Tidak mengerti kalau tidak dijelaskan berarti tidak akan mengerti walau dijelaskan sebanyak apapun. Akankah zaman selalu seperti itu?
Mahasiswa harus kembali membicarakan kebenaran. Barangkali, begitupun nilai-nilai perjuangan yang sudah-sudah. Rekaman mode retro hingga futuristik begitu mengesankan saat euforia 1998 memang tidak membuat kita lupa. Namun, kini nostalgia kita tentang Saidatul Fitriah mati ditembak aparat kepolisian membuat luka itu semakin menganga lebar. Tapi sayang, mata kita tidak terbuka lebar-lebar saat nyawa seorang pemuda di Lampung Utara harus melayang. Kesannya, mahasiswa dulu dan kini, selalu ada kata Asimetris yang tidak layak digubris. Takut, khawatir-para pembual “idealisme” menembak balik, tanda kecewa. Namun, semakin dekat dengan mahasiswa sok idealis yang (katanya) paripurna, lalu menggubris rasa kemanusiaan mereka, kita akan betul-betul menyaksikan bahwa gagasan mereka tampak fenomenal serasa ingin melengserkan kekuasaan yang dzalim. Meski sayang tidak ada yang benar-benar konsisten.
Nampaknya kebenaran tidak lagi dianggap barang mewah, barang itu kini berubah wajah. Seperti wajah dari lukisan Leonardo da Vinci yang menjadi manifestasi bagi pemuda di abad pertengahan. Tapi sayang, barang itu harus dicuri oleh bocah nakal. Apakah barang itu kembali atau tidak? Kita akan membuka kembali lembaran-lembaran catatan, menyelami kembali personifikasi dan idealisasi pandangan politik sebagai mahasiswa millenial yang kelak akan paripurna seperti Cak Nur, mungkin. Namun sebelum itu, mari kita berkelana di ruang pleno, berbicara sekali lagi, berdialog kedua kali, berekonsiliasi di awal sampai akhir-selamanya, hingga pergerakan mahasiswa yang masif dan ideal benar-benar bukan nostalgia semata.
Mungkin ini akan terus bergulir, sampai ketukan palu di ruang sidang memberi kesempatan untuk yang pertama kali sejak Orde Baru lengser. Berbagai bendera berlatarbelakang hijau hitam, merah marun, hingga biru kuning mengungkapkan perasaan tanda gembira. Tetapi segala sesuatu yang benar-benar konstan tidak akan pernah terjadi sampai semuanya sepakat untuk mengesampingkan pergerakan yang hanya sekedar mencari suaka, atau mencari keuntungan demi mengisi kekosongan dompet. Kata Laclau “keadilan adalah barang paling mewah yang tidak pantas disanding-sandingkan oleh urusan materil.”
Mahasiswa kini, dulu, dan zaman millenial telah memberi kita keuntungan yang besar. Sebagimana sebuah standar “kemudahan” yang pernah dielu-elukan Ernest Hamingway saat perang saudara di Spanyol pecah. Dan ketika nuansa zaman industrialisasi pengap, lalu beradu-padu tentang drama partisan Soviet Russia dan Nazi yang kesulitan merangkum informasi dari panggung perang ideologi, dengan hanya bermodal mesin ketik dan alat tulis (seadanya) namun kini berubah drastis di era millenial. Mungkin saja Ernest Hamingway akan betul-betul mengalami fluktuasi emosi tidak teratur. Tapi sayang, ia tidak hidup di zaman ini. Sedih rasanya. Barangkali bila zaman bisa berbuat banyak, bila era millenial terjadi pada tahun 1930 ketika Hamingway hidup, kita akan sama-sama meyakini bahwa perang saudara bisa dihentikan.
Ini mimpi. Mimpi seorang pujangga bernama Hamingway yang terlanjur menderita di penjara, menanggung segala beban negara sebagai seorang penulis. Perang ideologi yang selama itu tidak diinginkannya, malah terjadi di depan mata, membuat negaranya terbelenggu rantai perpecahan. Inilah konflik yang benar-benar terjadi sebelum era millenial. Barangkali era millenial harus mengoyak kesadaran para pemuda untuk lebih jauh belajar dari sejarah. Ini tentang teknologi, tentang mudahnya informasi. Zaman yang telah berubah, telah menuntut kita agar menggunakan segala sesuatunya dengan arif, tidak hanya sekedar mencari suaka untuk para penguasa, namun ketika keadilan itu dikoyak oleh tangan-tangan nakal yang merasa dirinya terancam, yang merasa kekuasaannya akan lengser oleh zaman. Nuansa perlawanan itulah yang harus dipertahankan. Zaman akan membawa kita pada realisasi cita-cita Wijhi Tukul tentang keadilan sejati.
Millenial, terkadang zaman ini membuat mahasiswa gila. Derasnya pikiran random hingga runutnya pikiran sistematis yang sebetulnya bikin mahasiswa tambah pintar, namun di satu sisi, layaknya generasi millenial yang (katanya) apatis betul-betul menjadikan karakter baru ini sulit diajak menyelami kembali dunia pergerakan. Zaman boleh bertambah pintar, mahasiswa pun demikian, namun output dari mudahnya akses informasi membuat kita semakin terlena, meski tidak selalu benar.
Bahkan saya tidak pernah berfikir (mungkin) bila era yang telah berubah membuat mahasiswa menyingkir dari kebenaran. Semakin banyak mahasiswa yang membuat pembenaran. Ini sama sekali bertolak dari hasrat kejujuran karena kata ‘Jujur’ tidak jauh dari kebenaran. Hasrat yang telah ada sejak manusia dilahirkan. Bahkan Bill Kovach, Tom Rosensteil, dan Walter Lippman yang secara lugas menuturkan hasrat ini kelak akan menjadi gambaran realitas, dan akan membuat semua orang bertindak. Kenyataannya, mahasiswa sama sekali bertindak pasif, bertindak sendiri-sendiri, lebih parahnya acuh tak acuh. Kembali lagi, karena kebenaran dikonstruksi oleh mahasiswa secara murni tanpa kejujuran.
Nampaknya kita harus lebih teliti seperti memesan jangkar pada balon terbang. Tidak selamanya zaman bisa disalahkan, tidaklah arif menyalahi impian Hamingway di balik jeruji besi. Kenyataannya mahasiswa-lah yang harus disalahkan, salah karena berlindung dibalik hasrat pembenaran, salah karena itu membuat segala lini dunia perkuliahan menjadi sasaran empuk pemikiran pragmatis sebuah fenomena tentang buruknya zaman hari ini.
Akankah mahasiswa dan zaman selalu bertentangan? Tenang, kita ada di dunia simulakra. Saya merekomendasikan tulisan ini untuk memberi quality time bagi pikiran yang sering terusik bisingnya dunia perkuliahan.
Muhammad Aqil
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung;
Redaktur Lembaga Pers Mahasiswa Republica FISIP Universitas Lampung.