Setiap pagi, tanpa sadar kita mengangkat ponsel sebelum melakukan aktivitas sehari-hari. Notifikasi membludak, aplikasi menampilkan konten yang “kita butuhkan,” dan tiba-tiba saja, waktu luang kita lenyap begitu saja.
Tahun 2025 bukan hanya soal kecanggihan teknologi, tapi juga tentang bagaimana kita semakin tidak punya waktu untuk diri sendiri,bukan karena kesibukan, tapi karena waktu luang itu telah dihabiskan sedikit demi sedikit oleh algoritma.
Kita pikir kita memilih apa yang ingin kita lihat, padahal sistem telah menyediakan apa yang ingin kita konsumsi.
Dan anehnya, kita merasa nyaman. Inilah kecanggihan digital hari ini: kita merasa bebas, padahal tengah dikendalikan.
Baca juga: Berapa Banyak Waktu yang Kamu Habiskan di Smartphone? Ini Pengaruhnya pada Kehidupan Remaja!
Waktu Senggang yang Kini Langka
Konsep “waktu luang” dulu berarti jeda dari pekerjaan waktu untuk berpikir, bersantai diri (me time), atau sekadar bosan.
Tapi kini, saat jeda datang, tangan reflek menggunakan handphone untuk membuka aplikasi yang di dalamnya.
Bahkan momen menunggu antrean pun kini diisi dengan video pendek, scroll berita, atau belanja online.
Ketika dulu orang bisa bosan dan melamun, kini otak kita dipaksa selalu aktif, sehingga gampang diatur oleh adanya kecanggihan teknologi ini.
Padahal, dari kebosanan lahir kreativitas.
Dari waktu senggang tercipta inovasi.
Ketika otak diberi ruang kosong, ia mengisi sendiri dengan imajinasi dan refleksi.
Kini ruang itu direbut oleh algoritma yang tahu kita lebih baik dari kita sendiri.
Baca juga: Merenungi Waktu dan Keabadian dalam Puisi Yang Fana Adalah Waktu& Karya Sapardi Djoko Damono
Algoritma: Mesin yang “Peduli” Terlalu Dalam
Apa yang membuat kita terus menatap layar? Bukan semata teknologi, tapi algoritma yang tahu kapan kita sedang sedih, bosan, cemas, atau merasa sendiri.
Dengan mengumpulkan data perilaku, algoritma menyesuaikan konten agar kita betah berlama-lama. Kita merasa dimengerti.
Tapi itu bukan pengertian, melainkan strategi.
Kecemasan sosial, rasa takut tertinggal (Fomo), bahkan dorongan politik atau ideologi, kini dikemas lewat saran tontonan atau unggahan teman.
Kita bukan lagi pengguna teknologi, tapi produk yang dijual pada pengiklan.
Dampaknya: Waktu Habis, Diri Tergerus Hingga Hilang Arah
Riset menunjukkan, waktu rata-rata orang Indonesia menggunakan ponsel kini mencapai lebih dari 6 jam per hari.
Itu berarti seperempat waktu kita dihabiskan di dunia digital.
Kita menjadi konsumtif secara pasif mengambil tanpa menyadari, terlibat tanpa niat.
Parahnya lagi, ini bukan hanya persoalan individu.
Pola ini menciptakan masyarakat yang makin terpecah, kehilangan empati, dan dangkal dalam berpikir.
Waktu untuk membaca buku, berbincang, atau bahkan menikmati kesunyian perlahan hilang.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, sadari bahwa waktu luang adalah hak dan kebutuhan manusia. Kita berhak bosan, berhak tidak tahu, berhak tidak selalu terhubung.
Kedua, mulai disiplin digital: matikan notifikasi yang tidak penting, atur jadwal tanpa layar, dan berani bilang “cukup.”
Ketiga, kembalikan waktu luang sebagai ruang pribadi.
Gunakan untuk merenung, berjalan tanpa tujuan, menulis tangan, atau hanya duduk diam.
Bukan karena nostalgia, tapi karena manusia butuh waktu untuk menjadi manusia.
Penutup
Teknologi memang membantu hidup, tapi tidak seharusnya mengatur hidup.
Di era ketika algoritma menguasai atensi, mempertahankan waktu luang bukan kemewahan, tapi bentuk perlawanan.
Karena saat kita tidak punya waktu untuk berpikir, kita tak lagi menjadi makhluk bebas, melainkan makhluk yang hanya bereaksi.
Jadi, sebelum waktu kita benar-benar habis dicicil oleh notifikasi, mari kita rebut kembali hak kita untuk diam, untuk jenuh, untuk bebas dari layar.
Waktu luang bukan hal sepele,ia adalah ruang hidup yang sesungguhnya.
Penulis: Nurul Afifah
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tidar
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News