Rumah sakit seharusnya menjadi tempat di mana manusia yang paling lemah—secara fisik, psikis, bahkan ekonomi—diperlakukan dengan penuh kasih, empati, dan penghargaan terhadap hak-haknya. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit rumah sakit yang justru menjadi tempat di mana kemanusiaan diuji dan terkadang bahkan dikhianati.
Antrean panjang, tatapan sinis, suara tinggi dari petugas, dan sikap tidak sabar dari perawat sering kali menyambut pasien yang sedang dalam kondisi paling rentan.
Ketika pasien datang ke rumah sakit, mereka tidak hanya membawa penyakit. Mereka membawa ketakutan, kegelisahan, harapan, dan kadang juga trauma. Mereka tidak hanya butuh obat, tapi juga kata-kata yang menenangkan.
Sayangnya, dalam sistem pelayanan yang terjebak pada rutinitas, kuota pasien, dan tekanan administratif, aspek emosional dan psikologis ini sering kali terabaikan.
Etika medis mengajarkan bahwa setiap pasien harus diperlakukan sebagai pribadi yang utuh—bukan sekadar diagnosa, angka statistik, atau target layanan. Sayangnya, hal ini sering tidak tercermin dalam interaksi sehari-hari antara tenaga kesehatan dan pasien.
Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga etika medis adalah komersialisasi layanan kesehatan. Rumah sakit semakin dikelola layaknya perusahaan, dengan orientasi pada efisiensi dan profit.
Meskipun manajemen profesional dibutuhkan, namun ketika pertimbangan keuangan mendominasi setiap keputusan, maka nilai-nilai kemanusiaan terancam tergeser.
Pasien yang tidak mampu membayar sering kali mendapatkan pelayanan yang minimal, atau bahkan diperlakukan berbeda dibanding mereka yang membayar tunai atau melalui asuransi swasta.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dalam etika medis. Kesehatan bukan barang mewah, melainkan hak dasar setiap manusia, terlepas dari status ekonomi.
Dalam beberapa kasus, pasien dengan latar belakang sosial tertentu—seperti orang kurang mampu, lanjut usia, atau mereka yang datang melalui layanan BPJS—sering mendapat perlakuan berbeda.
Ada ketimpangan layanan yang tidak diucapkan, namun terasa. Misalnya, dokter atau perawat lebih cepat melayani pasien “VIP”, memberikan penjelasan lebih rinci, atau bahkan menunjukkan sikap lebih ramah.
Diskriminasi terselubung ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap etika medis. Etika mengajarkan bahwa setiap pasien harus mendapat perlakuan yang setara, adil, dan bermartabat.
Etika medis tidak boleh berhenti pada teori. Ia harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari—dalam nada bicara, gestur tubuh, dan cara menyentuh pasien. Untuk itu, perlu adanya reformasi nilai di lingkungan rumah sakit, baik melalui pelatihan etika, evaluasi berkelanjutan, maupun pembudayaan empati sejak masa pendidikan medis.
Pendidikan tenaga kesehatan juga harus lebih menekankan aspek kepribadian, empati, dan komunikasi, bukan hanya aspek akademik atau teknis. Seorang tenaga medis yang sangat pintar secara ilmiah tapi gagal memanusiakan pasien, tetap gagal sebagai pelayan kesehatan.
Meski keluhan terhadap pelayanan rumah sakit sering muncul, tidak sedikit pula tenaga medis yang tetap bekerja dengan penuh dedikasi dan belas kasih.
Mereka menjadi bukti bahwa di tengah kerasnya sistem, masih ada cahaya dari mereka yang setia pada sumpah dan etikanya. Mereka adalah harapan yang menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bisa—dan harus—berjalan berdampingan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca Juga:Â Gaya Kepemimpinan dalam Pelayanan Kesehatan
Lebih dari sekadar profesi, pelayanan kesehatan adalah pelayanan jiwa. Ini bukan hanya tentang menyembuhkan luka fisik, tapi juga memulihkan martabat, memulihkan kepercayaan, dan memberikan rasa aman.
Rumah sakit tidak hanya butuh peralatan canggih dan sistem modern, tetapi juga manusia yang memiliki nurani dan empati tinggi.
Jangan biarkan rumah sakit menjadi tempat yang ditakuti karena pelayanan yang kaku dan tidak ramah. Kembalikan rumah sakit pada fungsi awalnya: tempat penyembuhan yang tidak hanya menolong tubuh, tetapi juga menyentuh hati.
Penulis:
1. Hilda Melani Tumangger
2. Diva Yolanda Simarmata
3. Helena Sihotang, S.E., M.M.
Mahasiswa Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas Medan
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News