baik juga.
Jadi, perbuatan an-nabz (menjuluki seseorang dengan tidak baik) menyeret pada perbuatan at-tanaabuz (saling membalas julukan).
Beda dengan allamz yang hanya muncul dari satu pihak dan pihak yang menjadi korban butuh waktu untuk mencari aib sebagai balasan.
Larangan dan Pengharaman Berburuk Sangka
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ
“Wahai orang-orang yang membenarkan Allah Swt. dan Rasul-Nya, jauhilah berbagai prasangka…”
Ini mencakup sebagian prasangka, sehingga ia berprasangka terhadap orang-orang baik dengan keburukan, ini termasuk prasangka jelek ini terkait dengan orang yang zahir-nya adalah saleh, baik, dan amanah.
Adapun pelaku jelek, jahat, dan fasik yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, seperti mabuk-mabukan secara terang-terangan atau biasa bergaul dengan perempuan-perempuan “nakal”, boleh berprasangka buruk terhadapnya untuk menjauhinya dan waspada terhadap perilakunya tanpa membicarakan dirinya.
Namun, jika mengungkapkan prasangka buruknya, itu termasuk dosa.
Allah SWT kemudian menjelaskan alasan larangan berprasangka buruk atau jahat kepada orang baik atau orang Mukmin adalah dosa, Allah pun melarangnya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan kemu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk karena itu kamu menjadi kaum yang binasa.” (At-Fath: 12)
Banyak hadits yang menerangkan diharamkannya berburuk sangka terhadap orang mukmin.
Di antaranya, ada hadits yang diriwayatkan Malik, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda, إيَّاكُمْ والظَّنَّ؛ فإنَّ الظَّنَّ أكْذَبُ الحَديثِ، ولا تَجَسَّسُوا، ولا تَحَسَّسُوا، ولا تَباغَضُوا، وكُونُوا إخْوانًا، ولا يَخْطُبُ الرَّجُلُ علَى خِطْبَةِ أخِيهِ حتَّى يَنْكِحَ أوْ يَتْرُكَ.”
“Jauhilah oleh kalian prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dustanya perkataan. Janganlah kalian mencari-cari kejelekan orang lain, janganlah saling bersaing janganlan saling hasud, janganlah saling membenci, dan janganlah saling membelakangi (bermusuhan). Jadilah kalian hamba-hamba Allah Swt. sebagai saudara.” (HR Malik, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Diharamkannya at-tajassus (Mencari-cari Kejelekan dan Kekurangan Orang Lain)
وَّلَا تَجَسَّسُوْا
Janganlah kalian mencari-cari aib dan kekurangan orang-orang Islam, mengekspos sesuatu yang mereka tutup-tutupi, dan mengorek berbagai rahasia mereka.
At-tajassus adalah mencari-cari sesuatu yang disembunyikan berupa aib dan kekurangan mereka.
Sedangkan Alwt-tajassus adalah mencari-cari informasi dan mencuri pembicaraan suatu kaum sedang mereka tidak ingin kamu mendengarnya, atau mencuri pembicaran lewat pintu-pintu mereka.
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Barzah al-Aslami, ia berkata, “Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, seraya bersabda,
يا معشرَ من أسلمَ بلسانهِ ولم يُفضِ الإيمانُ إلى قلبهِ ، لا تُؤذُوا المسلمينَ ولا تُعيّروهُم ولا تَتّبعوا عوراتهِم ، فإنه من يتبِعْ عورةَ أخيهِ المسلمِ تتبعَ اللهُ عورتَهُ ، ومن يتبعِ اللهُ عورتهُ يفضحْه ولو في جوفِ رحلهِ
“Wahai orang-orang yang baru beriman sebatas di bibir sementara iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mencari-cari aib kaum Muslimin, karena barangsiapa mencari-cari aib kaum Muslimin, Allah Swt. akan membalasnya dengan mengelcspos aibnya sekalipun ia berada di dalam rumahnya.” (HR Abu Dawud)
Diharamkannya Perbuatan Ghibah; Membicarakan Seseorang dengan Sesuatu yang Tidak Disukainya,
وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ
Janganlah sebagian dari kalian membicarakan sebagian yang lain ketika ia tidak ada dengan pembicaraan yang tidak ia sukai, baik itu secara eksplisit menggunakan isyarat, atau yang lainnya.
Sebab, hal itu menyakiti perasaan orang digunjingkan.
Penggunjingan tersebut mencakup setiap hal yang tidak disukainya, baik menyangkut keberagamaannya atau keduniawiannya, moralnya atau fisiknya, hartanya, anaknya, istrinya, pembantunya, pakaiannya, dan lain sebagainya.
Rasulullah saw. menjelaskan pengertian ghibah dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu farir dari Abu Hurairah, ia berkata,
يا رسولَ اللهِ، ما الغِيبةُ ؟ قال : ذِكْرُك أخاك بما يَكْرَهُ . قيل : أفرأيْتَ إن كان في أخي ما أقولُ ؟ قال : إن كان فيه ما تقولُ فقد اغْتَبْتَه، وإن لم يكنْ فيه ما تقولُ فقد بهَتَّه
“Ditanyakan kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Kamu membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.’ Ditanyakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana jika yang kukatakan memang fakta yang ada pada dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Jika kau katakan adalah fakta yang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengghibahnya (menggunjingkannya). Dan jika yang kau katakan tidak ada pada dirinya, berarti kamu telah membuat-buat kebohongan atas dirinya.’” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Jarir)
Maksudnya, jika yang dibicarakan memang nyata sesuai fakta yang ada pada diri orang yang dibicarakan, itu adalah ghibah. Namun, jika tidak itu adalah kebohongan
Demikian penjelasan terkait larangan terhadap tindakan sikap saling mencela, mengunjing, dan berprasangka secara tegas tercermin dalam ajaran Al-Qur’an.
Al-Qur’an menekankan pentingnya menghormati dan memperlakukan sesama dengan adil tanpa melakukan kekerasan atau intimidasi.
Ayat-ayat Al-Qur’an mengajarkan untuk berperilaku dengan kelembutan dan kesopanan serta menghindari perilaku yang merugikan atau menyakiti orang lain. Wallahu a’lam.
Penulis: Marhaban
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, UIN Sultanah Nahrasiyah
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News