Guy Ritchie’s The Covenant: Janji di Tengah Perang Nurani Tak Hilang

Guy Ritchie’s The Covenant: Janji di Tengah Perang Nurani Tak Hilang
Gambar: moviegoersindonesia.com

Film bertemakan perang sangat identik dengan suara tembakan, suara bom atau ledakan, hingga suara orang orang yang menjerit kesakitan. Begitu juga dengan film Guy Ritchie’s The Covenant. Film yang tayang pada 2023 ini juga menggunakan unsur-unsur tersebut dalam filmnya, lantas apakah itu yang akan dibahas dalam artikel ini? Tentu saja tidak, jika hal tersebut yang dibahas, apa bedanya The Covenant dengan film perang pada umumnya. 

The Covenant memilih jalur berbeda dari sebagian besar film perang lainnya, disini jika anda mencari visual perang atau baku tembak yang bagus dan keren mungkin anda akan sedikit kecewa.

Pasalnya The Covenant lebih memilih untuk mengangkat sisi kemanusiaan yang terdapat dalam sebuah konflik peperangan. Dalam film ini sebuah janji sederhana, sebuah ujian kemanusiaan, dan sebuah perjalanan pengorbanan menjadi inti dari The Covenant

Awal dari Pengorbanan

Afghanistan menjadi saksi bisu dari sebuah pengorbanan dan penghargaan terhadap sebuah janji serta loyalitas yang dilakukan oleh Sersan John Kinley (Jake Gyllenhaal) dan Ahmed (Dar Salim) penerjemah lokal dengan keberanian yang luar biasa.

Bacaan Lainnya

Hubungan mereka awalnya hanya sebatas rekan kerja, seorang Sersan dengan penerjemah lokalnya dalam misi di negara timur tengah tersebut. Saat sebuah misi mereka disergap oleh Taliban, dan hanya mereka berdua yang berhasil selamat.

Baca Juga: Review Film A Man Called Otto

Peristiwa itu mengubah hubungan mereka yang awalnya hanya sebatas rekan kerja menjadi persahabatan yang sangat menghargai sebuah janji dan kesetiaan.  Semua itu berawal dari pengorbanan dan loyalitas Ahmed yang harus membawa John Kinley yang tengah terluka untuk kabur dari kejaran Taliban.

Melewati gurun yang panas serta bukit yang berbatu dan curam, sambil menarik gerobak yang berisikan Kinley didalamnya menambah sisi emosional dari film ini. Setiap langkah kaki dan setiap tetes keringat yang jatuh dari muka Ahmed semakin membuat jantung penonton berdecak dengan kencang. Apakah Ahmed mampu membawa Kinley ke pangkalan dengan selamat? Bahkan di tengah ancaman maut yang terus  membayangi dari Taliban. 

Harga dari Sebuah Pengorbanan

Setelah berhasil membawa Kinley ke pangkalan dan Kinley pun dibawa kembali ke USA untuk dirawat. Di titik ini lah arti dari balas budi yang indah dari Kinley. Ia tak tenang, tidurnya tidak lelap, hatinya gelisah, memikirkan Ahmed yang harus berjuang sendiri di sana.

Kinley sadar apa yang harus diperbuat demi membayar sebuah pengorbanan, dengan keberanian seorang Sersan, ia kembali ke medan perang di Timur Tengah. Di tengah peluru yang menghujam, ikatan itu tetap diam. Di antara reruntuhan yang membara, setia mereka tak lara. Kinley memutuskan untuk membantu Ahmed dalam sebuah peperangan melawan Taliban.

Kerja sama Kinley dan Ahmed benar-benar bukan hanya dua prajurit perang, melainkan hubungan erat yang diikat oleh loyalitas dan rasa hutang budi. Selayaknya Napoleon Bonaparte dan Michel Ney yang berhasil dalam memenangkan banyak perang, duet Kinley dan Ahmed pun, berhasil menyelamatkan Ahmed dan keluarganya. 

Baca Juga: Dunia Film: Transformasi Teknologi dan Dampaknya bagi Penikmat Film

Perang boleh merampas banyak hal, tapi hati yang setia tak akan mudah tergelincir ke arah yang salah. Visual yang disajikan Ritchie tetap intens, namun lapisannya lebih dalam dari sekadar darah dan debu. Ada emosi yang mengalir dalam bisu, ada kemanusiaan yang bergema di sela-sela hening itu.

The Covenant pada akhirnya bukan sekadar film perang. Ia adalah kisah tentang loyalitas yang langka, tentang rasa terima kasih yang membara, tentang janji yang bukan hanya diucap, tapi benar-benar diperjuangkan bahkan ketika dunia menutup mata. Bagi siapa pun yang percaya bahwa di tengah kekerasan masih ada ruang untuk kebaikan, Guy Ritchie’s The Covenant adalah sebuah pengingat yang tak boleh dilewatkan.

Penulis: Bintang Rahmadana Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses