Jadilah Pemilih Rasional

Jadilah Pemilih Rasional
Pemilih Rasional (Sumber: Media Sosial dari freepik.com)

Pemilihan umum akan segera dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 diseluruh wilayah daerah di Indonesia (PILPRES & PILEG). Pemilu kali ini merupakan momentum penting untuk peningkatan kualitas demokrasi dan berintegritas untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas dibutuhkan pemilih yang aktif dan cerdas.

Partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilih merupakan salah satu parameter keberhasilan Pemilu. Tingkat partisipasi pemilih yang tinggi bukan hanya merupakan ajang menjalankan kedaulatan rakyat untuk memperkuat hasil pemilu parlemen yang sah, namun juga merupakan penanda kepedulian warga negara yang demokratis.

Berbagai macam persoalan yang terjadi di 2 daerah pada umumnya ini merupakan persoalan klasik yang terjadi dari waktu ke waktu seperti kemiskinan, pengangguran, ketersediaan lapangan pekerjaan, korupsi, infrastruktur, pengeloaan SDM, kesenjangan sosial dan sejumlah masalah lainnya.

Bacaan Lainnya
DONASI

Hal tersebut selalu menjadi persoalan yang terus ada dan selalu melekat setiap periode kekuasaan, dan untuk menyelesaikan beragam persoalan tersebut membutuhkan pemimpin dan legislator yang memiliki kemampuan kreativitas yang tinggi dan berpihak pada rakyat agar mampu mencari solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Janji-janji manis para calon untuk mengibuli rakyat kerap terjadi saat proses Pemilu berlangsung. Rakyat dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan, akibatnya rakyat menjadi muak dan bosan sehingga semakin menurunnya tingkat apatisme dan rasa percaya terhadap para calon yang bertarung.

Untuk itu menjadi pemilih cerdas dengan mengunakan pendekatan rasionalitas dalam Pemilu menjadi suatu keharusan sebab pemilih memiliki posisi strategis dalam menentukan calon presiden dan calon legistor yang mewakili suara konstituen 5 tahun kedepan.

5 menit dibilik kotak suara sangat menentukan nasib ratusan ribu hingga jutaan rakyat di daerah dan seluruh Indonesia. Namun tanpa pungkiri latar belakang sosial-kultur masyarakat Indonesia berbasis pada ikatan sosial kekerabatan, kekeluarga, pertemanan, kedaerahan, kesukuan dan sebagainya.

Sehingga secara sosiologis yang beroperasi pada Pemilu pada umumnya masyarakat pemilih cenderung mengunakan pola kedekatan suku daerah dan agama. lkatan primordialisme selalu berkembang dalam perhelatan Pemilu, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat selalu mengedepankan perilaku tradisional dalam menentukan figur yang dipilih.

Perilaku masyarakat tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memilih figur yang mereka kenal apalagi ada hubungan keluarga lebih memberikan manfaat dibandingkan figur yang tidak dikenal.

Dalam pandangan perilaku rasional, yakni figur yang dipandang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat tersebutlah yang mesti mendapatkan kepercayaan masyarakat dan didasarkan pengalaman politik dalam setiap rezim dan rekam jejak yang berkuasa.

Ketika rezim akan berakhir kekuasaanya maka akan ada evaluasi publik atas apa yang dilakukan selama menjabat. Dasar inilah masyarakat kemudian secara rasional memberikan suaranya kepada orang yang dipercaya, karena dianggap mampu untuk memecahkan persoalan yang ditinggalkan penjabat sebelumnya.

Namun kadang masyarakat tidak memiliki rekam jejak yang memadai untuk menilai kemampuan sesorang, maka orang yang lebih dekat itulah yang menjadi piihan mereka. Atas dasar itulah, pandangan masyarakat bahwa memilih orang yang dekat dan mereka kenal lebih baik daripada memilih orang yang tidak mereka kenal walaupun figur itu lebih mampu.

Disini dapat dikatakan bahwa kekuasaan sebaiknya diberikan kepada orang sendiri daripada orang lain. Hal ini tidak dapat disangkal karena masyarakat tradisional selalu menempatkan ikatan primordial sebagai pandangan hidup.

Poilitik tidak hanya aktivitas memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, namun politik juga melibatkan simbol kebanggaan, harga diri dan percaya diri.

Jika seseorang mengatasnamakan segmentasi politik sosiologis tertentu maka yang diperjuangkan adalah simbol keluarga, suku, daerah maka pertarungan politik menang kalah telah melibatkan banyak aspek yang dipertaruhkan.

Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat di mana mereka akan membangun rivalitas karena mempertahankan harga diri dan rasa bangga jika diantara komunitasnya menjadi “orang besar” (Presiden,Gubernur, Walikota, Bupati & DPR).

Sikap pemilih yang terbiasa dan kerap menggunakan pendekatan atas dasar kedekatan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) perlu dihindari, sehingga penentuan pilihan calon harus didasari kajian rasionalitas sesuai visi-misi dan program kerja para calon kekuasaan. Salam Demokrasi.

 

Penulis: Eric Janssen Mango
Mahasiswa Ilmu Tata Kelola Pemilu, Universitas Nusa Cendana

Editor: Salwa Alifah Yusrina
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

Ikuti berita terbaru Media Mahasiswa Indonesia di Google News

Kirim Artikel

Pos terkait

Kirim Artikel Opini, Karya Ilmiah, Karya Sastra atau Rilis Berita ke Media Mahasiswa Indonesia
melalui WhatsApp (WA): 0822-1088-8201
Ketentuan dan Kriteria Artikel, baca di SINI