Pada tahun 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui badan penelitian kanker, International Agency for Research on Cancer (IARC), mengeluarkan data mengenai perkiraan dampak kanker secara global.Pada tahun 2024, International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai bagian dari WHO, mengeluarkan data mengenai perkiraan dampak kanker secara global.
Menurut data tersebut, pada tahun 2022 tercatat sekitar 20 juta kasus kanker baru dan sebanyak 9,7 juta orang meninggal dunia akibat kanker. Angka yang cukup besar tersebut, membuktikan bahwa kanker tetap menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang paling krusial dan perlu mendapatkan perhatian lebih luas. Dari angka tersebut, diperkirakan bahwa lebih dari 50% pasien kanker memerlukan radioterapi dengan tujuan untuk menyembuhkan kanker mereka ataupun sekadar meningkatkan kualitas hidup.
Radioterapi merupakan salah satu prosedur pengobatan kanker yang memanfaatkan radiasi pengion berenergi energi untuk menghancurkan sel-sel kanker secara selektif. Dalam pelaksanaannya, radioterapi tidak hanya menuntut teknologi yang mumpuni, tetapi juga komitmen yang kuat terhadap keselamatan pasien dan seluruh tenaga kesehatan yang terlibat. Dengan demikian, pemahaman mengenai cara kerja radioterapi dan proteksi radiasi yang sesuai sangatlah dibutuhkan.
Dalam pelaksanaannya, radioterapi tidak hanya menuntut teknologi yang mumpuni, tetapi juga komitmen yang kuat terhadap keselamatan pasien dan seluruh tenaga kesehatan yang terlibat.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana radioterapi bekerja dan proteksi radiasi seperti apa yang diperlukan.
Radiasi pengion pada radioterapi adalah radiasi yang dapat menimbulkan ionisasi pada jaringan yang dikenainya.
Baca juga: Komunikasi Kesehatan yang Efektif sebagai Kunci Perubahan Pola Makan Masyarakat Indonesia
Radiasi pengion digunakan karena kemampuannya dalam mengionisasi molekul secara tidak langsung melalui pembentukan radikal bebas.
Proses ionisasi ini akan menyebabkan perubahan struktur pada DNA dan mengganggu fungsi normal sel. Sel yang normal memiliki kemampuan untuk bereproduksi, tetapi sel yang telah terpapar radiasi pengion akan berhenti bereproduksi dan memicu proses perbaikan DNA.
Namun, jika kerusakan yang terjadi pada DNA terlalu parah, maka sel tersebut akan mengalami apoptosis atau kematian secara terprogram.
Mekanisme inilah yang digunakan oleh radioterapi untuk membunuh sel kanker, yaitu dengan merusak DNA sel kanker hingga tidak dapat diperbaiki lagi.
Selain itu, sel kanker juga memiliki sifat yang lebih sensitif terhadap radiasi dan lebih sulit memperbaiki kerusakan DNA, sehingga dengan pemberian dosis radiasi tertentu sel kanker dapat mati dengan meminimalkan risiko kerusakan sel sehat di sekitarnya.
Meskipun demikian, radiasi tetaplah berisiko sehingga diperlukan prinsip proteksi radiasi untuk memastikan pelaksanaan radioterapi tetap aman.
Proteksi radiasi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif dari paparan radiasi yang bersifat merusak.
Menurut Perka BAPETEN No. 3 Tahun 2013, terdapat tiga prinsip utama proteksi radiasi radioterapi.
Prinsip yang pertama adalah justifikasi, yang menekankan bahwa manfaat dari paparan radiasi harus melebihi risikonya, dan keputusan ini harus ditentukan oleh dokter spesialis yang berwenang di bidang onkologi radiasi.
Prinsip yang kedua adalah limitasi dosis, yang menekankan bahwa jumlah dosis radiasi pada pekerja dan masyarakat umum harus dijaga agar tidak melewati batas aman dosis yang telah ditentukan.
Baca juga: Obat Kanker: Pilihan Terbaru dalam Pengobatan Modern
Namun, prinsip ini tidak berlaku pada pasien karena pasien radioterapi memang membutuhkan dosis radiasi yang tinggi untuk membunuh sel kanker.
Prinsip yang ketiga adalah optimisasi yang mengacu pada konsep ALARA (As Low As Reasonably Achievable), yaitu bahwa paparan radiasi yang diberikan kepada pasien harus seminimal mungkin, tetapi tetap efektif untuk membunuh sel kanker.
Ketiga prinsip tersebut harus diterapkan secara bersamaan agar pelaksanaan radioterapi tetap aman dan maksimal.
Setelah memahami tiga prinsip utama proteksi radiasi, agar proses radioterapi berjalan dengan efektif dan minim resiko diperlukan tahap perencanaan yang detail.
Dimulai dari penggunaan teknologi pencitraan untuk mengetahui lokasi kanker secara tepat dan mendeteksi penyebarannya. Modalitas yang dapat digunakan berupa CT-Scan, MRI, PET Scan, dan mammography.
Namun, tiap modalitas tersebut memiliki karakteristik dan keunggulan yang berbeda-beda, sehingga pemilihannya disesuaikan dengan jenis kanker agar hasil citra yang didapatkan lebih optimal.
Sebagai contoh, untuk mendeteksi kanker payudara umumnya dokter memilih untuk menggunakan mammografi karena mampu menghasilkan citra jaringan payudara dengan sangat detail, walaupun dosis radiasi yang digunakan rendah.
Setelah dokter mendapatkan data mengenai lokasi kanker, data tersebut digunakan untuk merancang strategi pengobatan yang optimal, mulai dari durasi radioterapi, dosis radiasi, hingga sudut paparan radiasinya.
Agar strategi ini dapat diterapkan secara efektif dan aman, setiap prosedur radioterapi harus disertai dengan standar proteksi radiasi yang ketat. Salah satu bentuk implementasinya adalah penggunaan alat pelindung diri (APD) khusus radiasi, yang wajib digunakan oleh pasien.
Tujuannya adalah untuk menghindari risiko kerusakan pada jaringan sehat yang tidak menjadi target pengobatan.
Tidak hanya pasien, para tenaga kesehatan juga disarankan untuk menggunakan APD agar paparan radiasi selama prosedur radioterapi dapat diminimalkan.
Penggunaan APD merupakan salah satu prinsip proteksi radiasi yang digunakan untuk mengurangi paparan radiasi secara langsung.
Selain itu, dua prinsip lainnya adalah menjaga jarak aman dari sumber radiasi dan meminimalkan waktu paparan radiasi.
Seluruh prinsip proteksi radiasi tersebut dibuat untuk mengurangi efek radiasi terhadap tubuh manusia. Terdapat dua efek radiasi, yaitu efek yang terjadi pada individu yang terpapar radiasi (somatik) dan efek yang diwariskan oleh individu yang terpapar radiasi (genetik).
Efek somatik sendiri dibagi berdasarkan jangka waktu munculnya, yaitu efek deterministik yang muncul langsung setelah terkena paparan radiasi dan efek stokastik yang muncul dalam jangka waktu yang panjang setelah terkena paparan radiasi.
Efek deterministik terjadi jika seseorang menerima dosis radiasi yang melebihi ambang batas tertentu, sedangkan efek stokastik terjadi secara acak tanpa adanya ambang batas dosis.
Melalui penerapan prinsip justifikasi yang tepat, pembatasan dosis sesuai standar, serta pengoptimalan paparan radiasi, keselamatan pasien dan tenaga kesehatan selama prosedur radioterapi dapat terjamin.
Selain itu, implementasi prinsip proteksi radiasi dalam prosedur radioterapi juga penting untuk mencegah timbulnya efek deterministik, sekaligus meminimalisir terjadinya efek stokastik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pelatihan yang berkelanjutan bagi tenaga kesehatan, serta penyelenggaraan sosialisasi yang menyeluruh kepada para pasien maupun masyarakat umum bahwa implementasi proteksi radiasi itu sangat penting.
Baca juga: Mari Mengenal Fungsi Dokter Spesialis Saraf dan Perannya
Dengan demikian, kesadaran dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip proteksi radiasi diharapkan dapat meningkat secara konsisten dan terus-menerus.
Penulis: Nabila Azahra
Mahasiswa Jurusan DIV Teknologi Radiologi Pencitraan, Universitas Airlangga
*) Radiologi Pencitraan-Fak. Vokasi Unair
Dosen Pengampu: Krizky Eka Putra Sulistya S.Tr. Kes.
Referensi
Apriantoro, N. H., & Kartika, Y. (2023). Teknik radioterapi kanker payudara post mastektomi dengan teknik intensity modulated radiation therapy. Indonesian Journal for Health Sciences, 7(1), 22-28.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 Tahun 2013 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Radioterapi. https://jdih.bapeten.go.id/unggah/dokumen/peraturan/228-full.pdf diakses pada tanggal 26 Mei 2025.
Fitriatuzzakiyyah, N., Sinuraya, R. K., & Puspitasari, I. M. (2017). Terapi kanker dengan radiasi: konsep dasar radioterapi dan perkembangannya di Indonesia. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 6(4), 311-320.
Gardezi, S. J. S., Elazab, A., Lei, B., & Wang, T. (2019). Breast cancer detection and diagnosis using mammographic data: Systematic review. Journal of medical Internet research, 21(7), e14464.
Lee, H., & Chen, Y. P. P. (2015). Image based computer aided diagnosis system for cancer detection. Expert Systems with Applications, 42(12), 5356-5365.
Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi
Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News