Mengapa Pertumbuhan E-Dagang Bakal Melambat di 2025?
Apakah kenaikan PPN dan biaya admin platform membuat konsumen menahan belanja di tahun mendatang?
Faktor Apa Saja yang Berisiko Memperlambat Pertumbuhan E-Dagang di 2025?
Pertumbuhan nilai transaksi e-dagang di Indonesia diperkirakan melambat pada 2025. Berdasarkan analisis Celios dengan metode ARIMA, nilai transaksi hanya akan meningkat 0,5 persen dari Rp468,6 triliun pada 2024 menjadi Rp471 triliun di 2025.
Perlambatan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dapat menekan daya beli masyarakat.
Selain itu, kebijakan kenaikan biaya admin oleh platform lokapasar seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia turut membebani penjual.
Kenaikan ini sebagian besar diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi, membuat pembeli semakin berhati-hati dalam berbelanja daring. Kondisi ini diperparah oleh melemahnya daya beli masyarakat yang sudah terlihat sepanjang 2024.
Penjual dan platform e-dagang harus beradaptasi dengan tren ini untuk bertahan. Pengusaha kecil didorong untuk menggunakan strategi, seperti omni-channel yang menggabungkan penjualan daring dan luring.
Inovasi, efisiensi operasional, dan pengendalian biaya menjadi langkah penting untuk menghadapi tantangan ini.
Baca Juga: Pengaruh Media Sosial Seorang Influencer dalam Meningkatkan Penjualan melalui E-Commerce
Inovasi video commerce diprediksi menjadi pendorong utama pertumbuhan e-dagang di Indonesia. Berdasarkan laporan “e-Conomy SEA 2024”, kontribusi transaksi video commerce terhadap total nilai e-dagang melonjak dari 5 persen pada 2022 menjadi 20% di 2024.
Platform seperti Shopee Live telah membuktikan keberhasilan strategi ini, dengan peningkatan penjualan hingga 7,5 kali lipat selama kampanye promosi.
Video commerce menawarkan pengalaman belanja interaktif yang memungkinkan pembeli melihat ulasan produk secara langsung dan bertanya kepada penjual dalam waktu nyata.
Dengan demikian, video commerce bukan hanya tentang belanja, tetapi juga hiburan, menjadikannya alat pemasaran yang sangat efektif. Ini didukung oleh pertumbuhan jumlah video yang diunggah kreator Indonesia sebesar 16% per tahun sejak 2022.
Ke depan, adopsi video commerce dapat meningkatkan keterlibatan konsumen dan memacu pertumbuhan e-dagang. Pelaku usaha dan UMKM perlu memanfaatkan platform ini untuk menarik lebih banyak pembeli.
Dengan pendekatan kreatif, mereka bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperluas jangkauan pasar.
Seperti Apa Tantangan dan Peluang E-Dagang untuk UMKM?
UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia, tetapi mereka menghadapi tantangan besar dalam ekosistem e-dagang. Kenaikan biaya admin platform dan sensitivitas harga konsumen menjadi tekanan berat bagi pelaku usaha kecil.
Di sisi lain, hanya sekitar 39 persen UMKM yang telah terhubung dengan ekosistem digital, menciptakan kesenjangan dalam adopsi teknologi.
Untuk mengatasi ini, pemerintah dan pelaku industri perlu mendorong transformasi digital UMKM. Program pelatihan, akses permodalan seperti KUR, dan kemitraan dengan platform digital menjadi solusi penting.
Baca Juga: Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%
Pelaku UMKM juga perlu mengadopsi teknologi baru seperti kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan memperluas pasar mereka.
Dengan penetrasi internet yang semakin merata, e-dagang menawarkan peluang besar bagi UMKM. Namun, tanpa inovasi dan adaptasi terhadap kebutuhan pasar, mereka berisiko tertinggal di tengah persaingan yang semakin ketat.
Dengan fakta seperti itu, imbuh Setiawan, pada tahun 2025, sensitivitas konsumen e-dagang terhadap harga akan semakin meningkat.
Sementara bagi penjual, mereka akan semakin tertekan untuk melayani perilaku tersebut. Jika dilayani, margin pedagang akan semakin sedikit. Apabila tidak dilayani, mereka tidak mendapat pemesanan barang.
Oleh karena itu, ia berpendapat, inovasi omni-channel (berjualan daring dan luring) bisa menjadi salah satu pilihan bagi pengusaha. Sejumlah pelaku usaha ritel mulai mengelola kanal daring sekaligus luring, seperti Sociolla.
Jadi, ada kemungkinan, omni-channel menjadi pilihan dengan mendorong pertumbuhan penjualan selain e-dagang, seperti reseller khusus dan toko fisik.
Di sisi lain, pada tanggal 20 Januari 2025, Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat. Dia terkenal galak terhadap masalah ekonomi dan diperkirakan bakal kembali membuat kebijakan kenaikan tarif perdagangan dari negara-negara pesaing, terutama China.
Hanya, dampak negatifnya, Setiawan menduga akan lebih banyak barang impor China masuk ke Indonesia baik melalui platform e-dagang maupun kanal luring. Di Indonesia pun, kebanggaan terhadap produk lokal masih rendah.
”Mungkin kata yang pas adalah pertumbuhan konsumsi e-dagang akan sedikit melambat pada tahun 2025,” imbuhnya.
Baca Juga: Inflasi Terjadi, Apakah Berdampak pada UMKM?
Bagaimana Pengaruh Kebijakan Global Terhadap E-Dagang di Indonesia?
Dilantiknya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2025 diperkirakan akan memengaruhi pasar e-dagang Indonesia.
Kebijakan perdagangan proteksionis AS dapat meningkatkan impor barang dari China ke Indonesia melalui kanal daring maupun luring. Hal ini berpotensi menekan produk lokal di tengah rendahnya kebanggaan terhadap produk Indonesia.
Di sisi lain, kompetisi harga menjadi semakin ketat karena barang impor cenderung lebih murah. Hal ini memaksa pelaku usaha lokal untuk terus berinovasi agar tetap relevan.
Transformasi digital UMKM dan strategi diversifikasi produk menjadi sangat penting dalam menghadapi persaingan yang semakin global.
Indonesia perlu menciptakan kebijakan yang mendukung produk lokal agar mampu bersaing, baik melalui insentif maupun promosi. Dengan langkah ini, sektor e-dagang dapat terus berkembang sambil memperkuat posisi produk lokal di pasar domestik.
Penulis: Sinta Amelia
Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Universitas Negeri Padang
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News