Filsafat Manusia: Mencari Pemahaman tentang Diri dan Kehidupan

Mencari Pemahaman tentang Diri dan Kehidupan.
Filsafat Manusia: Mencari Pemahaman tentang Diri dan Kehidupan.

Dalam bukunya Fahruddin Faiz, dijelaskan bahwa manusia dalam pandangan filsafat, diposisikan di dunia ini dalam tiga peran utama: manusia sebagai tujuan akhir penciptaan, manusia sebagai mikrokosmos, dan manusia sebagai cermin Tuhan.

Dua peran pertama banyak dibahas oleh para filsuf pripatetik, sementara pemahaman tentang manusia sebagai cermin Tuhan banyak dikupas dalam tradisi tasawuf.

Manusia sebagai Tujuan Akhir Penciptaan

Dalam skema besar penciptaan, manusia menempati posisi paling puncak. Manusia baru didatangkan ke bumi setelah bumi ini siap untuk memfasilitasinya. Allah menciptakan bumi beserta seluruh isinya, alam semesta beserta seluruh isinya dan mengatur semuanya agar layak untuk kehidupan manusia.

Manusia adalah ciptaan terbaik Allah, manifestasi terbaik dari kehendak-Nya. Karena itulah, manusia dimuliakan dan dibanggakan di hadapan para malaikat.

Bacaan Lainnya

Allah menciptakan segalanya, tetapi dari semua ciptaan-Nya itu, yang dipamerkan di hadapan para malaikat hanyalah manusia. Allah bahkan menyatakan secara tegas dalam Al-Qur’an, “Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi.” Kalimat ini menunjukkan bahwa bumi sudah ada, sudah dipersiapkan, sebelum manusia diciptakan.

Setelah semuanya siap, baru kemudian Allah menciptakan manusia dan menjadikannya khalifah di bumi. Pada saat itu, malaikat sempat merasa ragu.

Mereka bertanya, “Ya Allah, mengapa menciptakan makhluk seperti manusia yang bisa saja berbuat kerusakan, pertengkaran dan saling menumpahkan darah? Apakah tidak cukup ada kami?” Tapi, Allah menjawab, “Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]:30).

Allah begitu sayang kepada manusia. Buktinya, waktu di surga, ketika Nabi Adam diuji di hadapan para malaikat, kasih sayang Allah sudah terlihat jelas. Saat itu, Allah bertanya kepada malaikat, namun mereka tidak bisa menjawab. Mereka hanya berkata, “Kami hanya mengetahui apa yang Engkau beri tahu ya Allah.”

Sementara itu, sebelum bertanya kepada Nabi Adam, Allah terlebih dahulu mengajarinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya, “Wa ‘allama âdamal asmâ’a kullahâ, Dan Dia ajarkan kepada Adam nama (benda) semuanya.”

Artinya, Nabi Adam sudah dibekali ilmu oleh Allah, sedangkan malaikat tidak. Hal ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada manusia sejak awal penciptaan. 

Pernahkah kita menyadari, bahwa alam semesta ini seolah memang dipersiapkan untuk kita? Kenapa manusia diturunkan ke bumi, bukan ke planet lain? Sebab, di bumi semua kadarnya cocok untuk kebutuhan manusia. Semuanya sudah diatur secara sempurna, mulai dari kelembaban, suhu, udara, sinar matahari dan jaraknya.

Jika matahari lebih dekat sekian meter saja dari bumi, maka manusia tidak akan sanggup menahan cahayanya, begitu juga ketika jarak matahari agak jauh dari bumi, maka cahayanya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Baca Juga: Filsafat Manusia: Meninjau Hakikat Tujuan Hidup Manusia dalam Perspektif Islam

Manusia sebagai Mikrokosmos

Banyak para filsuf muslim menggambarkan manusia sebagai mikrokosmos. Secara etimologi, mikrokosmos berasal dari bahasa Yunani, yaitu “mikros kosmos” yang berarti “dunia kecil” atau “semesta kecil.” Dalam bahasa Jawa disebut “jagat cilik.” Artinya manusia adalah representasi mini dari alam semesta. Kenapa demikian?

Sebab, semua unsur yang ada di alam raya juga bisa ditemukan dalam diri manusia. Air, tanah, api dan udara, semuanya ada dalam diri manusia. Dari segi kosmos, manusia memiliki semuanya, termasuk unsur mineral, unsur tumbuhan, unsur hewan, bahkan punya unsur spiritual yang mencerminkan sifat malaikat.

Manusia dari sejak lahir, bertumbuh, berkembang, hingga akhirnya meninggal, siklus hidupnya mencerminkan alam. Keinginan nafsu serta dorongan untuk bergerak dan bersaing adalah bagian dari unsur hewani.

Semuanya menunjukkan bahwa manusia bukan hanya sekadar makhluk biasa, tetapi cerminan dari alam semesta itu sendiri. Itulah mengapa manusia disebut sebagai mikrokosmos.

Manusia sebagai Cermin Tuhan

Dalam pandangan para tokoh tasawuf, manusia hakikatnya adalah cerminan Tuhan di bumi. Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tetapi dalam dirinya mengandung unsur-unsur ketuhanan. Bagaimana bisa? Karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini pasti mengandung unsur-unsur ketuhanan, baik unsur jalaliyah atau jamaliyah. 

Jalaliyah adalah unsur keagungan, kebesaran, atau kedahsyatan. Jamaliyah adalah unsur keindahan. Contohnya, ketika kita melihat gunung meletus dan menimbulkan bencana, itu artinya muncul unsur jalaliyah.

Tapi, ketika kita melihat gunung yang begitu indah, megah, dan menakjubkan, maka itu artinya muncul unsur jamaliyah. Pada akhirnya, semua yang diciptakan Tuhan, pasti mengandung salah satu dari dua unsur ketuhanan tersebut.

Apabila alam semesta memiliki dua unsur ketuhanan tersebut, dan manusia disebut miniatur dari alam semesta, maka secara tidak langsung, unsur-unsur ketuhanan itu tercermin juga dalam diri manusia. Maka secara otomatis manusia hakikatnya ilahi.

Karena itu, ada yang menyatakan bahwa manusia hakikatnya adalah makhluk spiritual atau ilahi yang diturunkan ke bumi. Hakikat manusia adalah spiritual, hanya saja dibungkus oleh jasad. Maka tak heran jika manusia disebut sebagai cerminan atau bayangan Tuhan di bumi.

Baca Juga: Mengenal Manusia dan Filsafat

Manusia diberi kehormatan sebagai wakil Allah di bumi. Maka, sudah seharusnya manusia bisa memposisikan diri sebagai cermin Allah di muka bumi, karena manusia adalah wakil-Nya. Sebagai wakil, tentu punya tugas untuk menjalankan amanah sebagaimana posisi yang diwakili.

Namun, meskipun manusia memegang peran sebagai wakil-Nya, bukan berarti bisa menyamakan diri atau naik derajat menjadi Tuhan.

Ini bukan seperti struktur organisasi, yang mana seorang wakil bisa menggantikan posisi pemimpin utamanya. Tidak. Manusia tetap hamba, hanya saja diberi kepercayaan untuk membawa nilai-nilai ketuhanan di bumi.

Itulah jadi diri manusia; tujuan akhir penciptaan, mikrokosmos, dan cermin Tuhan di muka bumi.

Penulis: M. Rasihul Hilman
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia (UII)

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses