Pilpres 2024 sudah semakin dekat. Kita akan semakin sering melihat berbagai aksi yang dipertunjukkan oleh para kandidat presiden.
Mulai dari blusukan ke pasar hingga kunjungan ke masjid atau pesantren, semua agar publik memiliki kesan yang baik tentang para kandidat.
Di samping hal tersebut, tentu ada banyak kampanye mengenai visi, misi, dan program kerja yang dilakukan melalui berbagai macam platform. Salah satunya yaitu melalui media sosial.
Di era kemajuan teknologi yang semakin pesat, kehidupan kita sekarang sangat dipengaruhi oleh media sosial. Mereka berfungsi sebagai platform untuk berbagi informasi, terhubung dengan orang lain, dan mengekspresikan pendapat, dan telah berkembang menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan informasi dan membentuk opini publik.
Akibatnya, sangat penting bagi kita semua untuk menggunakan pemikiran kritis dan kebijaksanaan saat menggunakan platform ini.
Beberapa tahun belakangan ini, telah terjadi perubahan besar dalam strategi kampanye pemilu. Para calon serta partai politik sekarang tidak lagi hanya mengandalkan metode konvensional dalam berkampanye, tetapi juga menggunakan kampanye digital melalui media sosial untuk menarik pemilih.
Hal ini ditandai meningkatnya anggaran belanja untuk iklan di media sosial oleh para capres. Dilansir kompas.tv, Prabowo menghabiskan Rp8,67 miliar untuk iklan politik dari Agustus 2020 hingga Oktober 2023, sedangkan Ganjar Pranowo menghabiskan Rp3,6 miliar selama periode yang sama.
Nilai ini diperoleh dari 168 akun yang beriklan dengan nilai belanja iklan yang berbeda. Sementara itu, kampanye politik Anies Baswedan telah menghabiskan Rp930,5 juta di Instagram dan Facebook antara Agustus 2020 dan Oktober 2023, yang merupakan jumlah yang paling rendah di antara dua capres lainnya.
Lantas mengapa para kandidat berani mengeluarkan dana yang begitu besar untuk kampanye digital?
Ini karena kampanye digital mampu menjangkau audiens yang luas dengan lebih efisien dibandingkan kampanye konvensional. Media sosial menawarkan kandidat kesempatan untuk membangun citra mereka melalui konten kreatif. Mereka juga memudahkan kandidat mengumpulkan dukungan dan dana dari pemilih.
Platform media sosial memungkinkan kandidat untuk menjangkau pemilih yang tidak dapat dijangkau melalui metode tradisional.
Selain itu, kampanye digital merupakan senjata yang ampuh untuk menggaet pemilih muda. Hal ini penting terlebih dengan pengguna media sosial di Indonesia kebanyakan merupakan generasi Z (Gen-Z) yang akan menguasai mayoritas suara di pilpres 2024 nanti.
Dengan maraknya kampanye digital yang dilakukan oleh para calon lewat media sosial, Hal ini tentu mempunyai dampak positif dan negatif tersendiri.
Kampanye digital memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui argumen atau perdebatan yang muncul akibat kampanye politik di media sosial. Namun, disisi lain juga membuat hoaks dapat menyebar dengan cepat dan mempengaruhi persepsi masyarakat.
Informasi palsu atau bias dapat menimbulkan kebingungan, melemahkan kredibilitas politik kandidat, dan menimbulkan perselisihan di antara para pemilih.
Isu hoaks dan disinformasi tidak hanya menyasar para bacapres dan bawapres tetapi juga penyelenggaraan pemilu dan KPU yang dapat menyebabkan ketidakpercayaan dalam masyarakat.
Dikutip dari kompas.id, tiga bulan menjelang pemilu 2024 saja terdapat 425 hoaks terkait pemilu yang telah dihapus oleh Kementerian Kominfo.
Kementerian Komunikasi dan Informatika, bersama dengan kepolisian, telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyebaran informasi palsu dan penipuan di jejaring sosial sebagai bagian dari upaya mereka untuk memerangi isu berita palsu dan konten yang memecah belah. Hal ini dilakukan demi menjaga keharmonisan dan keutuhan masyarakat Indonesia.
Untuk menghadapi penyerbaran hoaks, peningkatan literasi digital dan politik menjadi kuncinya. Di dunia media sosial, warga negara harus diberdayakan untuk membedakan informasi akurat dan palsu.
Pendidikan literasi digital perlu ditingkatkan untuk membantu masyarakat memverifikasi informasi, mengidentifikasi berita palsu, dan menjadi konsumen penting informasi di media sosial.
Menjelang pemilihan presiden 2024 di Indonesia, sangat penting bagi kita untuk menyikapi media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab. Dengan menjadi konsumen informasi yang cerdas dan mempromosikan komunikasi yang beretika, kita dapat berkontribusi pada masyarakat yang sehat dan terinformasi.
Mari kita ingat nilai-nilai persatuan, demokrasi, dan standar etika yang tinggi yang mendefinisikan Indonesia saat kita terlibat dalam diskusi politik di media sosial. Dengan cara ini, kita dapat menciptakan suasana yang mendukung pemilu dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi.
Penulis: Muhammad Neil Asyrof
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Brawijaya
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News