EUDR Mengetuk Pintu: Saatnya Indonesia Mengevaluasi Ulang Strategi Marketing & Branding Karet Alamnya

Saatnya Indonesia Mengevaluasi Ulang Strategi Marketing & Branding Karet Alamnya
Sumber Gambar: pinterest.com (2025).

Sektor pertanian menjadi salah satu sektor strategis dalam perdagangan internasional Indonesia, dengan kontribusi sebesar 12,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2022, menempati posisi kedua setelah industri pengolahan (Kementerian Pertanian 2023).

Subsektor perkebunan memberikan kontribusi terbesar, yakni 3,76% terhadap PDB (Badan Pusat Statistik 2023). Salah satu komoditas utama subsektor ini adalah karet alam. Dalam klasifikasi Harmonized System (HS) 4001, karet alam termasuk dalam kelompok produk strategis di pasar internasional.

Pada tahun 2022, Indonesia menjadi eksportir karet alam terbesar kedua di dunia dengan pangsa pasar sebesar 22%, setelah Thailand yang mendominasi dengan pangsa 32%.

Jepang dan Amerika Serikat menjadi negara tujuan ekspor karet alam yang memiliki share in value exports terbesar yaitu sekitar 22,9% dan 21,7% dari total ekspor keseluruhan karet alam Indonesia tahun 2024 (Trade Map 2025).

Bacaan Lainnya

Namun, apabila dilihat dari importir karet alam Indonesia, sebagian besar peminat karet alam Indonesia merupakan negara-negara di kawasan benua Eropa, seperti: Slovenia, Latvia, Belgia, Luksemburg, Bulgaria, Portugal, Belanda, Rumania, Federasi Rusia, Polandia, Spanyol, Italia, Finlandia, Jerman, Prancis, dan Inggris.

Bahkan, karet alam menjadi produk ekspor utama Indonesia ke Slovenia, Belgia, dan Latvia. Adanya hal tersebut menjadi peluang pasar yang strategis bagi peningkatan ekspor karet alam Indonesia di benua Eropa.

Namun untuk kedepannya, Indonesia akan mengahdapi suatu tantangan baru yang berkaitan dengan isu lingkungan. Di mana, pada tanggal 06 Desember 2022, Uni Eropa mulai menetapkan suatu regulasi perdagangan yaitu European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR).

Regulasi tersebut berisikan larangan masuknya produk yang berkontribusi terhadap deforestasi. Adapun produk yang diatur oleh EUDR adalah kelapa sawit, kakao, kopi, kayu, kedelai, daging sapi (sapi dan produk turunannya), dan karet.

Regulasi EUDR ini mulai diimplemetasikan pada 30 Desember 2025 untuk pelaku usaha besar dan menengah, serta 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil. Dalam regulasi EUDR memberikan persyaratan untuk pelaku usaha untuk produk yang termasuk dalam regulasi tersebut.

Persyaratan pertama yaitu perlu melakukan due diligince yang di mana memastikan produk tidak berasal dari lahan hasil deforestasi atau degradasi hutan setelah 31 Desember 2020, produk berasal dari lahan yang diperoleh secara legal, menyediakan data geolokasi (koordinat GPS) dari lahan asal komoditas, dan menyusun laporan evaluasi risiko yang komprehensif. Persyaratan kedua yaitu menyimpan data dan dokumentasi selama minimal lima tahun sebagai bukti kepatuhan.

Untuk merespon regulais tersebut, Pemerintah Indonesia telah melakukan amandemen peraturan perdagangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penetapan Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Peneyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Perdagangan.

Adapun di dalam peraturan tersebut salah satunya membahas terkait standar mutu karet alam yaitu Standart Indonesian Rubber (SIR).

SIR merupakan suatu standar mutu karet alam Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan, yang digunakan sebagai acuan dalam ekspor karet alam, diperoleh dari pengolahan lateks, kaogulum karet, atau bahan olah karet dari pohon Havea Brasiliensis, dan diolah secara mekanis dengan atau tanpa bahan kimia.

Dalam peraturan sertifikasi standar mutu SIR ini hanya meregulasikan bagi produsen karet untuk menyertakan dokumen ekspor SIR yang wajib mengikuti skema pengujian dan sertifikasi berdasarkan metode uji seperti: kadar abu, nitrogen, viskositas mooney, indeks warna, dan sebagainya.

Namun, sertifikasi SIR  yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia belum cukup dalam merespon persyaratan regulasi EUDR yang diluncurkan oleh Uni Eropa. Adapun ketidaksesuaian SIR dengan regulasi EUDR seperti contohnya Tidak adanya sistem traseabilitas lengkap dalam SIR.

Baca Juga: Menembus Pasar Ekspor dengan Kakao Tropis Berbasis Blockchain

Sertifikasi SIR hanya berfokus pada kualitas fisik dan mutuk teknis (SNI 1903:2017), tanpa mewajibkan sistem ketelusuran asal bahan baku karet dari petani hingga pabrik, atau dapat dikatakan sistem TPP SIR dan SPPT SNI belum mengintegrasikan informasi asal-usul gegografis bahan baku secara digital atau logistik.

Sedangkan regulasi EUDR menuntut data lokasi lahan (geo-coordinate) asal bahan baku karet, termasuk bukti bahwa lahan tidak mengalami deforestasi setelah cut-off date (31 Desember 2020). Selanjutnya SIR tidak menjamin ketaatan pada regulasi lingkungan.

Sertifikasi SIR hanya menekankan parameter mutu teknis dalam keamana produk, bukan pada keterlibatn dalam praktik keberlanjutan pada dampak lingkungan. Sedang dalam regulasi EUDR menuntut legalitas lahan dan bukti tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi.

Selanjutnya, tidak terintegrasinya dengan sistem monitoring deforestasi global. Saat ini dalam kebijakan ekspor karet alam Indonesia belum ada integrasi antara sistem sertifikasi SIR, teknologi satelit, dan peta  hutan yang dapat membuktikan secara digital bahwa lahan karet terbebas dari deforestasi.

Dan terakhir, sertifikasi SIR tidak membedakan produk berdasarkan asal usul. Dalam regulasi EUDR mengharuskan identifikasi seluruh rantai pasok, termasuk siapa saja yang terlibat dalam produksi bahan baku. Sertifikasi SIR saat ini belum memetakan asal bahan olah karet dari petani plasma, swadaya, atau dari perusahaan besar.

Dalam konteks regulasi terkait pemasaran dan struktur pasar komoditas karet di Indonesia, di mana regulasi Indonesia memiliki paradigma bahwa persaingan usaha yang sehat dapat salah satunya dengan kerahasiaan informasi yang dijamin oleh negara.

Sedangkan dalam regulasi EUDR memiliki paradigma keterbukaan informasi sebagai salah satu pondasi dari kebijakan perdagangan yang sehat.

Pada Pasal 2, 51, 57, 72, 77, 86 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan menyatakan dalam konteks mewujudkan keadilan melalui penetapan harga, regulasi Indonesia lebih berfokus dalam melindungan pelaku usaha.

Sedangkan dalam regulasi EUDR mempertimbangkan konteks terkait fair pricing harus didesain secara adil agar dapat menangani akar permasalahan kemiskinann bagi produsen smallholders yang menjadi penyebab utama deforestasi.

Untuk mengatasi ketidaksesuaian kebijakan terkait perdagang karet Indonesia dengan regulasi EUDR, maka diperlukannya strategi perbaikan regulasi Indonesia terkait Industri karet, sebagai salah satu upaya mempertahankan pangsa ekspor karet alam Indonesia di pasar Eropa.

Adapun strategi perbaikan regulasi tersebut yaitu pertama diperlukannya strategi penguatan legalitas lahan yang terdiri dari: (1) Review legalitas izin-izin usaha perkebunan karet (lokasi, lingkungan, HGU, dan lain-lain); (2) Pendataan dan pemetaan kebun karet rakyat (luas, kepemilikan, produksi); (3) Penguatan legalitas kebun rakyat  penyelesaian konflik lahan; dan (4) Membangun sistem database pelaku usaha karet beserta dokumen legalnya.

Strategi kedua perlu adanya komitmen antara pemerintah dan produsen karet dalam penghentian deforestasi seperti penguatan regulasi untuk pengembangan karet berkelanjutan dan bebas deforestasi. Strategi ketiga perlu adanya reformasi kebijakan perlindungan hutan dalam lanskap perkebunan.

Baca Juga: Terbuka Ekspor Funiture dan Kerajinan di Belanda

Dalam merespons EUDR, strategi penghentian deforestasi perlu bergerak dari pendekatan larangan administratif menjadi transformasi berbasis lanskap.

Strategi ini mencakup: (1) Peneguhan kebijakan perlindungan hutan melalui integrasi lanskap konservasi; (2) Penguatan kerangka hukum restorasi bagi kebun karet yang berada dalam kawasan bernilai konservasi tinggi; dan (3) Pengembangan mekanisme kompensasi berbasis hasil (results-based payment) bagi pelaku usaha yang menjaga tutupan hutan.

Strategi keempat yaitu melakukan digitalisasi dan transparansi rantai pasok karet Indonesia. Transformasi sistem ketelusuran sangat diperlukan, tidak hanya memenuhi standar EUDR, tetapi juga memperkuat posisi tawar petani.

Langkah-langkah yang dapat dikembangkan seperti: (1) Penerapan sistem digital traceability berbasis blockchain atau big data yang memuat lokasi, volume, dan aktor dalam rantai pasok; (2) Pembentukan hub logistik lokal yang menghubungkan petani, koperasi, dan pabrik secara efisien; (3) Insentif untuk perusahaan yang bermitra langsung dengan kelembagaan petani melalui skema perdagangan berkeadilan (fair trade).

Penulis:
1. Ni Ketut Dela Yanti
2. ⁠Nia Kurniawaty Hidayat
Mahasiswa Institut Pertanian Bogor

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses