Hijau Hitam Sebagai Penyambung Hak-Hak Rakyat Indonesia

Muhammad Adib Alfarisi
Muhammad Adib Alfarisi. (Founder Forum Kosya Menulis/Kader HMI Komisariat Syariah Cab. Pontianak)

Titik awal perjalanan Himpunan Mahasiswa Islam dimulai 74 Tahun yang lalu. Tepat pada hari ini di saat konfrontasi bangsa ini melawan bangsa penjajah disertai dengan penghianatan PKI terhadap Indonesia, tercetuslah ide dan gagasan untuk melahirkan sebuah organisasi yang menghimpun mahasiswa Islam yang diprakarsai oleh Lafran Pane tertanggal 14 Rabiul Awal 1366 H atau 05 Februari 1947.

Kehadiran HMI pun pada saat itu seakan-akan memberi angin segar kepada mahasiswa Islam untuk bersatu dalam sebuah Himpunan. Sebuah wadah pemersatu pemikiran tentang gagasan kebangsaan dan keummatan dengan spirit nilai–nilai keislaman serta Indonesia yang kemudian dijadikan landasan perjuangan HMI.

Spirit Islam Keindonesiaan pun menggema di seantero negeri dan dijadikan sebagai solusi terhadap berbagai problem yang melanda negeri tercinta ini. Namun, kehadiran HMI pun mendapat penolakan dari berbagai pihak. PKI salah satunya yang menggangap organisasi yang secara terang terangan menolak kehadiran HMI. Bahkan HMI menurut PKI ialah bagian dari Masyumi yang membahayakan eksistensi mereka di Indonesia.

Berbagai tipu muslihat pun mereka lakukan agar eksistensi HMI semakin redup dan bahkan PKI dengan tegas mengatakan bahwa HMI merupakan organisasi terlarang karena bertentangan dengan semangat revolusioner Presiden RI pertama yaitu Ir. Soekarno pada waktu itu.

Bacaan Lainnya

Setelah PKI dibubarkan dan pemerintahan Orde Lama tergantikan dengan sistem Orde Baru, HMI semakin bergerak cepat karena pengaruhnya di seluruh wilayah NKRI guna untuk mengedepankan nuansa intelektual dengan spirit nilai–nilai keislaman, mahasiswa Islam di Indonesia semakin tertarik untuk bergabung dengan organisasi ini.

Dalam konteks kebangsaan dan keummatan, sumbangsih pemikiran HMI pun mendapat apresiasi dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintah rezim Soeharto. Kehadiran HMI seolah-olah menjawab perkataan Jendral Soedirman yang mengatakan bahwa HMI selain singkatan dari Himpunan Mahasiswa Islam, HMI juga merupakan Harapan Masyarakat Indonesia.

Di era 70 hingga 90an, kejayaan HMI semakin memperlihatkan pengaruhnya di indonesia. Banyak kader HMI yang nantinya akan menjadi tokoh–tokoh bangsa dan cendekiawan– cendekiawan muslim di Indonesia. Seperti Nurcholis Madjid, Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Anas Urbaningrum, Anies Baswedan adalah sebagian dari tokoh–tokoh bangsa yang terlahir dari Rahim HMI.

Namun, kegemilangan HMI di masa lampau seolah tinggallah kenangan hingga seorang penulis sejarah HMI, Agus Salim Sitompul memaparkan 44 indikator kemunduran HMI sebagai gambaran kondisi HMI dewasa ini. Jika dahulu kala, HMI mewarnai wacana–wacana serta diskusi–diskusi yang ada tersaji di kampus, maka kondisi HMI dewasa ini seolah tenggelam dari wacana–wacana serta diskusi-diskusi di kampus. Kader HMI pun seolah-olah terpinggirkan dan tidak berdaya dengan berbagai kebijakan kampus yang tidak mengindahkan nuansa kritis hadir di tengah-tengah kehidupan kampus.

Dalam wacana kebangsaan dan keummatan pun, HMI seolah tak berdaya dengan perkembangan zaman di negeri ini. Parahnya lagi, HMI cenderung fokus pada problem–problem internal yang sifatnya justru semakin membuat HMI kehilangan arah dalam menentukan sikap terkait kondisi kebangsaan dan keummatan hari ini.

Entah problem tersebut akarnya dari mana, tetapi kondisi kekinian HMI seolah mengingatkan kita akan kondisi kekhalifahan Turky Utsmani yang dahulu dikenal sebagai imperium terkuat di dunia tetapi kemudian menjadi lemah dikarenakan konflik -konflik internal.

Tentu kejadian yang menimpa Turky Utsmani, sebuah imperium besar yang wilayahnya mencakup tiga benua tetapi runtuh karena konflik internal juga terjadi di Himpunan Mahasiswa Islam. Oleh karena itu, perlu kiranya kader–kader HMI merenugi serta menyelesaikan berbagai macam problem yang terjadi di internal HMI. Yang mana usia 74 tahun bukan menjadikan organisasi ini semakin tua dan menjadi organisasi pesakitan.

Di usia 74 tahun ini, HMI mesti semakin matang dalam menjawab semua problem–problem yang menimpa HMI secara internal serta problem–problem kebangsaan dan keummatan yang kini menimpa indonesia secara menyeluruh apalagi di tambah dengan kondisi pandemi covid-19 sampai saat sekarang ini.

Maka nuansa “Hijau Hitam” harus kembali kepada khittahnya sebagai organisasi yang mengedepankan nilai-nilai keislaman, bukan malah mengedepankan kepentingan–kepentingan yang sifatnya feodal bahkan oligarki.

Selama 74 tahun hingga sekarang ini, HMI merawat kebhinnekaan bangsa dan pluralitas ummat di Indonesia. Dengan kekuatan spirit keislaman, indonesia haruslah tetap menggema di tengah arus kemoderenan yang kini melanda Indonesia. Islam di Indonesia harus tetap menjadi semangat bagi setiap kader HMI dan menjadikannya ibarat sinar matahari yang memberikan kehangatan ditengah badai yang sedang berkecamuk di negeri ini.

Penulis: Muhammad Adib Alfarisi
(Founder Forum Kosya Menulis)
Kader HMI Komisariat Syariah Cab. Pontianak

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses