Cancel Culture: Sanksi Sosial yang Rawan Toksisitas

Cancel Culture Sanksi Sosial

Seiring berkembangnya teknologi, salah satunya adalah media sosial, semakin mudah bagi para figur publik untuk terpengaruh oleh rekan-rekan sebayanya. Tidak hanya itu, para pengguna media sosial yang tidak memiliki pengikut yang banyak juga mengalami hal yang sama. Begitu seseorang melakukan kesalahan, para pengguna media sosial yang lain dengan cepat langsung menyalahkan dan mempermalukannya di depan publik. Akhir-akhir ini aksi tersebut sering disebut dengan kata “cancel”. Walaupun memiliki maksud untuk meminta pertanggungjawaban orang yang berbuat kesalahan, cancel culture dalam media sosial cenderung berakhir dalam toksisitas.

Pengertian dan Awal Munculnya Cancel Culture

Sebelum membahas tentang cancel culture dengan lebih dalam, pertama-tama perlu diketahui dulu apa arti dari istilah “cancel” tersebut. Menurut kamus Cambridge, meng-cancel berarti berhenti mendukung seseorang dengan sepenuhnya karena ia telah melakukan hal yang menyinggung orang lain. Sementara itu, Merriam-Webster mendefinisikan cancel culture sebagai penarikan dukungan secara massal dari seorang figur publik atau selebriti yang telah melakukan hal-hal yang tidak diterima secara sosial pada zaman ini. Biasanya, meng-cancel seseorang ini dilakukan di platform media sosial, seperti Twitter, Instagram, atau Facebook.

Pemakaian istilah “cancel” ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Menurut Aja Romano dalam artikelnya untuk Vox, konsep dari meng-cancel orang ini sebenarnya berasal dari sebuah lelucon misoginis pada film tahun 1991, yaitu New Jack City. Di salah satu adegan dalam film tersebut, karakter bernama Nino Brown mengatakan “Cancel that b*tch, I’ll buy another one,” ketika ia putus dengan pacarnya. Penggunaan kata “cancel” ini mulai diketahui lebih banyak orang ketika Lil Wayne mereferensikan lelucon tersebut pada lagunya yang berjudul “I’m Single” pada tahun 2010.

Bacaan Lainnya
DONASI

Baca Juga: Karangan Semi Ilmiah “Urgensi Kebudayaan”

Tetapi, istilah “cancel” ini sepertinya menjadi sangat terkenal karena salah satu episode dari reality show VH1 yaitu Love and Hip-Hop: New York yang ditayangkan pada Desember 2014. Dalam episode tersebut, salah satu pemeran Love and Hip-Hop yang bernama Cisco Rosado mengatakan “You’re canceled,” kepada Diamond Strawberry. Munculnya episode tersebut membuat banyak orang di media sosial yang mulai menggunakan istilah cancel sebagai bagian dari kosakata sehari-harinya, umumnya pada Black Twitter (komunitas orang berkulit hitam yang menggunakan aplikasi Twitter) di tahun 2015. Istilah ini mereka gunakan sebagai reaksi terhadap seseorang yang melakukan sesuatu yang tidak disetujui, baik secara bercanda maupun serius.

Sebagai seorang figur publik, kemungkinan bagi mereka untuk menjadi target dari cancel culture ini tentu tinggi. Dengan memiliki platform yang besar, kesalahan yang dibuat oleh para figur publik ini akan lebih mudah terlihat oleh banyak orang. Tidak hanya itu, teknologi informasi yang terus berkembang seiring berjalannya waktu membuat kita menjadi lebih mudah untuk mengakses informasi tentang berita-berita terkini dari para figur publik tersebut. Salah satu contoh dari sisi publik figur adalah J.K. Rowling, pengarang dari serial fantasi Harry Potter. J.K. Rowling mendapat penilaian buruk dari para pengguna media sosial, termasuk penggemarnya sendiri, sejak ia menyatakan keyakinannya yang mengandung unsur transfobia di media sosial. Kejadian ini membuatnya menjadi salah satu individu dari banyak figur publik lainnya yang menonjol dalam pusat debat tentang cancel culture.

Sementara itu, cancel culture ini tidak hanya terbatas pada figur publik saja. Semua pengguna media sosial, baik yang memiliki banyak pengikut maupun sedikit pengikut, dapat mendapat imbasnya. Dalam artikel “Tales from the Teenage Cancel Culture,” Sanam Yar dan Jonah Engel Bromwich berbagi cerita tentang cancel culture dari enam orang yang masih menduduki bangku SMA dan yang telah meneruskan ke perguruan tinggi. Salah satu contoh dari artikel tersebut adalah kasus L, di mana ia baru mulai menyadari bahwa ia telah di-cancel ketika ia berumur 15 tahun. Setelah menanyakan mantan temannya melalui Instagram, L langsung mendapat banyak pesan dari temannya tentang alasan mengapa orang-orang di sekolah seakan sedang mengucilkan dirinya. Ada yang mengatakan bahwa L itu cerewet dan menjengkelkan, bahkan ada yang mengatakan bahwa L adalah seseorang yang haus akan validasi.

Alasan Mengapa Pelaksanaan Cancel Culture Dapat Menimbulkan Toksisitas

Dalam dunia yang ideal, konsep cancel culture ini bisa dibilang masuk akal dan efektif untuk menyingkirkan orang-orang yang berbahaya dan yang menyakiti orang lain. Dengan adanya media sosial, orang-orang yang suaranya jarang terdengar memiliki platform untuk menyuarakan pendapat mereka dalam meminta keadilan. Hal ini membuat mereka jadi mendapat kesempatan untuk memiliki pengaruh dalam situasi di kehidupan nyata walaupun dilakukan dalam setting virtual.

Namun, cancel culture yang ideal ini lebih mudah untuk diucapkan daripada dilakukan. Sejak dahulu, istilah cancel culture ini memang sering membawa kontroversi, tetapi salah satu dampak terbesar dari budaya ini adalah risikonya untuk menimbulkan toksisitas. Tak jarang masalah yang menyebabkan seseorang menjadi ter-cancel ini adalah masalah sepele yang sebenarnya dapat diselesaikan secara pribadi, namun tak jarang juga orang yang berbuat kesalahan yang fatal ini tidak meminta maaf dengan sungguh-sungguh karena mereka tidak mau menimbulkan drama sehingga netizen merasa perlu menyebarkannya kesalahannya di media sosial.

Baca Juga: Pergeseran Kedudukan Adat Istiadat dan Kebudayaan Nasional di Tengah Kemajuan Teknologi Globalisasi

Walaupun begitu, bukan berarti pihak yang sadar akan kesalahannya dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh dapat lolos dari cancel culture begitu saja. Ketika seseorang berbuat kesalahan, terutama kesalahan yang menyinggung soal hal-hal yang sensitif misalnya SARA, maka tentu saja orang tersebut perlu bertanggung jawab atas kesalahan tersebut. Kita juga tidak bisa mengharapkan agar semua netizen dapat memaafkan kesalahannya. Tetapi, terkadang kesalahan-kesalahan kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan secara pribadi pun sering juga diungkit oleh para pengguna media sosial demi membuktikan kepada publik bahwa orang tersebut adalah orang yang problematik. Oleh karena itu, toksisitas dalam cancel culture sebenarnya bukan hanya ditimbulkan dari pihak yang melakukan kesalahan, tetapi juga dari pihak yang meng-cancel orang yang berbuat kesalahan tersebut.

Bertambahnya peningkatan kesadaran terhadap suatu masalah ternyata juga didampingi dengan bertambahnya jumlah orang yang hanya ingin mencari kesalahan dari orang lain demi menunjukkan ketinggian landasan moralnya. Biasanya orang-orang seperti ini cenderung akan terus memantau para figur publik, seakan menunggunya untuk segera berbuat kesalahan sehingga mereka dapat mengeksposnya di media sosial. Menganalisis orang secara berlebihan seperti ini bukan termasuk penerapan cancel culture demi membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Sebaliknya, mereka justru adalah salah satu alasan mengapa banyak sekali orang yang menganggap cancel culture ini sebagai hal yang sangat toksik.

Tidak sedikit juga kasus di mana seorang figur publik yang di-cancel ternyata tetap dapat menjalankan hidupnya tanpa konsekuensi dari perbuatan problematik yang dibuatnya. Salah satu contohnya dapat dilihat kembali di kasus J.K. Rowling yang telah dibahas sebelumnya. Walaupun mendapat banyak reaksi yang negatif di media sosial karena tanggapannya tentang kaum transgender, J.K. Rowling tetap dapat menulis buku-buku baru dan terus mendapat keuntungan dari hasil karyanya. Seringkali, cancel culture ini justru malah menjadi bumerang yang menyebabkan pelaku kesalahan mendapatkan simpati dan dukungan dari para penggemarnya beratnya.

Hal yang Dapat Dilakukan untuk Mengurangi Toksisitas dalam Cancel Culture

Maka dari itu, untuk mengurangi toksisitas yang timbul dalam cancel culture ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita berpikir untuk meng-cancel orang yang melakukan hal problematik. Salah satunya adalah dengan mencari tahu dan membaca fakta dari permasalahan dengan teliti. Terkadang banyak netizen yang hanya ikut meng-cancel seseorang karena mereka senang dengan keributan tanpa mengetahui apa sebenarnya yang sedang dipermasalahkan. Selain itu, apabila memiliki masalah dengan seseorang, maka akan lebih baik apabila kita mencoba untuk menyelesaikannya secara pribadi terlebih dahulu. Di media sosial, tidak jarang terjadi kejadian di mana seseorang di-cancel karena melakukan kesalahan yang bahkan ia sendiri tidak menyadarinya. Apabila orang tersebut tetap tidak mau mendengarkan walaupun telah diberi tahu dengan baik, barulah kita dapat memanfaatkan cancel culture ini sebagai peringatan.

Baca Juga: Hakikat Individual Ilmu Pengetahuan dalam Aspek Etika

Cancel culture adalah hal yang tidak dapat dihapuskan secara menyeluruh. Budaya ini akan selalu ada sampai kapanpun, terutama di media sosial. Di sisi lain, budaya ini juga mengingatkan kita untuk selalu bijaksana dalam beropini. Kita juga perlu mengingatkan diri bahwa sebagai manusia kita adalah makhluk yang tidak sempurna dan dapat berbuat kesalahan dari waktu ke waktu. Maka dari itu, kita harus selalu siap untuk bertanggung jawab atas segala tindakan yang kita perbuat, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Cantiqnya Azzahra Saputra
Mahasiswa Prodi Arsitektur
Universitas Parahyangan

Editor: Diana Pratiwi

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI