Pancasila memiliki arti tersendiri bagi setiap individu. Sebuah ideologi memang harus ditafsirkan, diberikan kedudukan, dan diterima kehadirannya.
Lahirnya pancasila berasal dari proses perjuangan leluhur dalam memerdekakan bangsa Indonesia.
Sudah selayaknya bahwa kehadiran pancasila ialah untuk memerdekakan orang-orang yang menyuarakan kata “merdeka”, pada tiap tanggal 17 Agustus.
Melalui Pancasila, leluhur memberikan kita kesempatan untuk merasakan salah satu buah dari kemerdekaan.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila itulah yang berhasil memerdekaan bangsa Indonesia.
Pancasila hadir dalam keadaan murni agar orang-orang itu dengan merdeka dapat menafsirkan sendiri, kemudian memberikan kedudukan dan menerima kehadirannya.
Jika menyebutkan Pancasila sebagai ideologi yang sempurna, kesimpulan tersebut sangatlah dangkal.
Pancasila bukanlah produk sempurna, melainkan hanyalah lima sila yang harus disempurnakan oleh kesanggupan setiap individu.
Pertanyaan-pertanyaan akan muncul bergantian, menerka seberapa sanggup seorang individu dapat menerima kehadiran Pancasila sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupannya.
Kegagalan pada proses penafsirannya menggambarkan betapa kacaunya implementasi nilai-nilai Pancasila.
Garuda pancasila benar-benar hanya sekadar lambang negara. Sila-sila Pancasila hanya sekadar rumusan yang diucapkan siswa-siswa sewaktu upacara bendera.
Perjalanan sila-sila masih terlalu panjang dan semakin berat. Harga dirinya pun tidak bersisa.
Bangsa kita dipenuhi oleh orang-orang beragama. Namun, keberadaan Tuhan Yang Esa masih gagal membuat orang-orang ini bertoleransi.
Kasus intoleransi di Indonesia setiap tahun terus meningkat. Intoleransi terlihat begitu nyata, tepat di depan mata.
Dalam hal ini search engine tidak dibutuhkan. Gereja, sebagai rumah ibadah Kristiani, belum juga berdiri di sana, kota yang tepat bersebelahan dengan kota kelahiran.
Penolakan berdirinya gereja merujuk SK Bupati tahun 1975. Selama puluhan tahun gereja belum juga berdiri di sana.
Pada tahun lalu, terjadi polemik proses pembangunan Gereja HKBP Maranatha Cilegon. Kepala daerah menanggapi positif penolakan ormas dengan alasan menjaga ketertiban umum.
Artinya, kepala daerah kembali meloloskan intoleransi yang telah membusuk puluhan tahun di Kota Cilegon.
Apakah pemerintahan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk sekadar membenahi hak-hak kaum minoritas.
Kita akhirnya hanya bisa menyimpulkan seolah-olah penolakan tersebut perbuatan yang benar.
Walaupun tanpa Pancasila, seharusnya manusia tidak bisa menghalangi urusan hamba dengan Tuhan-nya. Agaknya, mereka lupa bahwa Pancasila paling membenci intoleransi.
Namun, yuridiksi toleransi kini dinilai sudah salah kaprah. Kaum minoritas, yaitu LGBT dengan bangganya memperjuangkan hak-hak mereka.
Adakala di mana negara mempunyai kuasa untuk membatasi HAM.
Batasan tersebut terdapat dalam hukum nasional diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Sedangkan dalam hukum internasional, HAM tidak memandang agama sebagai batasan. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) UDHR, yang berbunyi “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
Akan tetapi, setiap negara memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan hukum-hukum yang berlaku.
Pancasila jelas memandang LGBT sebagai perbuatan amoral. Salah kaprah ini lagi-lagi karena kesalahan dalam penafsiran.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh hanya menafsirkan nilai-nilai kemanusian, tetapi juga nilai-nilai ketuhanannya.
Tak ada satu pun agama di Indonesia yang melegalkan LGBT. Pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila benar-benar menyayat hati.
Akan ada masa di mana perbuatan-perbuatan amoral tersebut dianggap lumrah. Manusia-manusia modern tanpa malu akan terus memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai HAM.
Pengimplementasian Pancasila yang nihil tentu saja dapat dilihat melalui kondisi mentalitas generasi muda.
Generasi muda terlalu mudah disuguhi budaya-budaya luar. Ketertarikan generasi muda terhadap budaya nasional sudah luntur.
Kami lebih menikmati kebudayaan modern milik negara barat. Kami menilai kebudayaan nasional terlalu kuno.
Bahkan, budaya korea berhasil menyusupi lifestyle kaum milenial, cara berpakaian, makanan, minuman, sampai-sampai mengubah habit.
Kami menyadari akan keindahan dan keberagaman budaya nasional. Dari Sabang hingga Merauke tersimpan kekayaan yang tak akan pernah habis.
Namun, mengapa kami tetap tergiur dengan budaya-budaya luar. Padahal, jika kami menilik Indonesia memiliki budaya yang berpotensi di kancah Internasional.
Akan tetapi, rasanya pengembangan budaya nasional merupakan tahap yang belum bisa kami gapai. Sebab, generasi kami telah bersedia untuk kehilangan jati diri sebagai penerus bangsa.
Apa yang diharapkan dari generasi muda yang tidak memiliki minat terhadap budaya nasionalnya sendiri?
Penulis:
1. Ainun Ni’mah Syawaliyah
2. Nor Hilyati
3. Intan Mustika Nugrahani
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dosen Pengampu: Drs. Priyono, M.Si.
Editor: Siti Sajidah El-Zahra
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News