Jangan Biarkan Buah Kita Hanya Tinggal Nama

Ekonomi Kreatif
Ekonomi Kreatif

Pernahkah anda melintasi daerah gandaria, menteng, bintaro? Pasti warga Jakarta dan sekitarnya familiar dengan nama-namanya.

Ternyata nama tersebut diambil dari nama buah. Indonesia sebagai supermarket buah tropis mengabadikan nama-nama buah lokal menjadi nama daerah.

Penelitian mengenai toponimi memberikan gambaran karakteristik masyarakat pada zaman dahulu. Sejarah, kehidupan sosial, dan jenis tanaman dapat terlihat dan ditelusuri dari sebuah “nama”.

Di balik papan nama jalan tersimpan cerita panjang tentang agribisnis tropika yang pernah menjadi primadona dalam perekonomian.

Bacaan Lainnya

Baca juga: Ketika Wawasan Kebangsaan Dilupakan, Demokrasi Jadi Medan Perang Identitas?

Buah Gandaria yang saat ini menjadi nama salah satu mall memiliki rasa manis dan asam, karena masih satu keluarga dengan mangga, maka bentuk buahnya mirip dengan mangga, namun lebih bulat.

Saat ini Gandaria banyak ditemukan di Ambon. Menteng sebagai nama kawasan elit Jakarta juga merupakan nama buah.

Tanaman Menteng banyak tumbuh di daerah ini pada zaman dahulu. Meski keberadaannya semakin langka, ternyata buah ini masih dapat ditemukan di Jakarta dan Bogor, bahkan ada beberapa yang menjualnya di marketplace.

Tidak seperti buah Gandaria dan Menteng, buah bintaro adalah jenis buah yang tidak bisa dimakan. Kandungan racun yang ada pada buah bintaro bermanfaat untuk mengusir tikus.

Tanaman Bintaro banyak difungsikan menjadi pohon peneduh.

Baca juga: Inovasi dalam Meningkatkan Daya Saing UMKM di Era Ekonomi Digital

Pelestarian dan Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia memiliki banyak jenis buah lainnya yang menjadi potensi wisata edukasi.

Selain menjaga kelestarian, olahan dari berbagai buah lokal dapat menjadi sumber penghasilan bagi pelaku usaha yang mengolah buah-buahan tersebut menjadi makanan.

Bayangkan jika terdapat festival buah lokal di Taman Menteng. Pengunjung dapat mencicipi langsung buah utuh dan aneka macam kuliner olahannya.

Apabila ingin dikembangkan lebih lanjut, pemerintah dapat menanam kembali tanaman yang langka dengan memberikan informasi melalui papan nama di setiap pohonnya, serta membuka kelas pembuatan selai, asinan, atau sirup menggunakan buah-buahan lokal.

Baca juga: Dampak Teknologi Digital terhadap Kinerja Akademik Mahasiswa: Perspektif Psikologi Islam

Sinergi Budaya dan Teknologi

Bukan hanya sekedar festival, sejarah dari buah lokal dapat disulap menjadi ikon budaya daerah setempat, misalnya dengan membuat virtual tour melalui augmented reality yang mengangkat cerita asal-usul daerah, maupun dikemas dalam cerita fiksi seperti timun mas.

Kolaborasi antara Pemerintah Daerah, Komunitas, dan UMKM menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem agribisnis yang berkelanjutan.

Dengan upaya tersebut, buah-buahan seperti Gandaria, Menteng, dan Bintaro tidak hanya sekedar menjadi sebuah nama tempat, namun bisa hidup kembali menjadi bagian dari peningkatan ekonomi kreatif di Bidang Pertanian.

 

Penulis: Riska Zahra Tamira

Mahasiswa Jurusan Magister Sains Agribisnis, Institut Pertanian Bogor

Editor: Anita Said
Bahasa: Rahmat Al Kafi

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses