Yogyakarta bukan sekadar kota bersejarah, melainkan juga pusat peradaban budaya Jawa yang masih hidup hingga kini.
Setiap bangunan, jalan, dan bidang tanah menyimpan cerita panjang serta nilai filosofis.
Di antara aset strategis Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), keberadaan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten menempati posisi istimewa—bukan hanya sebagai lahan agraria, tetapi juga sebagai simbol keistimewaan dan warisan budaya.
Berdasarkan data ATR/BPN DIY (2022), tercatat sekitar 4.560 bidang tanah keistimewaan telah terverifikasi, tersebar di wilayah perkotaan dan perdesaan.
Lebih dari 35% di antaranya berada di wilayah dengan tekanan pembangunan tinggi, seperti Gondokusuman, Mergangsan, dan Sewon.
Tekanan ini memunculkan berbagai tantangan, seperti konflik kepentingan antara pelestarian budaya, kebutuhan masyarakat, dan pengembangan ekonomi.
Tantangan tersebut mencakup alih fungsi lahan untuk kegiatan komersial, terbatasnya akses masyarakat lokal terhadap lahan budaya, serta lemahnya perlindungan hukum terhadap kegiatan budaya di ruang terbuka.
Apabila tidak dikelola secara adil dan inklusif, tanah budaya berisiko menjadi eksklusif—dimanfaatkan oleh elite atau investor, bukan oleh komunitas yang selama ini merawatnya.
Oleh sebab itu, tata kelola partisipatif menjadi sangat penting, agar masyarakat lokal memiliki ruang dan peran dalam menentukan arah pemanfaatan lahan ini.
Dinas Kebudayaan DIY memegang peran strategis, tidak hanya sebagai pelaksana program, tetapi juga sebagai penjaga identitas budaya Yogyakarta.
Sayangnya, dalam praktiknya, pelibatan komunitas budaya lokal dalam proses pembangunan masih sangat terbatas.
Banyak intervensi pembangunan yang bersifat top-down dan kurang sensitif terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat.
Salah satu ilustrasi nyata adalah Alun-Alun Kidul, kawasan yang memiliki makna sakral dalam tata ruang Keraton.
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini sempat didominasi oleh aktivitas komersial yang tidak terkontrol, seperti parkir liar, wahana hiburan malam, dan warung semi permanen.
Pergeseran fungsi ini mencerminkan bagaimana ruang budaya dapat dengan mudah berubah menjadi ruang ekonomi pragmatis ketika tidak ada pengawasan yang memadai.
Namun, upaya kolaboratif antara Dinas Kebudayaan, pihak Keraton, dan masyarakat lokal berhasil mengembalikan sebagian fungsi budayanya.
Kini, Alun-Alun Kidul berfungsi kembali sebagai ruang ekspresi budaya dan kegiatan ekonomi kreatif masyarakat.
Tantangan yang lebih kompleks terlihat dalam revitalisasi kawasan Benteng Keraton, bagian dari Sumbu Filosofis yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Dunia pada 2023.
Untuk memenuhi standar pelestarian internasional, dilakukan penataan ulang kawasan, termasuk pembongkaran bangunan liar dan relokasi warga di Jeron Beteng.
Pemerintah DIY menerapkan pendekatan humanis dengan memberikan kompensasi relokasi sebesar Rp80–250 juta per rumah sebagai bentuk penghargaan terhadap keterikatan emosional warga terhadap tempat tinggal mereka.
Ini menjadi contoh bagaimana pelestarian budaya dapat berjalan beriringan dengan perlindungan sosial.
Dalam dinamika ini, terdapat tiga kepentingan yang sering berseberangan: promosi pariwisata dan investasi, pelestarian kebudayaan, serta keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal.
Ketiganya tidak harus saling meniadakan, melainkan dapat dikolaborasikan dengan perencanaan yang inklusif dan sensitif terhadap kondisi sosial-budaya.
Kepentingan masyarakat lokal tidak sebatas pada hak atas tempat tinggal atau akses ekonomi, tetapi juga mencakup hak untuk menafsirkan, mengelola, dan mewariskan budaya mereka sendiri.
Banyak komunitas yang tinggal di sekitar Malioboro, Kotabaru, dan Jeron Beteng memiliki sejarah panjang dan ikatan emosional dengan ruang tersebut.
Jika proses pembangunan dilakukan tanpa pelibatan mereka, maka akan terjadi dislokasi budaya dan hilangnya rasa memiliki terhadap ruang publik.
Contoh yang sering menjadi sorotan adalah keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan strategis budaya.
Di satu sisi, mereka merupakan penggerak ekonomi rakyat. Namun, di sisi lain, tekanan dari sektor pariwisata terhadap estetika ruang menimbulkan gesekan.
Perlu dicermati pula bahwa tidak semua PKL merupakan penduduk lokal; sebagian adalah pendatang yang mencari peluang ekonomi.
Hal ini menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi pelaku yang benar-benar mewakili masyarakat lokal.
Oleh karena itu, pendekatan berbasis data sosial dan pemetaan komunitas menjadi penting untuk merumuskan kebijakan yang adil dan tepat sasaran.
Dinas Kebudayaan sebaiknya mengadopsi pendekatan “advocacy planning”, yakni memastikan bahwa setiap pemanfaatan tanah keistimewaan mencerminkan nilai budaya yang substansial.
Forum musyawarah budaya di tingkat kelurahan dapat menjadi ruang deliberatif untuk menentukan kegiatan atau bentuk pemanfaatan lahan yang sesuai dengan karakter sosial dan budaya lokal.
Partisipasi aktif masyarakat tidak hanya memperkuat legitimasi kebijakan, tetapi juga menjamin keberlanjutan fungsi budaya lahan tersebut.
Untuk menunjang pendekatan tersebut, dukungan teknologi informasi dan data spasial menjadi penting.
Banyak bidang tanah Kasultanan hingga kini belum terdokumentasikan secara digital.
Belum tersedia peta tematik yang memuat data sejarah, status hukum, maupun potensi budaya tiap bidang tanah.
Ketimpangan informasi ini menimbulkan tumpang tindih kebijakan, salah sasaran program, serta konflik antar-pemangku kepentingan.
Karena itu, kolaborasi antara Dinas Kebudayaan dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) menjadi sangat penting.
Digitalisasi tanah budaya tidak hanya untuk keperluan administrasi, tetapi juga sebagai sarana advokasi, transparansi, dan partisipasi publik.
Platform digital dapat menjadi media penyampaian rencana pembangunan, menjaring masukan warga, serta mendorong kolaborasi antaraktor budaya.
Pemanfaatan Tanah Kasultanan di Yogyakarta mencerminkan pertemuan antara warisan budaya dan kebutuhan pembangunan modern.
Tanah tidak hanya memiliki nilai historis dan legal, tetapi juga menyimpan kehidupan sosial dan identitas budaya masyarakat.
Tantangan seperti alih fungsi lahan, tekanan wisata dan komersial, serta minimnya pelibatan masyarakat harus direspons dengan strategi yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis data.
Contoh seperti revitalisasi Alun-Alun Kidul dan Benteng Keraton menunjukkan bahwa pelestarian budaya dapat berjalan selaras dengan pembangunan jika dirancang dengan prinsip partisipatif.
Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan perlu bertransformasi dari pelaksana administratif menjadi fasilitator dan advokat budaya yang mengedepankan kolaborasi lintas sektor.
Untuk menjembatani berbagai kepentingan tersebut serta memastikan keberlanjutan pengelolaan tanah keistimewaan secara adil dan partisipatif, diperlukan sejumlah kebijakan operasional yang dapat memperkuat kapasitas kelembagaan dan memperluas partisipasi masyarakat:
- Perkuat landasan hukum dan sinergi antar-OPD dengan mengacu pada UU No. 13 Tahun 2012 dan Perdais No. 1 Tahun 2017.
- Bangun sistem informasi spasial budaya yang berbasis data, terbuka, dan partisipatif.
- Lembagakan forum musyawarah budaya di tingkat kelurahan sebagai ruang deliberatif komunitas.
- Prioritaskan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal dalam pemanfaatan lahan keistimewaan.
- Laksanakan digitalisasi data budaya secara terpadu bersama Diskominfo.
- Lakukan pemetaan ulang terhadap pelaku ekonomi informal, termasuk PKL, dengan mempertimbangkan asal-usul dan kontribusi budayanya.
Dengan kebijakan yang adil secara spasial dan berpihak pada keberlanjutan kultural, Tanah Kasultanan dapat menjadi contoh keberhasilan pembangunan berbasis budaya.
Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya terletak pada status hukumnya, tetapi juga pada cara kota ini menjaga, mengelola, dan menghidupkan kembali warisan budayanya bersama masyarakat.
Penulis:
1. Firmala Syaharani
2. Damay Ajeng Banowaty
3. Nadhira Arda Juditya
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News