Cerpen: Ingat Mati

Cerpen Ingat Mati
Ilustrasi Cerpen Ingat Mati

Main meninggal-meninggalan, yuk!” Ucap bocah lelaki yang memakai peci miring kesamping seperti pedagang sate madura, salah satu celananya digulung ke atas dan di tangan kanannya memegang sebungkus cilok.

Dari arah berlawanan, datang dua anak yang satu berbadan lebih berisi menghampirinya sambil meminta sesuap cilok, sedangkan teman satunya berbadan tinggi dan sangat kurus yang mulai antusias dengan ajakan bocah peci miring tadi.

Yang jadi mayatnya siapa?” Kata si anak paling tinggi dengan suara serak, sekali mengusap lendir menggunakan lengan bajunya.

Baim aja, cocok banget jadi mayat.” Jawab bocah berpeci dengan santai sambil melahap ciloknya.

Bacaan Lainnya

Si gendut mengangguk setuju sembari mengunyah, dengan suara keras ia memanggil teman-temannya yang lain untuk bergabung dengan mereka.

Aku yang tadinya berniat untuk memakai sepatu seketika berhenti dan melihat kearah anak-anak itu. Kaos kaki yang sudah akan kupakai kumasukkan kedalam sepatu lagi, memilih untuk memperhatikan kegiatan mereka yang katanya main meninggal-meninggalan.

Satu anak yang lebih kecil dibanding mereka semua ditelentangkan, kemudian dibungkus menggunakan beberapa sajadah. Itu anak yang mereka sebut Baim.

Senyumku terbit, kugosokkan tangan ke ubin keramik kemudian menyenderkan bahu ke dinding masjid sambil melihat kelakuan anak-anak yang seharusnya mengaji malah bermain.

Ustadzah mereka sedang sibuk dengan anak-anak perempuan yang sepertinya sedang setor hapalan Al-Quran, jadi mungkin itu kesempatan untuk anak laki-laki bermain diteras masjid sesuka mereka.

Anak yang mereka panggil Baim tadi sudah selesai dibungkus dengan sajadah. Si anak berpeci piring membuat formasi solat jenazah dengan dia sebagai imamnya. Cilok yang tadi ia makan ditaruh di jendela, mereka mulai solat dengan serius seolah-olah mereka benar-benar sedang melakukan solat jenazah.

Aku terkikik geli, mana ada solat jenazah tetapi memakai rukuk, iktidal, sampai sujud? Tetapi makmun yang diisi para bocil tetap mengikuti imamnya.

Setelah solat jenazah abal-abal satu rakaat mereka selesai, si anak yang bernama Baim tadi diangkat bersama-sama kemudian dipindahkan ke atas meja panjang yang dibalik, meja itu biasanya digunakan untuk mereka mengaji.

Dari dalam masjid, bisa kulihat ustadzah mereka berjalan kearah luar, kemudian berhenti dan menyenderkan tubuhnya dipintu sambil bersedekap.

Kalau sampai Baim jatuh, Ibu ga tanggung jawab loh ya,” katanya dengan nada garang. Anak laki-laki tadi tetap tidak menghiraukan ucapan Ustadzahnya, mereka mulai mengangkat si Baim menggunakan meja tadi.

Ada sekitar delapan orang yang mengangkat dan semuanya kesusahan, jelas sekali badan mereka masih terlalu kecil, sedangkan mejanya lumayan besar ditambah Baim yang tertidur telentang diatasnya. Entah apa yang ada dipikirkan si Baim sampai mau-mau saja diperlakukan seperti jenazah sungguhan.

Laa illaha illalah,” Seru mereka setalah bisa mengangkat meja berisi Baim tadi, mereka membawanya keluar masjid dan berputar-putar di halaman. Anak-anak perempuan keluar dari dalam masjid dan melihat tingkah anak laki-laki yang sedang sibuk dengan kegiatan mereka.

Sang Ustadzah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran, setelah itu menghampiriku yang juga sedang sibuk memperhatikan mereka.

Ada-ada aja ya mas tingkah anak kecil,” Kata ustadzah tadi kearahku, aku sendiri hanya tersenyum.

Mereka bisa mainin kematian loh, Bu.” Kataku kepada beliau.

Ustadzah tadi ikut tersenyum, “Mereka belum takut untuk mati, Mas.” Jawabnya.

Kemudian ustadzah tadi berteriak kembali untuk memanggil mereka agar segera masuk ke dalam masjid.

“Setidaknya mereka mengingatkan kita yang lebih tua kalau suatu saat kita pasti memang bakalan mati, Bu.” Kataku lagi yang diangguki ustadzah dengan kekehan.

Di dalam hati aku berpikir, dulu ketika aku masih kecil, paling banter mungkin bermain nikah-nikahan atau tidak dokter-dokteran, dan paling parah juga suami-istrian. Tidak pernah yang namanya bermain meninggal-meninggalan.

Mungkin karena perkembangan jaman, permainan mereka lebih ekstream.

Di minggu berikutnya aku kembali ke masjid tersebut, melihat anak-anak yang kini sedang sibuk menghapalkan surah pendek. Mereka terlihat khusyuk, tidak seperti minggu kemarin yang malah sibuk bermain. Kuabsen wajah mereka yang mulai kukenal satu-persatu dan tidak terlihat bocah paling kecil disana.

Satu anak yang baru saja melewatiku kutahan untuk kutanyai, “Baim dimana?” Tanyaku.

Ia menggaruk kepalanya canggung, “Tiga hari lalu Baim meninggal, Kak.” Katanya lirih.

Penulis: Siti Efrilia
Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Salatiga
Aktif juga di LPM DinamikA UIN Salatiga

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses