Mengkaji Kebijakan PPN 11% di Tengah Naiknya Harga Barang Pokok

Kebijakan PPN 11%

Pemerintah mulai memberlakukan kenaikan PPN yang awalnya 10% menjadi 11% sejak 1 April 2022. Kebijakan ini sejalan dengan amanat pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kenaikan PPN ini akan berlangsung secara bertahap hingga tahun 2025, yang kemungkinan nantinya PPN akan naik menjadi 12% dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial. Beleid tersebut juga menentukan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5% dan paling tinggi 15%.

Baca juga: Pemanfaatan Pajak Desa untuk Memberikan Keringanan kepada Masyarakat pada Saat Pandemi Covid-19

Bacaan Lainnya
DONASI

Barang dan Jasa yang Dibebaskan dari PPN

Namun, saat ini tidak semua barang dan jasa yang dijadikan objek untuk pengenaan PPN. Beberapa barang dan jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN.

Rincian barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN antara lain:

  • Kebutuhan pokok seperti beras, gabah, jagung, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, gula konsumsi, garam, sagu, daging, kedelai, dan telur;
  • Jasa kesehatan tertentu meliputi jasa paramedis dan perawat, jasa psikolog dan psikiater, jasa dokter hewan, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa kesehatan (seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi), jasa kesehatan yang ditanggung JKN, jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik Kesehatan, laboratorium kesehatan dan sanatorium, jasa dokter umum, jasa dokter spesialis, dan jasa dokter gigi;
  • Pendidikan yang meliputi, jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, dan buku pelajaran;
  • Jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja;
  • Kitab suci;
  • Vaksin;
  • Listrik (kecuali untuk rumah tangga dengan daya >6600 VA;
  • Air bersih (termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap;
  • Jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan bencana nasional
  • Rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
  • Minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi (gas melalui pipa, LNG dan CNG);
  • Emas batangan dan emas granula;
  • Bahan baku kerajinan perak;
  • Mesin peternakan dan perikanan, hasil peternakan dan perikanan, pakan ternak maupun ikan, bibit/ benih, bahan pakan ternak dan perikanan.
  • Jangat dan kulit mentah
  • Senjata/ alutsista dan alat foto udara.

Selain barang dan jasa yang bebas PPN, ada juga barang dan jasa yang tetap tidak dikenakan PPN, di antaranya:

  • Barang yang menjadi Objek Pajak Daerah yang berupa makanan dan minuman yang disajikan hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
  • Uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan kas devisa negara, dan surat berharga;
  • Jasa penyediaan tempat parkir, kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa tata boga atau katering yang menjadi Objek Pajak Daerah;
  • Jasa keagamaan dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.

Sedangkan barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 11% di antaranya :

  • Barang elektronik seperti laptop, smartphone, televisi, dan alat elektronik rumah tangga lainnya;
  • Produk tekstil seperti baju atau pakaian, celana, aksesoris dan lain-lain;
  • Perlengkapan kebersihan seperti aneka sabun, pasta gigi, sikat gigi dan lain-lain;
  • Produk alas kaki seperti sepatu dan sandal;
  • Berbagai jenis produk tas dan aksesorisnya;
  • Pulsa telepon dan tagihan internet;
  • Rumah atau hunian selain rusun sederhana, rusunami, RS, dan RSS;
  • Motor, mobil dan barang lainnya yang dikenakan PPN;
  • Listrik rumah tangga khusus daya lebih dari 6600 VA;
  • Jasa iklan digital, hingga barang yang dibeli di market place;

Baca juga: Online Shop Bayar Pajak

Tanggapan Pro atas Kebijakan PPN 11%

Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, tarif PPN 11% merupakan jalan tengah untuk menaikkan pendapatan negara di situasi pandemi COVID-19 yang berkepanjangan saat ini. Kebijakan pemerintah ini juga bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akibat terus merosotnya rasio pajak.

“Kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 11% ini sudah win-win solution, karena dari 10% menjadi 11% diharapkan kebaikannya tidak terlalu signifikan. Di sisi lain untuk mengandalkan Pajak Penghasilan (PPh) saat ini juga sudah sulit,” katanya, Rabu (2/3/2022).

Penerimaan pajak akan difokuskan untuk distribusi program sosial pemerintah, program vaksinasi, insentif ekonomi dan lain sebagainya.

Kementerian Keuangan menyebutkan penerimaan perpajakan pada tahun 2022 diproyeksikan akan tumbuh 9,5%. Selain itu, penerimaan ini pada akhirnya akan didistribusikan ulang untuk program-program pemulihan yang akan mengeksplorasi perekonomian Indonesia.

Baca juga: Menyikapi Peningkatan Utang Luar Negeri Indonesia dan Faktor-Faktor di Baliknya

Kontra atas Kebijakan Naiknya Tarif PPN 11%

Naiknya PPN menjadi 11% dianggap kurang tepat dan berdampak besar bagi masyarakat, terutama masyarakat kecil karena naiknya tarif PPN ini dibarengi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, meskipun sebagian besar kebutuhan pokok dibebaskan PPN. Selain harga kebutuhan pokok, harga BBM juga naik, yang di mana saat ini BBM sangat diperlukan oleh masyarakat.

Naiknya harga barang dan PPN juga berpengaruh terhadap daya beli masyarakat serta kenaikan PPN juga dapat menyumbang pada angka inflasi dan menekan target pertumbuhan ekonomi. Selain itu, banyak juga masyarakat yang harus mengerem pengeluaran karena adanya kenaikan harga barang serta kenaikan PPN.

Kenaikan PPN juga berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang lainnya, di antaranya berpotensi mendorong masyarakat berbelanja di luar negeri akibat kenaikan harga barang dan jasa di seluruh Indonesia.

Selain itu, kenaikan PPN juga dinilai akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi masyarakat sehingga mengakibatkan sektor barang dan jasa turun dan berdampak pada penjualan.

Saat produktivitas menurun, maka akan berpengaruh terhadap berkurangnya penyerapan tenaga kerja yang akan membuat naiknya angka pengangguran serta pendapatan dan konsumsi masyarakat akan menurun.

Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani mengatakan meskipun kenaikan PPN sebesar 1%, maka berdampak juga terhadap perekonomian Indonesia.

“Jadi walaupun pemerintah membuat target ekonomi tinggi, di atas 5% misalnya. Tapi kalau inflasinya tinggi, itu sama juga bohong,” kata Ajib.

Rekomendasi Solusi

Apabila pemerintah ingin menaikkan tarif pajak, sebaiknya menunggu perekonomian pada masyarakat stabil terlebih dahulu di pasca pandemi Covid-19 ini yang dibarengi dengan naiknya harga barang-barang. Sehingga, tidak terlalu memberatkan masyarakat.

Selain itu, kenaikan tarif PPN yang dirasa belum tepat ini berbanding terbalik dengan upaya percepatan pemulihan ekonomi yang harus segera dilakukan, maka pemerintah sebaiknya harus bisa memilih alternatif lain dalam upaya membangkitkan perekonomian di Indonesia, contohnya di sektor wisata.

Wisatawan asing yang datang dapat menambah devisa negara, peningkatan devisa negara dapat memberikan stimulus dalam pertumbuhan ekonomi. Yang di mana alternatif ini bisa menjadi solusi lain dalam membangkitkan perekonomian di Indonesia pasca pandemi di tahun 2022.

Penulis: Alwinda Novianingtyas Suryono
Mahasiswa Universitas Negeri Malang

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI