Mengenal Buzzer dalam Propaganda Politik
Musim politik akan segera selesai, akan tetapi ada satu fenomena politik yang sepertinya tidak akan ikut selesai yang sempat ramai dibicarakan oleh khalayak dengan sebutan Buzzer.
Seorang netizen yang dibayar ataupun sukarela untuk menggiring opini demi kepentingan pihak tertentu. Selain kelakuan mereka yang kurang etis dalam menggunakan sosial media, terkadang opini yang mereka berikan merupakan hoax hingga ujaran kebencian juga mereka lontarkan demi kepentingan pihak tersebut.
Inilah sebuah industri buzzer, yang mulai digunakan dalam dunia politik bisa saja merupakan salah satu strategi yang cukup efektif bila digunakan dengan tepat.
Akan tetapi, dapat menjadi ancaman apabila sampai digunakan oleh negara yang bersifat otoritarianisme (yang merupakan sebuah bentuk pemerintahan dengan ciri penekanan kekuasaan berfokus pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu).
Secara tertulis, istilah buzzer adalah sebutan bagi orang-orang yang membicarakan suatu topik dengan tujuan supaya ramai dibicarakan hingga menjadi topik yang viral di kalangan masyarakat.
Dengan kata lain, buzzer merupakan sekumpulan orang dengan tugas untuk memanipulasi opini publik agar sebuah trend atau kampanye yang dilakukan oleh para kandidat menjadi trending hingga viral. Kemudian, menurut beberapa jurnal menunjukkan bahwa awal dari kemunculan Buzzer pertama kali muncul dalam dunia bisnis.
Buzzer biasa digunakan sebagai strategi pemasaran untuk mempromosikan produk agar meningkatkan omset penjualan pada tahun 2009. Meskipun secara hukum sebenarnya strategi ini tidaklah salah dan termasuk dalam media promosi saja. Akan tetapi industri ini mulai disalahgunakan oleh beberapa pihak tertentu dan berakhir menarik perhatian orang-orang yang bergerak di dunia politik
Buzzer termasuk dalam salah satu elemen komunikasi politik yang berperan penting dalam menyebarkan pesan politik dan mempengaruhi opini publik di media sosial.
Setiap individu atau kelompok yang terampil dalam menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan pesan politik, mempromosikan kandidat, ataupun mempengaruhi opini publik tentang isu-isu politik tertentu.
Peran mereka dalam komunikasi politik memfokuskan tujuan mereka untuk memperkuat narasi ataupun framing yang diinginkan oleh partai politik yang didukungnya.
Namun, perlu diingat bahwa mereka menggunakan berbagai strategi, termasuk tindak tutur yang biasa disebut juga dengan the act of effecting someone (perbuatan mempengaruhi seseorang) untuk mencapai efek tertentu pada pendengar hingga para pembaca sekalipun.
Mulai dari menggunakan teknik komunikasi yang bersifat persuasi, menyebarkan informasi secara selektifs atau menggunakan trend dan isu terkini untuk mempengaruhi opini publik.
Akan tetapi praktik buzzer dalam politik juga dapat menimbulkan kontroversi yang berdampak karena hal tersebut bisa terjadi karena strategi yang mereka gunakan tidaklah etis seperti menyebarkan berita palsu atau serangan pribadi terhadap lawan politik.
Strategi Komunikasi yang digunakan Buzzer
Dalam hal strategi komunikasi, Buzzer sering memanipulasi media demi menghasilkan disinformasi, membingungkan pembaca, hingga melaporkan akun secara massal yang ditujukan untuk mempengaruhi opini publik dan penyerangan serta penggulingan terhadap lawan politik.
Buzzer menggunakan strategi yang cukup berbeda dari biasanya, yaitu dengan menggunakan akun bot secara ekstensif dengan otomatisasi mesin dan algoritma media sosial untuk menghasilkan tweet berfrekuensi tinggi dan menjangkau topik yang sedang trending.
Menggunakan media sosial sebagai media utama selama kampanye di era digital ini, buzzer politik telah membantu pemasar sukses besar dalam mempromosikan kandidat mereka. Media sosial semakin banyakdigunakan sebagai platform untuk iklan politik karena potensinya untuk mempengaruhi pendapat hingga persepsi pemeilih cukup signifikan.
Strategi komunikasi yang digunakan oleh buzzer dalam konteks komunikasi politik di media sosial tentu bervariasi, tentu bervariasi, dan beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
- Membangun Citra Positif
- Menyebarluaskan Pesan Politik
- Memanipulasi Informasi
- Membangun Jaringan dan Kolaborasi
- Menggunakan Psikologi Massa
Dapat kita lihat sebagai contoh dari bentuk manipulasi dan hoaks dalam pemilu 2024, yang dimana Banyak calon legislatif dan presiden yang memanfaatkan buzzer untuk membangun citra positif atau menyerang lawan politik mereka.
Buzzer bisa menciptakan narasi tertentu yang mempengaruhi opini publik dengan sangat cepat. Misalnya, mereka bisa menciptakan kampanye viral yang mendukung kebijakan calon tertentu atau menurunkan kredibilitas lawan dengan menggunakan hoaks atau informasi yang dimanipulasi.
Strategi komunikasi yang digunakan buzzer dalam politik sering kali memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan pesan dengan cepat. Mulai dari teknik framing ataupun tindak tutur utnuk membentuk opini publik, menyebarkan narasi yang mendukung agenda-agenda tertentu, hingga memanfaatkan algoritma platform untuk meningkatkan visibilitas konten mereka.
Disisi lain, buzzer seringkali menggunakan taktik emosional untuk mempengaruhi persepi dan memobilitas dukungan, baik elalui pesan positif hingga pesan negatif yang menimbulkan kekuatan dan kebencian.
Ancaman pada Demokrasi
Buzzer dalam politik dapat menjadi ancaman seriu bagi proses demokrasi. Mereka sering kali digunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau bahkan hoaks, yang dapat memanipulasi persepi publik dan mempengaruhi hasil pemilihan disaat pemilu kedepannya.
Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Komunikasi Universitas Indonesia menyebut buzzer berbahaya apabila digunakan oleh negara otorritarian. “Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar,” tulis Whisnu yang terbit di The Conversation.
Dengan adanya buzzer Whisnu melihat teknologi digital yang seyogianya digunakan untuk emansipasi praktik berdemokrasi justru mendegradasi. Ia bisa menciptakan polarisasi dan perpecahan publik dengan. “Hal ini membuat publik kehilangan kerangka acuan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, terutama terkait pemilihan pemimpin dan pengawasan kebijakan publik,” paparnya.
Dapat kita lihat sebagai contoh dari bentuk manipulasi dan hoaks dalam pemilu 2024, yang di mana buzzer bisa berperan dalam menyebarkan informasi palsu atau memanipulasi perasaan publik dengan memproduksi konten yang tidak berbasis fakta.
Misalnya, mereka bisa menyebarkan berita palsu tentang kandidat tertentu yang tujuannya adalah mendiskreditkan lawan politik. Ini dapat menciptakan kebingungannya pemilih, apalagi jika informasi tersebut menjadi viral di kalangan pengguna media sosial.
Aktivitas yang dilakukan buzzer terkadang juga dapat menciptakan polarisasi dan konflik di masyarakat dengan menyebarkan narasi untuk memperkuat perpecahan antar kelompok. Selain itu, buzzer juga berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap suatu institusi demokrasi dan media, karena sering kali mereka beroperasi tanpa tanggung jawab etika dan kebangsaan sekalipun.
Pada kasus ini, terkait polarisasi dan konflik sosial dari cara buzzer bisa memperburuk polarisasi yang sudah ada di masyarakat. Dalam kontestasi politik yang semakin kompetitif, buzzer dapat memperburuk ketegangan antar pendukung calon yang berbeda.
Misalnya, buzzer bisa membuat provokasi dengan menebar ujaran kebencian atau menyerang kelompok-kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, atau etnis, yang dapat memperburuk hubungan sosial antar masyarakat.
Penulis: Sanita Nissalia
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Mataram
Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News