Zaman semakin maju, dan tentunya dunia fashion pun akan ikut terbawa arus oleh perkembangan zaman yang semakin pesat ini. Namun dengan perkembangan tersebut, mengapa anak muda belakangan ini bukannya membeli pakaian dengan model terbaru, tetapi malah berbondong-bondong membeli pakaian bekas?
Apakah fenomena ini hanyalah tren atau justru upaya perubahan gaya hidup yang dilakukan oleh anak muda sebagai bentuk menyayangi bumi dengan menjaga lingkungan?
Hal-hal semacam ini pasti akan terus dipertanyakan karena anak muda biasanya selalu mengikuti arus zaman, tetapi persoalan fashion seakan-akan mereka terseret kembali ke belakang untuk menemui gaya vintage yang berbau kekinian.
Dunia perfashionan sangatlah populer dan merambat hingga ke dunia permusikan. Hal ini terlihat dalam lagu “Thrift Shop” yang rilis pada tahun 2012 yang dibawakan oleh penyanyi asal Amerika Serikat, yaitu duo hip-hop, Macklemore & Ryan Lewis. Lagu ini merupakan single keempat dalam album studio debut mereka.
Lagu “Thrift Shop” karya Macklemore & Ryan Lewis menyampaikan pesan alternatif dalam dunia hip-hop dengan mengangkat nilai berbelanja di toko barang bekas dan hidup hemat, alih-alih mengagungkan kemewahan seperti yang lazim ditemukan dalam lirik rap mainstream.
Tak sekadar pilihan gaya, lagu ini juga menekankan filosofi hidup sederhana dan kebijaksanaan finansial—sebuah antitesis dari gaya hidup foya-foya yang kerap diidentikkan dengan genre hip-hop.
Indonesia tidak terlepas dari maraknya kegiatan jual beli pakaian bekas. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang terjadi. Pakaian bekas tidak hanya dijual di offline store, seiring dengan perkembangan teknologi, pakaian bekas malah lebih banyak dijual di online store seperti di aplikasi TikTok, Shopee, dan Instagram.
Hal tersebut memicu munculnya tren di kalangan anak muda dan memberikan dampak positif karena bisa mengubah pola pikir seseorang untuk menghargai nilai suatu barang.
Thrift sebagai Tren
Thrift adalah opsi yang bagus ketika harga kebutuhan pokok semakin hari semakin naik. Saat ini, yang menggunakan baju thrift berasal dari generasi milenial dan generasi Z karena generasi tersebut sudah mulai berpikir realistis dengan menyeimbangkan kebutuhan pokok dan kebutuhan akan berpakaian yang menarik tetapi tidak menguras isi dompet.
Tren ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak muda memilih untuk mengikuti tren bukan hanya karena harganya yang lebih murah dibandingkan baju baru, tetapi juga menunjukkan cara untuk tetap bergaya saat sedang survival.
Hal yang membedakan baju thrift dengan pakaian baru terletak pada keunikannya. Karena biasanya pakaian baru sering menawarkan baju yang polanya hampir mirip, sehingga jarang menemukan keunikan dari baju tersebut.
Hal ini sangatlah berbanding terbalik dengan baju thrift yang banyak menawarkan keunikan dari setiap pakaian yang dipasarkan. Tren fashion yang paling banyak diterapkan anak muda saat ini yaitu gaya retro 90-an, sehingga memberikan kesan vintage bagi penggunanya. Selain itu, streetwear juga ikut hype di kalangan generasi Z saat ini.
Hal yang sangat disayangkan dari tren ini yaitu adanya kecurangan yang banyak dilakukan oleh beberapa oknum. Seharusnya barang yang sudah dipakai atau barang bekas dijual dengan harga yang lebih murah, tetapi beberapa oknum malah memanfaatkan beberapa nama brand atau popularitas dari pakaian tersebut, seperti Adidas, Nike, Zara, dan lain sebagainya, sehingga mematok harga yang terbilang mahal.
Hal ini mendobrak aturan yang sesungguhnya karena membuat keadaan sedikit memprihatinkan, sebab tujuan awal untuk membeli pakaian thrift yaitu menghemat budget.
Beberapa stigma tentunya harus dilawan oleh tren ini. Stigma seperti pakaian bekas hanya digunakan oleh orang yang kurang mampu bukanlah tantangan yang kecil dari tren ini, karena sering dianggap bahwa pakaian yang ditawarkan adalah pakaian yang berkualitas rendah. Padahal, hal tersebut belum tentu benar, walaupun tidak bisa disangkal bahwa sebagian memang benar.
Baca Juga:Â Pandangan Remaja di Desa Maduran Mengenai Berita Larangan Usaha Pakaian Thrifting
Thrift sebagai Gaya Hidup Ramah Lingkungan
Thrift bukan hanya sekadar tren, tetapi pilihan anak muda sebagai upaya untuk gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Anak muda sekarang sudah banyak yang membuka pikirannya dengan berpikir bahwa baju yang sudah dipakai tidak semuanya usang, dan membeli banyak baju baru sama saja dengan menyumbang sampah limbah terhadap bumi. Limbah dari pakaian dapat berupa kain.
Dapat diketahui bahwa limbah kain yang dihasilkan oleh beberapa pabrik, lama-kelamaan pastinya berada pada skala yang besar. Sedangkan limbah kain berpotensi membahayakan lingkungan karena beberapa jenis kain biasanya tidak mudah terurai. Selain berbentuk kain, limbah pakaian juga dapat berupa limbah cair.
Tentunya hal tersebut sangat mempengaruhi lingkungan sekitar karena limbah cair yang digunakan dalam memproduksi baju baru adalah pewarna tekstil.
Secara tidak sadar, anak muda ikut andil dalam upaya menjaga lingkungan dengan memilih baju bekas ketimbang baju baru. Hal yang terlihat sederhana kadang diperlukan karena bisa saja memberikan dampak yang besar.
Thrift artinya menggunakan kembali barang yang sudah terpakai, yang berarti pemanfaatan kembali merupakan prinsip utama yang berkelanjutan. Faktor utama dari permintaan konsumen terhadap pasar pakaian baru karena stigma bahwa baju lama berarti sudah tidak trendi lagi atau bisa dibilang sudah tidak zaman lagi.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi adalah sebagian orang tidak tahu tujuan sampingan dari thrift dalam upaya gaya hidup ramah lingkungan, yaitu pemborosan yang minim dan penggunaan sumber daya pun tidak berlebihan, sehingga lingkungan akan tetap seimbang dan aman.
Baca Juga:Â Tanggapan Produsen Mengenai Usaha Thrifting yang Dilarang oleh Pemerintah
Gaya hidup yang seperti ini tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga baik untuk pemikiran anak muda yang lebih bijak dan bertanggung jawab. Karena kebiasaan bagus seperti tidak sering membeli baju baru berarti anak muda tidak menyumbang sampah berlebihan terhadap bumi.
Thrifting tidak hanya sekadar tren populer. Di baliknya, terdapat prinsip pelestarian lingkungan, penolakan terhadap budaya konsumtif berlebihan, serta ekspresi gaya yang unik dan kreatif. Hal ini menunjukkan bahwa thrifting memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih dari sekadar fenomena sesaat.
Tantangan utamanya adalah mempertahankan nilai dasarnya, yakni keterjangkauan, keberlanjutan ekologis, dan keterbukaan bagi semua kalangan. Jika berhasil dipertahankan, thrifting tidak akan hanya dikenang sebagai fase dalam industri mode, melainkan bisa menjadi titik balik dalam cara kita berbelanja.Â
Penulis: Intan Marjan
Mahasiswa Bahasa & Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar
Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru di Google News