Fenomena KDRT dan Keadaan Psikologis Anak

Fenomena KDRT Anak
Ilustrasi KDRT Anak (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fenomena yang marak terjadi di kalangan masyarakat pada zaman sekarang. Umumnya, korban yang mengalami KDRT merasakan trauma yang sangat mendalam.

Fenomena KDRT biasanya terjadi dikarenakan permasalahan dalam keluarga. Seperti perbedaan pendapat, perselisihan, permasalahan ekonomi, dan lain-lain. KDRT juga disebabkan oleh pengendalian emosi pelaku yang tidak stabil.

KDRT ini biasanya dilakukan oleh suami ke istri dan suami ke anak. Namun tidak hanya  dilakukan oleh suami, perilaku KDRT ini juga bisa dilakukan oleh istri ke suami bahkan istri ke anak.

Faktor yang menyebabkan terjadinya tingkah laku KDRT biasanya karena pelaku merasa paling kuat dan berkuasa, keuangan yang tidak seimbang, komunikasi yang tidak sepaham antar pasangan, memiliki sifat otoriter, dan paling banyak terjadi biasanya disebabkan oleh pengelolaan emosi yang buruk. Serta faktor-faktor lainnya.

Bacaan Lainnya

Permasalahan dalam keluarga seringkali mempengaruhi tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan memberikan dampak yang cukup besar terhadap psikologis korban, terutama anak. Sang korban cenderung merasakan trauma yang sangat mendalam.

Walaupun banyak korban yang terlihat bahagia dihadapan orang banyak guna menyembunyikan atau memendam perasaan dan emosi negatifnya atas peristiwa KDRT yang dialami. Namun dibalik itu, banyak dari mereka yang mati-matian berjuang melawan trauma yang dialami.

Menurut Erick Erikson yang dikutip oleh John W. Santrock, perkembangan kepribadian seseorang berasal dari pengalaman sosial sepanjang hidupnya. Kemudian menurut salah satu ahli psikologi, trauma dapat diartikan sebuah peristiwa atau pengalaman yang menghancurkan rasa aman, rasa mampu dan harga diri. Sehingga menimbulkan luka psikologis atau trauma mendalam yang sulit disembuhkan sepenuhnya.

Baca juga: KDRT Menyebabkan Trauma pada Anak

Berdasarkan kejadian KDRT yang dialami, dampak sosial yang terjadi pada anak yang mengalami KDRT atau menyaksikaan tindakan KDRT tersebut akan menimbulkan perasaan tidak aman dan sulit untuk percaya terhadap orang lain. Anak juga cenderung lebih diam saat berinteraksi dengan teman sebayanya. Dan yang paling parah adalah timbulnya perilaku agresif dan cenderung temperamental.

Krahe (2005: 17) mendefinisikan perilaku agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut. Perilaku agresif ini terlihat dalam perilaku memukul, melukai, menggigit, menendang, mendorong, mencubit, dan melempar barang-barang dan lain sebagainya.

Kemudian Hurlock (2004) juga menyebutkan berbagai macam pola perilaku pada anak berumur 2-6 tahun atau disebut juga dengan masa anak-anak awal yaitu adanya pola perilaku sosial seperti meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati, dukungan sosial, membagi, perilaku akrab, sedangkan yang tidak sosial seperti negativisme, perilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, mementingkan diri sendiri, merusak, pertentangan seks, prasangka, dan agresi.

Berdasarkan teori kepribadian yang dikemukakan Allport, temperamen sebagai salah satu komponen kepribadian yang mengacu pada gambaran karakteristik dari sifat emosional individu yang diwariskan secara genetik, mencakup kerentanan terhadap stimulasi emosi, kekuatan dan kecepatan dalam merespons, dan kualitas suasana hati (Strelau, 2002).

Hal ini membuktikan bahwa perilaku agresif dan temperamental terjadi dikarenakan anak akan belajar dan meniru serta memperoleh pengetahuan tentang kekerasan dalam berinteraksi.

Anak yang mengalami KDRT cenderung memiliki watak atau karakter yang keras karena menganggap bahwa dengan kekerasanlah mereka dapat mengekspresikan emosinya dan ada juga anak yang menjadi orang penakut, pendendam, dan pemalu.

Dampak buruk dari faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan karakter anak adalah berkata kotor, berperilaku kurang sopan, suka memukul temannya. Kemudian anak juga rentan mengalami depresi bahkan yang paling parah adalah sampai bunuh diri.

Menurut Kitamura dan Nagata (2014), trauma anak dapat menjadi determinan dari perilaku bunuh diri dan depresi. Post-traumatic stress disorder (PTSD) pada anak adalah gangguan mental yang muncul setelah anak mengalami atau melihat sebuah peristiwa yang bersifat traumatis dan berdampak pada emosionalnya.

Trauma masa kanak-kanak merupakan suatu pengalaman yang dinilai kurang baik atau buruk bagi anak-anak yang mengalaminya. Pengalaman-pengalaman buruk yang mereka alami cenderung serius sehingga memungkinkan untuk berdampak pada masa remaja maupun masa dewasa.

Faktanya sekarang banyak sekali masyarakat yang mengabaikan atau menyepelekan dampak dari trauma itu sendiri, termasuk trauma pasca KDRT. Padahal sebagai manusia, khususnya orang tua perlu untuk peduli akan kesehatan mental anak.

Anak akan pulih jika diberi dukungan yang baik dan membantunya agar merasa aman, self-esteem yang tinggi juga membantu pemulihan yang lebih baik. Menghindari lingkungan yang keras dan bersikap tegas jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga juga bisa membantu agar tidak berlarut-larut merasa seperti di dalam penjara.

Anak-anak atau korban kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menghubungi pihak profesional untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik.

Baca juga: Korban Kekerasan Anak Perlu Pendampingan Psikososial

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa fenomena KDRT berdampak besar pada psikologis korban, terlebih lagi psikologis anak. Dampak yang terjadi pada fenomena KDRT biasanya trauma yang sangat mendalam sehingga menyebabkan kesulitan dalam berinteraksi dan bersosialisasi.

Bahkan menjadikan anak sebagai pribadi yang berwatak keras, dan ada juga yang menjadi penakut, pendendam, juga pemalu. Anak juga bisa melakukan perilaku agresif dan cenderung tempramental.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk peduli akan psikologis anak. Kita bisa memberi dukungan yang baik untuk mendukungnya melawan trauma yang dialami. Jika merasa takut, tertekan dan bingung maka bisa menghubungi pihak yang lebih professional untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik

 

Penulis: Silva Anggie Ardana Putri
Mahasiswa Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses