Penegakan hukum adalah proses diberlakukannya upaya untuk tegaknya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman berperilaku dalam bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjektif, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai subjek yang sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Baca Juga: Contoh Penerapan AI di Bidang E-Wallet pada Layanan DANA
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pertanyaannya, apakah penegakkan hukum di Indonesia sudah berhasil baik dari sudut subjektif yang luas maupun sempit? Kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih lemah, hal tersebut terlihat dari tidak tercapainya tujuan utama dari hukum itu sendiri, yaitu keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Alasan utamanya adalah para aparat penegak hukum yang ada belum menginternalisasikan nilai-nilai dari profesinya sebagai penegak hukum, sehingga masih sangat mudah diintervensi dalam penegakan hukum.
Artificial Intelligence yang tidak memiliki “perasaan” bisa menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Dalam artian tidak dapat disogok dan diintervensi. Dengan “ketegasan” AI ini, saya menilai bahwa AI akan sukses dalam menegakkan hukum di Indonesia.
Wacana tersebut juga berkembang menjadi perdebatan di forum akademik, kenapa tidak hakim di pengadilan digantikan oleh hakim kecerdasan buatan. Hal ini dikemukakan oleh Eugene Volokh yang menyampaikan bahwa:
“AI judges would likely be expected to offer more written opinions supporting their judgments than we get from human judges, who often just issue one-line decisions. For human judges, we generally have to trust their exercises of discretion, whether based on our knowledge of the judge’s character, our hope that judges are honorably following their oath of impartiality, or ultimately sheer necessity: court’s busy workloads don’t let judges write detailed opinions supporting every decision on every motion. But AI judges have no personal bona fides that might make us trust them. Their written justifications are all that can make us accept their decisions. Yet, if the AI technology can produce such written justifications, this also means that AI judges might well be more reliable — and eventually more credible — than human judges.”
Baca Juga: Penerapan AI Bidang E-Commerce pada Aplikasi Shopee
Pernyataan di atas diterjemahkan sebagai berikut:
“Hakim kecerdasan buatan kemungkinan akan diharapkan untuk menawarkan lebih banyak pendapat tertulis yang mendukung penilaian mereka daripada yang kita dapatkan dari hakim manusia, yang seringkali hanya mengeluarkan keputusan satu baris (singkat). Untuk hakim manusia, kita umumnya harus mempercayai pelaksanaan kebijaksanaan mereka, baik berdasarkan pengetahuan kita tentang karakter hakim, harapan kita bahwa hakim dengan hormat mengikuti sumpah ketidakberpihakan mereka, atau pada akhirnya semata-mata kebutuhan: beban kerja pengadilan yang sibuk tidak membiarkan hakim menulis pendapat rinci yang mendukung setiap keputusan pada setiap gerakan. Tetapi hakim AI tidak memiliki bonafide pribadi yang mungkin membuat kita mempercayai mereka. Justifikasi tertulis merekalah yang bisa membuat kita menerima keputusan mereka. Namun, jika kecerdasan buatan dapat menghasilkan pembenaran tertulis seperti itu, ini juga berarti bahwa hakim kecerdasan buatan mungkin lebih andal — dan pada akhirnya lebih kredibel — daripada hakim manusia.”
Pada dasarnya dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa hakim kecerdasan buatan lebih dapat dipercaya (credible) daripada hakim manusia, apabila kecerdasan buatan dapat membuat suatu putusan dan justifikasi tertulis.
Menurutnya, segala logika dalam hukum bisa ditanamkan di dalam kecerdasan buatan dan hal tersebut membuat hakim kecerdasan buatan dapat mempunyai kemampuan untuk memutuskan. Dalam tulisannya, Eugene Volokh berpendapat bahwa:
“My main argument has been that: We should focus on the quality of the proposed AI judge’s product, not on the process that yields that product. And the quality should largely be measured using the metric of persuasiveness.”
Pernyataan di atas diterjemahkan sebagai berikut:
“Bahwa manusia harus fokus pada kualitas hakim kecerdasan buatan yang diusulkan sebagai produk, bukan pada proses yang menghasilkan produk itu. Kualitas sebagian besar harus diukur menggunakan metrik persuasif.”
Baca Juga: Penggunaan Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) dalam Menirukan Suara Manusia
Memasukkan data
Memberi makan otak AI dengan data-data hukum pidana untuk memutuskan hukuman secara efisien dan akurat. Dengan menggunakan algoritma machine learning, AI dapat mempelajari pola dalam data kriminal dan memberikan saran strategis untuk memperkirakan hukuman yang seharusnya diberikan.
Pendeteksi kebohongan
Berdasarkan ilmu psikologis, kebohongan manusia dapat diamati dari beberapa indikator. Salah satunya dengan melihat pupil mata. Ukuran pupil mata akan mengalami perubahan diameter menjadi lebih besar ketika orang tersebut sedang dalam keadaan tertekan, termasuk saat berbohong.
Peningkatan jumlah kedipan mata juga bisa menjadi indikator untuk mengetahui apakah orang itu berbohong. Dari hasil penelitian yang dilakukan alat pendeteksi kebohongan sistem berhasil mendeteksi kebohongan sebesar 84%.
Akurasi tersebut didapat dari pengamatan pada perubahan diameter pupil menggunakan metode circular hough transform dan peningkatan jumlah kedipan mata dengan metode frame difference.
Pada penelitian yang dilakukan, seseorang yang berbohong pupil matanya akan mengalami dilasi sebesar 4% hingga 8% dari diameter pupil awal responden dan mengalami peningkatan jumlah kedipan mata hingga 8 kali dari kedipan awal responden sebelum diberikan pertanyaan. Alat ini bisa dipergunakan untuk mendeteksi terdakwa apabila melakukan kebohongan.
Kecerdasan buatan itu nyata dan berkembang, di dunia ini pengaturannya masih beragam. Kecerdasan buatan mempunyai sejarah yang berulang dengan teori badan hukum. Cara berpikir dalam teori badan hukum selanjutnya menjadi salah satu cara agar dapat digunakan untuk bisa mengukur pengaturan kecerdasan buatan.
Selain itu, kecerdasan buatan memiliki potensi untuk dipersonifikasikan sebagai subjek hukum perdata. Hal didasarkan oleh progresivitas yang terjadi dan histori konsep subjek hukum, perwujudan eksistensinya pun dapat direlisasikan dengan menggunakan teori fiksi dan teori organ.
Baca Juga: Penerapan AI Bidang E-Commerce pada Aplikasi Shopee
Pilihan terbaiknya dengan melihat dari sudut pandang hukum positif Indonesia, yaitu memandang kecerdasan buatan itu sebagai suatu benda. Implikasi hukumnya, yaitu segala sesuatu yang disebabkan oleh kecerdasan buatan menjadi tanggung jawab pemilik kecerdasan buatan.
Di samping itu, terdapat jalan tengah, yakni memandang kecerdasan buatan sebagai subjek hukum parsial dengan menganalogikannya sebagai anak, yang mana dengan menggunakan doktrin in loco parentis.
Berdasarkan teori hukum progresif, secara progresif pengaturan kecerdasan buatan sebagai subjek hukum perdata di Indonesia memiliki potensi dan prospek besar dilihat dari risiko dan perkembangannya.
Penulis: Kanaya Defitra Prasetyo Putri
Mahasiswa Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan Universitas Airlangga
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Daftar Pustaka
Amboro, Yudi Priyo, and Khusuf Komarhana. “PROSPEK KECERDASAN BUATAN SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DI INDONESIA.” Law Review, vol. Volume XX, no. No. 2, 2021, p. 148.
Asshiddiqie, SH, Prof. Dr. Jimly. “Penegakkan Hukum.” –, vol. -, no. -, -, p. 1. –. Sukmadewi, Dinda. “Detektor Kebohongan dengan Analisa Perubahan Diameter Pupil dan Gerakan Mata Berbasis Video Kamera dan Image Processing menggunakan Metode Haar Cascade Classifier.” Artificial Intelligence, vol. -, no. -, 2017, p. 1. –, -.