BMKG 2024: Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
Tahun 2024 tidak hanya merupakan penyimpangan cuaca biasa, melainkan menjadi penanda penting dari semakin cepatnya krisis iklim yang dipicu oleh kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia.
Cuaca ekstrem yang terjadi di Jakarta pun bukanlah hal yang mengejutkan, melainkan dampak nyata dari pola perubahan iklim global yang semakin memburuk.
Jakarta kembali mencatatkan diri sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia. Jakarta masih menduduki peringkat kedua kota paling tercemar menurut indeks kualitas udara global. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar serius dalam mengatasi krisis udara ini.
Baca juga:Â Ancaman Polusi Udara: Risiko bagi Kesehatan dan Cara Mengatasinya
Penyiraman Jalan: Solusi atau Sekadar Gimik?
Salah satu langkah yang sempat dilakukan adalah menyiram jalan dengan air. Namun, menurut peneliti Gunadi, tindakan ini justru hanya memindahkan polusi, bukan menguranginya.
Hal serupa pernah dilakukan di Tiongkok pada tahun 2013, dan hasilnya malah memperburuk kondisi karena menciptakan sumber polusi baru akibat kelembapan dan partikel yang tidak tersaring.
Polusi dari PLTU: Sudahkah Ditangani Serius?
Menteri BUMN Erick Thohir pernah mengakui bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara Jakarta.
Saat ini, terdapat 16 PLTU batu bara yang mengepung wilayah Jabodetabek.
Pertanyaannya, apa langkah konkret yang telah dilakukan pemerintah untuk menekan emisi dari sektor ini?
Mengapa pengujian emisi hanya berlaku untuk kendaraan pribadi, sementara sektor industri luput dari regulasi yang sama?
Baca juga:Â Tantangan Kesehatan: ISPA di Jakarta Diperparah oleh Polusi Udara
Belajar dari Kota Lain: Bisa, Kalau Mau
Beberapa kota dunia telah melangkah jauh dalam memerangi polusi udara. Di Bogotá, Kolombia, misalnya, pemerintah mencanangkan target seluruh armada bus kota beralih ke tenaga listrik pada 2024.
Di Bangkok, Thailand, ada target untuk menjadikan 30% wilayah kota sebagai ruang hijau yang dipenuhi pepohonan.
Di Eropa, kota seperti Paris melarang kendaraan diesel masuk ke pusat kota dan secara agresif memperluas jalur sepeda.
Sementara itu, New Delhi, India—yang juga menghadapi krisis polusi akut—mulai menerapkan sistem ganjil-genap untuk kendaraan pribadi secara rutin, serta memasang menara pembersih udara di kawasan padat.
Semua langkah ini menunjukkan bahwa perbaikan kualitas udara bukan hal mustahil—selama ada kemauan politik dan keterlibatan publik yang kuat.
Lalu, bagaimana dengan Jakarta? Langit abu-abu sudah menjadi pemandangan harian. Pertanyaannya bukan hanya kepada pemerintah, tetapi juga kepada kita semua: apakah kita benar-benar peduli? Atau kita hanya akan mulai bertindak saat langit benar-benar menjadi hitam?
Penulis: Aqilah Humaira Nadzifah
Mahasiswa Farmasi Universitas Islam Indonesia
Editor: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News