Di tengah tantangan global yang semakin kompleks dan sistem ekonomi yang kerap mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, sekelompok mahasiswa yang tergabung di kelompok 5 antara lain Dimas Afriel Darmansyah, Elysia Rosa Natali, Reyvara Albi Syarah, dan Rico Aldy Pamungkas hadir membawa angin segar.
Mahasiswa Offering-D Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang, menyelenggarakan diskusi kelas yang memantik pemikiran kritis dan reflektif, bertema “Ekonomi Spiritual dan Ekonomi Beradab dalam Ekonomi Pancasila” pada Selasa, 22 April 2025.
Mata kuliah Ekonomi Pancasila yang diampu oleh Ibu Emma Yunika Puspasari, M.Pd., ini tak hanya menjadi ruang akademik semata, tetapi juga menjadi ruang etis dan filosofis yang menyatukan logika ekonomi dan kepekaan nurani.
Partisipasi aktif seluruh mahasiswa mewarnai jalannya diskusi dengan berbagai pandangan kritis dan pertanyaan reflektif yang mencerminkan kesadaran kolektif akan perlunya transformasi sistem ekonomi.
Salah satu mahasiswi, Azizah, memantik diskusi dengan pertanyaan tajam, “Apakah ada caranya untuk menghindari praktik eksploitasi ekonomi agar sistem ekonomi benar-benar sejalan dengan nilai kemanusiaan dan keadaban?” Menurut kami, jawaban terhadap pertanyaan tersebut terletak pada penguatan regulasi dan pengawasan yang tegas terhadap pelaku usaha, khususnya di sektor-sektor padat karya.
Pemerintah perlu tampil aktif dalam menetapkan dan menegakkan standar upah layak, jam kerja manusiawi, serta keselamatan kerja. Hal ini penting agar kegiatan ekonomi tidak semata berorientasi pada akumulasi keuntungan, melainkan juga berpihak pada keadilan sosial dan martabat pekerja.
Pertanyaan selanjutnya diajukan oleh mahasiswi Farrah, yang menanyakan, “Adakah cara untuk menanamkan kesadaran spiritual pada para pengambil kebijakan agar pembangunan bisa lebih bermakna dan berkelanjutan?”.
Kami meyakini bahwa pembangunan yang bermakna tidak hanya diukur dari data dan target ekonomi, tetapi juga membutuhkan kesadaran spiritual—bukan hanya dalam dimensi keagamaan, melainkan sebagai manifestasi dari kesadaran moral, empati sosial, dan tanggung jawab antargenerasi.
Pendidikan nilai dalam pelatihan birokrasi, keteladanan dari para pemimpin, serta ruang untuk refleksi dalam proses pengambilan keputusan menjadi kunci untuk menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan.
Mahasiswa Salman kemudian mengangkat isu terkait fenomena di media sosial, “Seperti yang kita lihat sekarang, banyak influencer, selebgram, dan bahkan beberapa tokoh agama cenderung menampilkan gaya hidup yang hedonis dan konsumtif. Bagaimana ekonomi spiritual memandang hal-hal semacam ini?”.
Menurut kami, fenomena pamer kekayaan yang kerap muncul di media sosial ini tidak hanya tidak bijaksana, tetapi juga berpotensi menimbulkan ilusi kebahagiaan yang semu serta memperlebar kesenjangan sosial. Ekonomi spiritual menegaskan bahwa konsumsi seharusnya dilakukan secara sadar, sederhana, dan bertanggung jawab.
Baca Juga: Pentingnya Penegakan Nilai-Nilai Pancasila dalam Ekonomi dan Pendidikan
Harta dan kekayaan hendaknya dikelola dengan prinsip etika dan kepedulian sosial, bukan untuk dipamerkan, sehingga pembangunan ekonomi yang beradab dapat dimulai dari individu yang mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan berlebihan serta menempatkan keberkahan di atas kemewahan semu.
Diskusi berlanjut dengan membahas mengenai “Jika pembangunan spiritual adalah bagian dari pembangunan nasional, bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi dikritisi saat terjadi eksploitasi alam yang merusak keseimbangan ekologis?” Pertanyaan yang disampaikan oleh Mahasiswa Naufal.
Menurut kami, pembangunan spiritual menjadi pondasi dalam pembangunan segala aspek seperti yang tercantum dalam Tujuan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) ketiga yaitu untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat yang semakin merata dan adil.
Namun seiring berjalannya waktu, terdapat oknum-oknum yang memperlambat dan menjauhi pencapaian tujuan tersebut. Perbuatan ini disebut sebagai pelanggaran peraturan hukum, perbuatan yang menghambat evolusi atau bahkan memundurkan proses evolusi.
Di dalam hal ini tidak akan digunakan ‘jargon’ agama, sebagai penutupnya. Dengan perbuatan yang merusak keseimbangan ekologis yang dimaksud dengan perbuatan yang merusak pembangunan dan gaya hidup berkelanjutan.
Diskusi semakin mendalam ketika salah satu peserta mengajukan pertanyaan filosofis, “Apa contoh nyata di mana hukum atau kesadaran masyarakat justru mempengaruhi ekonomi, bukan sebaliknya? Lalu apa dampaknya bagi pembangunan sosial serta masyarakat jika kita menganggap hukum dan politik hanya sebagai refleksi dari kondisi ekonomi, padahal mereka juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kesadaran kolektif?”.
Baca Juga: Ilmu Tanpa Nilai? Pancasila sebagai Penjaga Arah Inovasi
Menanggapi hal tersebut, kami mencontohkan gerakan anti-plastik di berbagai negara sebagai bentuk perubahan kesadaran masyarakat yang kemudian mendorong lahirnya regulasi ramah lingkungan, seperti larangan kantong plastik dan insentif bagi industri ramah lingkungan.
Di sisi lain, apabila hukum dan politik dianggap hanya sebagai produk dari sistem ekonomi semata, maka dikhawatirkan nilai-nilai etis, keadilan, dan aspirasi masyarakat akan diabaikan.
Kesadaran kolektif seperti solidaritas sosial, hak asasi, dan keadilan ekologis justru mampu menjadi penggerak perubahan struktural dalam ekonomi. Oleh karena itu, hukum dan kebijakan publik harus dilihat sebagai arena perjuangan nilai, bukan sekadar instrumen dari kepentingan ekonomi dominan.
Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, diskusi ini tidak hanya membuka wawasan tentang pentingnya integrasi nilai-nilai spiritual dalam kebijakan ekonomi, tetapi juga mengajak kita semua untuk terus mengupayakan sistem ekonomi yang manusiawi dan beradab.
Penulis:
1. Dimas Afriel Darmansyah
2. Elisya Rosa Natalie
3. Reyvara Albi Syarah
4. Riko Aldy Pamungkas
Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News