Abad pertengahan, yang sering disebut sebagai periode “kegelapan” dalam sejarah Eropa, sebenarnya merupakan era yang kaya akan pemikiran dan gagasan kenegaraan. Meskipun sering dianggap sebagai masa stagnasi intelektual, Abad Pertengahan justru menjadi fondasi bagi perkembangan teori politik modern.
Dalam rentang waktu antara abad ke-5 hingga abad ke-15, para pemikir dan filsuf mencoba merumuskan konsep-konsep tentang kekuasaan, otoritas, dan hubungan antara negara dengan gereja. Tulisan ini akan membahas beberapa teori dan gagasan kenegaraan yang muncul pada Abad Pertengahan, serta relevansinya dalam konteks kekinian.
Abad Pertengahan dimulai setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 dan berlangsung hingga Renaisans pada abad ke-15. Periode ini ditandai oleh dominasi Gereja Kristen, feodalisme, dan fragmentasi politik. Pada abad ini, gereja Katolik Roma memegang peranan sentral dalam kehidupan masyarakat Eropa.
Pemikiran teokratis menjadi landasan bagi banyak teori politik, di mana kekuasaan raja dianggap sebagai mandat dari Tuhan. Para raja merasa bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi, yang bertanggung jawab hanya kepada-Nya.
Hal ini tercermin dalam doktrin teokrasi yang menganggap bahwa hak untuk memerintah berasal dari Tuhan, sehingga kekuasaan raja tidak dapat dipertanyakan oleh rakyat.
Baca Juga: Ibnu Rusyd: Menggali Kearifan Filosofis Abad Keemasan Islam
Teori Kenegaraan dalam Perspektif Gereja
Salah satu ciri khas pemikiran politik Abad Pertengahan adalah dominasi gereja dalam wacana kenegaraan. Gereja Katolik, sebagai institusi yang memiliki pengaruh besar, memainkan peran sentral dalam membentuk teori-teori politik.
Salah satu pemikir terkemuka yang menggabungkan filsafat klasik dengan teologi kristen adalah Santo Agustinus (354-430 M). Dalam karyanya, De Civitate Dei (Kota Tuhan), Agustinus membedakan antara “Kota Tuhan” (civitas Dei) dan “Kota Dunia” (civitas terrena). Menurutnya, negara adalah bagian dari dunia yang dikuasai oleh nafsu keinginan manusia yang bersifat sementara dan penuh dosa.
Sementara itu, Kota Tuhan merupakan orang-orang yang hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, yang mewakili kerajaan spiritual abadi. Gagasan Agustinus ini menekankan bahwa otoritas politik harus tunduk pada otoritas spiritual, karena gereja dianggap sebagai perwakilan Tuhan di bumi.
Pemikiran Agustinus kemudian dikembangkan oleh Santo Thomas Aquinas (1225-1274 M), salah satu filsuf terbesar Abad Pertengahan. Menurut Aquinas, hukum yang baik adalah hukum yang sejalan dengan hukum ilahi. Ia berpendapat bahwa penguasa harus mematuhi prinsip-prinsip moral yang ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam pandangannya, negara memiliki tujuan untuk mencapai kebahagiaan manusia melalui tatanan sosial yang adil. Aquinas mencoba mendamaikan filsafat Aristoteles dengan doktrin Kristen. Dalam karyanya, Summa Theologica, ia mengemukakan bahwa negara adalah institusi alamiah yang diperlukan untuk mempromosikan kebaikan bersama.
Namun, Aquinas juga menegaskan bahwa hukum manusia harus selaras dengan hukum ilahi. Dengan demikian, gereja memiliki otoritas moral atas negara.
Meskipun gereja mendominasi wacana politik, beberapa pemikir Abad Pertengahan mulai mengembangkan gagasan kenegaraan yang lebih sekuler.
Baca Juga: Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan bagi Generasi Muda Bangsa
Salah satunya adalah Marsilius dari Padua (1275-1342 M). Dalam karyanya, Defensor Pacis (Pembela Perdamaian), Marsilius menantang otoritas gereja dan mengusulkan bahwa kekuasaan politik seharusnya berasal dari rakyat. Ia berargumen bahwa negara adalah entitas independen yang tidak harus tunduk pada gereja.
Gagasan Marsilius ini menjadi awal dari pemikiran tentang kedaulatan rakyat, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut pada masa Renaisans dan Pencerahan.
Selain Marsilius, William dari Ockham (1287-1347 M) juga memberikan kontribusi penting dalam pemikiran politik Abad Pertengahan. Ockham dikenal dengan prinsip “Ockham’s Razor”, yang menekankan kesederhanaan dalam menjelaskan fenomena.
Dalam konteks politik, ia menolak klaim gereja atas kekuasaan temporal dan mendukung pemisahan antara otoritas spiritual dan otoritas politik. Gagasan ini menjadi fondasi bagi perkembangan teori negara sekuler di kemudian hari.
Feodalisme dan Konsep Kekuasaan
Selain pemikiran filosofis, struktur sosial-politik Abad Pertengahan juga mempengaruhi gagasan kenegaraan. Sistem feodalisme, yang mendominasi Eropa pada masa itu, menciptakan hierarki kekuasaan yang kompleks.
Raja sebagai pemimpin tertinggi membagi tanah kepada bangsawan (vassal), yang kemudian memberikan perlindungan dan layanan militer sebagai imbalan. Hubungan ini didasarkan pada kesetiaan dan kewajiban timbal balik.
Dalam konteks feodalisme, konsep kekuasaan tidak terpusat seperti dalam negara modern. Kekuasaan terfragmentasi di antara berbagai lapisan masyarakat, mulai dari raja, bangsawan, hingga gereja. Hal ini menciptakan dinamika politik yang unik, di mana otoritas tidak mutlak dan selalu diperebutkan.
Meskipun feodalisme sering dikritik sebagai sistem yang tidak efisien, sistem ini memberikan kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang diperintah.
Pemikiran kenegaraan pada abad pertengahan menjadi landasan bagi perkembangan teori politik selanjutnya. Transisi dari dominasi agama menuju konsep negara-bangsa yang lebih sekuler dan demokratis mulai terlihat menjelang akhir periode ini. Tokoh seperti Machiavelli mulai memperkenalkan pemisahan antara moralitas dan politik, dengan fokus pada pragmatisme dalam pemerintahan.
Machiavelli berargumen bahwa tujuan utama negara adalah menjaga ketertiban dan keamanan, bahkan jika itu berarti menggunakan cara-cara yang tidak etis. Pemikirannya menandai pergeseran signifikan dari pandangan teologis sebelumnya menuju pendekatan yang lebih realistis terhadap politik.
Baca Juga: Teori Keterlibatan Publik dalam Pengambilan Keputusan di Skandinavia
Relevansi Gagasan Kenegaraan Abad Pertengahan di Era Modern
Meskipun Abad Pertengahan telah lama berlalu, gagasan-gagasan kenegaraan yang muncul pada masa itu masih relevan hingga saat ini. Pertama, pemikiran tentang hubungan antara agama dan negara terus menjadi isu penting dalam politik kontemporer. Di banyak negara, terutama yang memiliki populasi religius yang besar, pertanyaan tentang sejauh mana agama harus mempengaruhi kebijakan negara masih sering diperdebatkan.
Kedua, konsep kedaulatan rakyat yang dirintis oleh Marsilius dari Padua menjadi dasar bagi demokrasi modern. Gagasan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat, bukan otoritas dari ilahi atau turun-temurun, adalah prinsip fundamental dalam sistem politik demokratis.
Terakhir, pemikiran tentang kewajiban timbal balik antara penguasa dan yang diperintah, yang muncul dalam sistem feodal, dapat dilihat sebagai cikal bakal konsep akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan modern. Meskipun feodalisme telah hilang, prinsip bahwa pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyatnya tetap menjadi nilai penting dalam tata kelola pemerintahan.
Abad Pertengahan sering dianggap sebagai masa kegelapan, tetapi periode ini justru menghasilkan banyak pemikiran dan gagasan kenegaraan yang mendasar.
Abad Pertengahan telah meletakkan fondasi bagi perkembangan politik modern. Meskipun konteks sosial-politik telah berubah, banyak prinsip yang dirumuskan pada masa itu masih relevan dan memberikan wawasan berharga bagi kita dalam memahami hubungan antara agama, negara, dan masyarakat. Dengan mempelajari pemikiran politik Abad Pertengahan, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan dinamika sejarah yang membentuk dunia kita saat ini.
Penulis: Keshia Azmi Shabrina
Mahasiswa Jurusan Hukum, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Aktif di Organisasi PMII Rayon Pembebasan Hasan Hanafi
Editor: I. Khairunnisa
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News