Gejog Lesung: Bunyi Kayu yang Menjaga Irama Kehidupan Orang Jawa

Tradisi Gejog Lesung,
Gejog Lesung: Bunyi Kayu yang Menjaga Irama Kehidupan Orang Jawa.

Di tengah modernisasi dan teknologi, suara gejog lesung tabuhan ritmis dari alunan lesung masih menggema di pedesaan Jawa, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, suara Lesung yang di tabuh beramai-ramai masih sesekali terdengar dalam upacara adat atau festival budaya.

Irama dari suara lesung tidak hanya menghasilkan suara, ia adalah representasi dari kebersamaan, rasa syukur, dan ekspresi budaya yang sarat makna.

Gejog Lesung dulunya berasal dari aktivitas warga desa menumbuk padi menggunakan lesung dan alu, alat tradisional yang kini jarang digunakan seiring berkembangnya teknologi di bidang pertanian.

Namun, masyarakat Jawa mengubah aktivitas ini menjadi seni pertunjukan yang kaya akan nilai budaya. Bunyi ritmis dari alu yang di pukulkan ke lesung menciptakan harmoni yang menggambarkan kerjasama, kerukunan, dan kebersamaan dalam masyarakat.

Bacaan Lainnya

Gejog Lesung juga tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga bisa menjadi media komunikasi sosial di dalam masyarakat. Aktivitas ini biasanya dilakukan saat menyabut  tamu, upacara tradisional, dan perayaan panen padi.

Instrumen dan Cara Memainkan

Lesung sendiri biasanya terbuat dari kayu munggur atau kayu keras lainnya, panjang lesung bisa mencapai kurang lebih 2 meter dan bisa bervariasi tergantung fungsinya. Alu yang digunakan untuk memukul lesung, biasanya dimainkan oleh beberapa orang secara bergantian atau bersamaan dengan pola tertentu.

Suara yang dihasilkan lesung bervariasi tergantung ukuran dan bagian mana dari lesung yang dipukul dan kekuatan pukulannya.

Gejog Lesung juga sering dipadukan dengan nyanyian Jawa atau tembang dolanan, bahkan kadang juga dipadukan dengan tarian. Dengan itu, Gejog Lesung bukan hanya untuk alat kerja, tetapi juga alat ekspresi seni dan budaya.

Makna Sosial dan Budaya

Gejog Lesung lebih dari sekedar pertunjukan seni, tetapi adalah simbol dari gotong royong dan kebersamaan di dalam masyarakat desa. Gejog Lesung sendiri mencerminkan nilai-nilai sosial di dalam kehidupan masyarakat desa, seperti kerja sama, kebersamaan, dan rasa syukur.

Beberapa masyarakat mempercayai, suara lesung dipercayai bisa mengusir roh jahat atau energi negatif, sehingga dimainkan pada momen-momen tertentu yang bersifat sakral.

Baca Juga: Gebyar Sangiran: Pentas Seni Budaya Masyarakat Gejog Lesung sebagai Kesenian Rakyat dan Rasa Syukur

Aspek Psikologi dan Antropologi dalam Tradisi Gejog Lesung

Tradisi Gejog Lesung tidak hanya berfungsi sebagai hiburan atau penanda masa panen, tetapi juga memiliki peran penting dalam psikologi dan antropologi masyarakat Jawa. Dari sudut pandang psikologi, bunyi ritmis yang dihasilkan oleh dentuman alu dan lesung dipercaya dapat memberikan efek ketenangan batin dan meningkatkan suasana hati.

Musik tradisional seperti ini mampu menjadi sarana regulasi emosi, bahkan digunakan dalam konteks terapi komplementer untuk mengurangi stres dan kecemasan (Nurhidayati et al., 2020).

Penelitian juga menunjukkan bahwa bunyi-bunyian tradisional berperan dalam memperkuat memori kolektif dan identitas budaya suatu komunitas.

Liao dan Dai (2020) mengemukakan bahwa bunyi dalam festival tradisional menciptakan ruang memori publik yang memperkuat jati diri komunitas lokal. Dalam konteks Gejog Lesung, setiap bunyi lesung menjadi pengingat atas sejarah, nilai-nilai kerja sama, dan penghormatan terhadap alam serta leluhur.

Baca Juga: Mengenal Kesenian Gejog Lesung di Festival Krajan Keker Sangiran

Dari perspektif antropologi psikologi, aktivitas memukul lesung secara bersama-sama menciptakan rasa keterhubungan sosial yang kuat.

Penelitian oleh Mansell et al. (2023) menyatakan bahwa musik yang dimainkan secara sinkron meningkatkan perasaan solidaritas dan empati di antara para pelakunya.

Gejog Lesung, sebagai praktik musik komunal, juga menjadi sarana edukatif yang memperkuat nilai-nilai sosial seperti gotong royong dan saling menghargai (Machfauzia, 2015).

Tradisi ini juga dapat dipahami sebagai mekanisme katarsis kolektif yang membantu masyarakat melepaskan ketegangan dan menciptakan keseimbangan emosi. Comeau (2025) mencatat bahwa praktik menabuh alat musik tradisional dalam kelompok dapat memberikan efek penyembuhan secara mental, emosional, dan spiritual.

Dengan demikian, Gejog Lesung tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menjadi sarana penyembuhan psikologis dan penguatan sosial yang relevan hingga kini

Penulis:
1. Pangesti Ananda Mahanani
2. Tatiana Sekarlangit Tiffany Putri Anshori
3. ⁠Elsa Frianda Saputri
4. ⁠Amelia Ayu Angelika
Mahasiswa Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta

Editor: Ika Ayuni Lestari

Bahasa: Rahmat Al Kafi

Daftar Pustaka

Comeau, G. (2025). Mental health research: The healing power of Indigenous drumming. nstitute of Mental Health Research, University of Ottawa. ttps://doi.org/10.56367/OAG-046-11342

Liao, Z. J., & Dai, G. (2020). Inheritance and Dissemination of Cultural Collective Memory: An Analysis of a Traditional Festival. Sage Open, 1-11.

Machfauzia, A. N. (2015). Implantation of The Values of Togetherness In Children Through The Art of Gejog Lesung.

Mansell, W., Gulrez, T., & Kavaliauskaitė, D. (2023). What is the relationship between spontaneous interpersonal synchronization and feeling of connectedness? A study of small groups of students using MIDI percussion instruments. Psychology of Music, 1-19.

Nurhidayati, T., Agung, P. D., Rahayu, D. A., Elengoe, A., & Ramuni, K. (2020). The Effectiveness of Gamelan Therapy on Depression Levels in Chronic Kidney failure Patients. Enfermería Clínica, 69-72.

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses